Muhammadiyah, Buku, dan Literasi di Hindia Belanda
Buku membantu mengubah cara kaum Muslim Hindia Belanda belajar mengenai agamanya.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Yuanda Zara, Staf pengajar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta
Bahwa juru bicara resmi Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, adalah majalah Islam tertua di Indonesia yang masih terbit hingga kini adalah sesuatu yang sudah umum diketahui. Sejak zaman kolonial Hindia Belanda, majalah ini telah menyediakan berbagai informasi mengenai pertumbuhan persyarikatan, perkembangan Islam di Nusantara hingga komentar mengenai soal-soal sosial-politik di Indonesia dan dunia.
Di zaman kolonial, ketika bahan bacaan masih sangat terbatas dan hanya beberapa persen saja masyarakat pribumi yang bisa membaca di Hindia Belanda, Suara Muhammadiyah adalah sumber pengetahuan penting bagi masyarakat Muslim khususnya di Jawa pada dekade 1920-an dan 1930-an. Pembangunan literasi bagi kalangan bumiputera salah satunya ditopang oleh kehadiran Suara Muhammadiyah.
Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa Muhammadiyah hanya menyediakan Suara Muhammadiyah saja sebagai sumber informasi dan inspirasi bagi warga Muhammadiyah. Ada kerja literasi lain yang juga dilakukan persyarikatan di era kebangkitan nasional sekitar seabad yang lalu. Dan kerja literasi itu adalah dengan menyediakan sumber pengetahuan yang lebih dalam dengan tema beragam dalam bentuk buku.
Lembar-lembar majalah tentu sangat terbatas untuk membahas banyak persoalan yang dihadapi kaum Muslimin di Hindia Belanda, karena satu majalah harus dibagi isinya ke dalam belasan kolom. Alhasil, satu topik hanya bisa dibahas dalam satu atau beberapa halaman saja.
Padahal, adakalanya pembaca membutuhkan penerangan yang lebih banyak dan diskusi yang lebih intens mengenai suatu aspek atau tema, baik yang berhubungan dengan ibadah maupun yang berkaitan dengan problem-problem sosial di tengah masyarakat. Dewasa ini, buku adalah benda yang sudah lazim di Indonesia, dan bisa dikatakan ada di hampir di semua rumah orang yang bisa membaca aksara Latin.
Tapi, sekitar seabad yang lalu, di Hindia Belanda yang penduduk melek huruf Latinnya hanya beberapa persen dari populasi total, buku adalah barang penting yang langka, mewah, dan tak terjangkau bagi sebagian besar penduduk pribumi. Satu dari sedikit kesempatan orang kala itu untuk bisa mendapatkan dan memahami isi buku hanyalah dengan memasuki sekolah-sekolah Belanda, di mana diajarkan pelajaran membaca aksara Latin dan bahasa Belanda.
Buku-buku paling awal di Hindia Belanda dibuat dalam bahasa Belanda, karena memang teknologi percetakan adalah teknologi Barat yang belakangan diadopsi oleh bagian dunia yang lainnya. Usaha untuk memperkenalkan pembaca Muslim di Hindia Belanda dengan buku telah dilakukan Muhammadiyah sejak dekade 1920-an.
Mulanya adalah pembentukan Hoofd Bestuur Muhammadiyah Bahagian Taman Pustaka, yang diketuai oleh HM Mochtar, dan diresmikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 17 Juni 1920. Dalam visi dan misinya, HM Mochtar memperlihatkan keinginan kuatnya untuk mengarahkan Muhammadiyah sebagai lembaga yang akan membawa kaum Muslim Indonesia mendapatkan manfaat dari teknologi yang masih baru bagi kaum Muslim kala itu: percetakan.
Produk-produk pengetahuan yang ingin ia sebarluaskan kepada kaum Muslim Hindia Belanda adalah produk berbasis percetakan: selebaran, majalah bulanan atau tengah bulanan berkala, dan buku tentang agama Islam. Kreasi produk-produk tersebut mendorong lahirnya generasi pemikir Muslim yang tidak lagi hanya menyampaikan buah pikirannya dalam forum lisan, tapi juga dalam bentuk tulisan, yang bisa dipastikan dapat menjangkau audiens yang lebih luas.
