Studi: Efikasi Vaksin Covid-19 Pfizer Turun Setelah 6 Bulan

Pfizer masih melakukan uji coba pemberian dosis booster vaksin Covid-19-nya.

EPA
Vaksin Covid-19 Pfizer. Kemanjuran vaksin Covid-19 Pfizer menurun sekitar enam persen setiap dua bulan. Temuan tersebut didapat
Rep: Kiki Sakinah Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah penelitian baru mengungkapkan kemanjuran (efikasi) vaksin Covid-19 Pfizer menurun menjadi sekitar 84 persen setelah sekitar enam bulan seseorang mendapat dosis lengkap. Penelitian yang belum melalui proses peninjauan sejawat itu dipublikasikan server medRxiv.

Penelitian itu menyimpulkan bahwa meskipun tren kemanjuran vaksin Pfizer secara bertahap menurun, namun masih sangat manjur dalam mencegah Covid-19. Studi tersebut didukung oleh Pfizer dan BioNTech.

Data dari penelitian tersebut mencatat bahwa efikasi terkuat vaksin itu mencapai 96,2 persen, yang terjadi antara tujuh hari hingga dua bulan setelah mendapat dosis kedua. Dari dua bulan hingga empat bulan, kemanjuran vaksin itu menurun menjadi 90,1 persen.

Lalu, dari empat bulan hingga enam bulan, efikasi vaksin Covid-19 Pfizer menurun menjadi 83,7 persen. Para peneliti menghitung penurunan efikasi vaksin rata-rata sekitar enam persen setiap dua bulan.

Baca Juga



Studi ini menemukan bahwa vaksin secara keseluruhan mencapai sekitar 91 persen kemanjuran dari tujuh hari hingga enam bulan setelah dosis kedua diterima pada peserta penelitian yang berusia 12 tahun ke atas. Penulis dari penelitian itu menyatakan bahwa saat ini uji coba dosis booster (penguat) tengah berlangsung.

"Tindak lanjut yang berkelanjutan diperlukan untuk memahami keandalan efek vaksin dari waktu ke waktu, kebutuhan untuk dosis booster, dan jangka waktu dosis semacam itu," kata penulis penelitian tersebut, dilansir Fox News, Kamis (29/7).

Pfizer sebelumnya telah mengisyaratkan niatnya untuk mengajukan otorisasi penggunaan darurat untuk suntikan ketiga. Awalnya, ide ini mendapat tanggapan tajam dari Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) AS dan lembaga Administrasi Obat dan Makanan AS (FDA).

Kedua lembaga tersebut mengatakan dalam sebuah pernyataan yang diterbitkan awal Juli bahwa warga Amerika Serikat yang telah divaksinasi lengkap sejauh ini tidak memerlukan dosis tambahan.

"FDA, CDC, dan National Institutes of Health (NIH) terlibat dalam proses ketat berbasis sains untuk mempertimbangkan apakah atau kapan booster mungkin diperlukan," kata pernyataan studi tersebut.

Menurut penulis penelitian, proses pertimbangan penggunaan booster memperhitungkan data laboratorium, data uji klinis, dan data kelompok, yang dapat mencakup data dari perusahaan farmasi tertentu. Namun, hal itu tidak bergantung pada data tersebut secara eksklusif.

"Kami terus meninjau data baru apapun saat tersedia dan akan terus menginformasikan kepada publik. Kami siap untuk dosis booster jika dan ketika ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa itu memang dibutuhkan," kata penulis.

Namun demikian, ahli penyakit menular AS Dr. Anthony Fauci belum lama ini melontarkan gagasan bahwa pasien dengan gangguan imun tertentu dapat mempertimbangkan untuk mendapatkan dosis booster.

Dalam pertemuan panel penasihat CDC pekan lalu, para ahli merekomendasikan pasien immunocompromised (sistem kekebalan tubuh yang melemah atau terganggu) yang telah divaksinasi lengkap harus tetap memakai masker dan menjaga jarak sosial. Lembaga tersebut mempertimbangkan kebutuhan akan kemampuan booster di antara populasi ini.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler