Band Rock Osprey V Ingin Jadi Metallica Versi Palestina
Lewat musiknya, Osprey V menyuarakan penderitaan dan perjuangan rakyat Palestina.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang akuntan, dua pengacara, seorang ahli agronomi, dan seorang pekerja kemanusiaan Swiss membentuk band rock pertama di Gaza, Palestina. Para anggotanya memiliki misi spesial, menyuarakan penderitaan dan perjuangan rakyat Palestina lewat lagu berbahasa Inggris.
Grup yang menamai dirinya Osprey V itu mengunggah klip video musik seraya memproyeksikan aura misteri dengan menyembunyikan wajah mereka. Kini, band itu siap menjadi pusat perhatian, dengan lagu-lagu yang sarat emosi konflik Israel-Palestina.
Pada April, sebulan sebelum perang 11 hari antara pejuang Gaza dan tentara Israel, Osprey V tampil di "Live for Gaza", sebuah konser daring untuk mengumpulkan dana bagi para musisi di Wilayah Palestina. Aktivis pro-Palestina, Roger Waters dari band Pink Floyd, juga ambil bagian.
Penulis lagu band tersebut, Moamin El-Jaru, mengatakan bahwa Osprey V ingin menyampaikan pesan universal dan unik ke Gaza, wilayah yang dipimpin pejuang Hamas. Band ini terbentuk sejak 2017.
"Saya mencoba untuk berbicara situasi atau masalah yang dihadapi semua orang di dunia, tetapi karena saya berasal dari tempat yang telah dilanda dengan begitu banyak perang dan konflik, saya mencoba untuk mengatakan itu dari sudut pandang saya, dari tempat saya dari Gaza," kata El-Jaru, yang berprofesi sebagai pengacara, dikutip dari Reuters, Sabtu (7/8).
Raji mengatakan, Osprey V akan menyuarakan rasa sakit yang selama ini dirasakan. Hal itu tercermin salah satunya lewat lagu "Home".
Vokalis Raji El-Jaru, seorang akuntan dan sepupunya Moamin El-Jaru, adalah motor di belakang pembentukan band. Dia menyebutnya sebagai realisasi mimpi masa kecil.
Pada sesi latihan, Raji El-Jaru mengatakan bahwa Osprey V bernyanyi dalam bahasa Inggris agar semua orang akan mengerti lagunya. Dengan begitu, semua orang akan tersentuh oleh pesannya, yang dia gambarkan sebagai jeritan kemarahan terhadap ketidakadilan.
Bagi Moamin El-Jaru, judul lagu "Home" tersebut memiliki makna yang pedih bagi warga Palestina. Sebagian besar dari rakyat Palestina telantar akibat ulah Israel.
"Ketika saya bernyanyi tentang rumah, saya menyanyikan (tentang) rumah untuk orang Palestina dan semua orang dalam situasi sulit yang tidak bisa merasa (di) rumah," ujar Moamin.
Berbicara dari Swiss, drummer Thomas Kocherhans mengatakan, dirinya bergabung dengan band tiga tahun lalu saat melakukan pekerjaan kemanusiaan di Gaza. Ia mengaku takjub dengan band tersebut ketika pertama kali mendengar musiknya.
"Ketika saya mendengar mereka untuk pertama kalinya, saya benar-benar terkejut, tetapi dalam arti yang sangat baik. Saya tidak pernah berpikir musik berkualitas seperti itu akan ada di Gaza," kata Kocherhans, yang harus meninggalkan Gaza setelah misinya berakhir pada awal tahun ini.
Meskipun kurangnya minat pada musik Barat di Gaza yang konservatif, band yang dinamai sesuai nama burung pemangsa itu memiliki harapan besar untuk sukses.
"Saya ingin sekali menjadi Metallica Palestina atau Pink Floyd, Roger Waters," ujar Raji.