Salah satu akar kelahiran intelektual-penulis Islam di Indonesia yang menggunakan percetakan sebagai media penyebaran gagasannya bisa dilacak hingga masa pendirian Taman Pustaka ini. Sementara Taman Pustaka bertugas untuk mendorong munculnya para penulis keagamaan, Suara Muhammadiyah berperan dalam mendiseminasikan produk-produk pengetahuan para penulis itu ke berbagai wilayah di Hindia Belanda.
Ini bisa dilihat pada Januari 1923, melalui toko barunya Suara Muhammadiyah, Toko Administrateur Soewara Moehammadijah (Toko ASM). Toko ini, yang bisa dipandang sebagai pendahulunya apa yang kini dikenal sebagai Suara Muhammadiyah (SM) Corner—per akhir 2019 SM Corner telah berjumlah 40 cabang di seluruh Indonesia plus 4 cabang di mancanegara—, beralamat di Jagang, Rotowinatan, Yogyakarta.
Toko ASM menjual buku-buku yang dikeluarkan oleh Taman Pustaka Yogyakarta, Solo, dan daerah lainnya. Artinya, dalam beberapa tahun setelah peresmiannya, Bahagian Taman Pustaka, baik di Yogyakarta ataupun di daerah-daerah lain, telah berhasil menjalankan tugasnya, dalam hal ini menghasilkan buku-buku bacaan untuk kaum Muslim Hindia Belanda.
Yang paling produktif berkarya adalah Taman Pustaka Yogyakarta. Per 1923 itu mereka setidaknya telah mengeluarkan sepuluh buku.
Temanya beragam, mulai dari pelajaran bahasa Arab (Choeroef Hidjaijah, aksara pegon, harga f 1,25), hukum Islam (Fekih Djilid 1 & 2, aksara pegon, harga f 0,40), dasar-dasar agama Islam (Ringkesan Islam, aksara Latin, harga f 0,40), kisah isra’ mi’rajnya Nabi Muhammad SAW (Mikradnja K.N.M., bahasa Melayu, harga f 0,40) hingga beberapa buku lainnya dalam bahasa Jawa (Mardisampoerno 1 & 2, harga masing-masing f 0,40 dan f 0,60; Piwoelang Siswo, harga f 0,40; Ngakaid Jilid 1 & 2, harga masing-masing f 0,40). Adapun buku-buku yang diterbitkan oleh Taman Pustaka Solo dan daerah lainnya antara lain berjudul Pesalatan Pake Gambar (Jawa, f 0,22 ½), Nikah (Hal Selaki Rabi) (f 0,37 ½), Manasik Hadji (Jawa, f 1,90), Hetjeraning Soeroso (Jawa, f 0,37 ½), dan Tepsier Pegon Djoes 1-2 (Jawa, f 1,65).
Sasaran pembacanya buku-buku di atas bukan hanya warga Muhammadiyah saja, tetapi, sebagaimana tertulis dalam salah satu iklan penjualan buku di Suara Muhammadiyah tahun 1923: ‘Saudara saudara dan Toewan toewan Kaoem Islam di Hindia Nederlan’. Cakupan bahasa dan aksaranya juga diusahakan untuk tidak eksklusif, melainkan mencakup bahasa dan aksara yang banyak dipakai di kalangan pribumi Hindia Belanda saat itu, yakni bahasa Melayu dan Jawa, dengan aksara Latin dan Arab (pegon).
Strategi di atas memperlihatkan bahwa Suara Muhammadiyah membantu terbentuknya suatu ruang publik serta pasar buku berskala nasional dengan diseminasi buku-buku tentang Islam ke berbagai sudut kepulauan Nusantara. Teknologi transportasi modern dipakai Suara Muhammadiyah untuk memastikan agar jangkauan buku-buku produksi Taman Pustaka yang dijualnya bisa dikirim ke tempat-tempat yang jauh di luar Yogyakarta.
Buku-buku yang dijual ASM dikirim melalui paket pos, dan untuk itu para pemesan mesti membayar harga buku plus ongkos kirimnya. Di samping itu, Toko ASM sudah mengadopsi aspek ekonomi baru dalam transaksinya, yakni uang, karena jual-beli dilakukan dalam mata uang yang berlaku di Hindia Belanda saat itu, florin (gulden, atau penduduk Hindia menyebutnya rupiah Belanda).
Dunia perbukuan yang dibentuk Muhammadiyah tidak berhenti pada penulisan dan penerbitan buku oleh Taman Pustaka dan penjualannya oleh Toko ASM dan Suara Muhammadiyah. Toko ASM juga mendorong lahirnya penulis-penulis baru di luar Taman Pustaka.
Caranya adalah dengan menyediakan berbagai alat tulis yang memudahkan para pembaca untuk mengomentari buku yang dibacanya atau menuangkan ide-idenya sendiri dengan lancar. Alat-alat tulis ini (Toko ASM menyebutnya sebagai ‘prabot toelis’) berasal dari kualitas yang bagus (‘amat nentjis-nentjis’) sehingga orang bisa menulis dengan optimal.
Yang dijual di toko ASM antara lain buku tulis baik yang tipis maupun tebal dan berbagai macam ‘potlood tintah’ (pensil dengan tinta permanen). Karena harganya yang mahal, mesin tik belum banyak dipunyai masyarakat; umumnya mesin tik hanya dipakai di kantor pemerintah atau di kantor redaksi media cetak.
Buku-buku yang dihasilkan Taman Pustaka dan dijual oleh Toko ASM dan Suara Muhammadiyah membantu mengubah cara kaum Muslim Hindia Belanda belajar mengenai agamanya dan tentang dunia di sekitarnya. Di era ketika lazimnya pengajaran agama dilakukan secara tatap muka di masjid, mesin cetak membuat kaum Muslim bisa mempelajari banyak hal di rumah atau di kantor dengan membaca buku.
Pengajian yang disampaikan secara lisan bisa diserap orang, tapi dalam beberapa waktu mungkin akan hilang dari ingatan. Sementara buku, karena dicetak, bisa dibaca lagi kapanpun dan di manapun.
Respons, komentar, kritik atau tambahan pemikiran atas buku itupun muncul, sehingga mendorong lahirnya buku berikutnya, yang pada akhirnya menambah khazanah bacaan bagi publik. Tema buku-buku terbitan Taman Pustaka menunjukkan pikiran-pikiran pengarangnya tentang apa yang dianggapnya menarik dan penting untuk diulas, yang artinya mereka sedang menulis untuk memecahkan problem sosial di tengah masyarakat kala itu.
Yang tak kalah pentingnya, buku maupun majalah yang dikeluarkan Muhammadiyah telah membentuk relasi baru bagi kaum Muslim di Hindia Belanda. Relasi umumnya dikaitkan dengan konektivitas, dan sarana pembentuk konektivitas antarwarga di Hindia Belanda pada awal abad ke-20 lebih banyak dikaitkan dengan teknologi transportasi seperti jalan raya (dan mobilnya), kereta api, dan kapal laut.
Mesin cetak sebenarnya juga memungkinkan terbentuknya relasi dalam hal intelektualitas. Mesin cetak dan pos memungkinkan koneksi antara pengarang, penerbit, distributor buku, dan media yang mempromosikannya, yang sebagian besar berlokasi di Yogyakarta, dengan para pembaca, yang berada di lokasi yang sangat jauh dari kota kelahiran Muhammadiyah itu. Dengan kata lain, buku-buku Taman Pustaka yang disebarluaskan ke seluruh Hindia Belanda oleh Toko ASM dan majalah Suara Muhammadiyah telah membawa kaum Muslim se-Hindia Belanda ke dalam satu fase sejarah literasi yang sama.
Sumber: Majalah SM Edisi 5 Tahun 2020