Tipu Daya Iblis Terhadap Ahli Hadits
Iblis menyibukkan mereka dengan aktivitas itu sehingga lalai mengerjakan fardhu ain.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tipu daya iblis terhadap manusia bermacam-macam, tak terkecuali pada ahli hadits. Dikutip dari buku Talbis Iblis karya Ibnul Jauzi dengan pentahqiq Syaikh Ali Hasan al-Halabi, ada sebagian orang yang menghabiskan usianya untuk mendengar hadits Nabi, melakukan perjalanan jauh dalam rangka mencari hadits, mengumpulkan jalur-jalur periwayatannya yang amat banyak, mencari sanad-sanadnya yang tinggi dan matan-matannya yang asing.
Mereka ada dua macam. Pertama, mereka yang hendak menjaga syariat Islam dengan mengetahui antara hadits shahih dan hadits dhaif.
Sesuai tujuan itu, mereka patut mendapat pujian. Tapi, iblis kadang menalbiskan tujuan mereka ini. Iblis menjadikan mereka sangat sibuk dengan aktivitas itu sehingga lalai mengerjakan sesuatu yang hukumnya fardhu ain, yaitu mengetahui apa yang wajib atas mereka, bersungguh-sungguh dalam melakukan kewajiban itu, dan memahami ilmu yang terkandung dalam hadits.
Jika ada yang berkomentar: "Hal ini telah dilakukan oleh banyak ulama Salaf, sebut saja Yahya bin Ma'in, Ibnul Madini, al-Bukhari, dan Muslim!"
Tanggapannya, ulama-ulama itu sudah menghimpun dua hal dalam diri masing-masing, yaitu pertama, mengetahui serta memahami berbagai perkara agama yang memang penting. Kedua, mengetahui hadits yang mereka cari.
Baca juga : Perempuan Rohingnya Bersaksi di Pengadlan Kriminal Argentina
Upaya mereka itu juga didukung oleh sanad yang masih pendek dan hadits yang masih sedikit diketahui. Karena dua hal inilah, mereka mudah melakukan aktivitas tersebut.
Sedangkan di zaman sekarang ini, jalur-jalur hadits sudah sangat panjang dan kitab-kitab hadits sangat banyak. Maka, kecil kemungkinan seseorang mampu menghimpun kedua hal tersebut di atas.
Bisa jadi, Anda mendapati seorang ahli hadits yang menulis serta mendengar hadits selama 50 tahun, dia pun mengumpulkan berbagai kitab hadits. Meski demikian, dia tidak mengetahui kandungan atau faedah yang ada di dalam hadits-hadits tersebut. Akibatnya, pada saat dia mendapati suatu permasalahan di dalam sholatnya, dia akan bertanya kepada ahli fiqih pemula yang mendengar hadits darinya.
Disebabkan orang seperti itulah para pencela ahli hadits dapat melontarkan celaan dengan nada yang mencemooh: "Orang-orang itu selalu saja bepergian jauh untuk mencari hadits, tetapi mereka tidak tahu apa yang didapat darinya".
Jika salah seorang dari mereka berhasil mendapatkan dan melakukan penelitian terhadap suatu hadits, boleh jadi dia mengamalkan hadits yang mansukh (tidak valid lagi), atau dia memahami hadits seperti pemahaman orang awam yang jahil lalu mengamalkannya padahal itu tidak benar.
Kedua, mereka yang banyak mendengar hadits, namun tidak mempunyai niat benar. Mereka tidak bermaksud mengetahui hadits shahih dan dhaif dengan mengumpulkan berbagai jalur riwayat.
Mereka hanya ingin mengumpulkan sanad-sanad tinggi dan hadits-hadits asing. Mereka keliling dunia mencari hadits supaya bisa mengucapkan: "Aku telah bertemu dengan fulan. Aku mempunyai sanad-sanad yang tidak dimiliki oleh orang lain. Aku mempunyai hadits-hadits yang tidak dimiliki orang lain".
Ada sebagian pencari hadits yang singgah di kota Baghdad. Dia membawa seorang syaikh yang kemudian di tempatkannya di ar-Raqqah, sebuah kebun yang terletak di tepian Sungai Tigris.
Baca juga : India Setujui Vaksin Covid-19 Berbasis DNA Pertama di Dunia
Dia membacakan hadits di hadapan syaikh tersebut, lantas menyebutkan pada kumpulan hadits riwayatnya: "Fulan dan fulan telah meriwayatkan kepadaku di ar-Raqqah". Dia mengelabui orang-orang seakan-akan yang dimaksud dengan ar-Raqqah tersebut adalah negeri yang berada di Syam, supaya orang-orang menyangka dia sungguh-sungguh letih karena telah melakukan perjalanan jauh demi mencari hadits.
Ia juga menempatkan syaikh ini di antara Sungai Isa dan Eufrat, lalu berkata: "Fulan telah meriwayatkan kepadaku di seberang sungai". Dia mengelabui manusia, seakan dia telah menyeberang ke Khurasan.
Dia mengutarakan: "Fulan telah meriwayatkan hadits kepadaku dalam perjalanan kedua dan ketiga ...," dengan tujuan mengumumkan kepada orang-orang ihwal kadar keletihannya di dalam mencari hadits. Akibatnya, dia tidak diberkahi dan meninggal dalam pencariannya.
Ibnul Jauzi rahimahullah menyatakan, Semua itu jauh dari keikhlasan. Tujuan mereka hanya mencari kehormatan dan kebanggaan pribadi.
Maka itu, mereka mengikuti hadits yang syadz (janggal) serta gharib (asing). Bisa saja seseorang dari mereka mendapat penggalan hadits yang didengar oleh saudaranya sesama Muslim, namun menyembunyikan penggalan hadits ini supaya hanya dia yang diketahui telah meriwayatkannya.
Tapi bisa jadi dia meninggal lebih dulu sebelum sempat meriwayatkannya sehingga dia telah luput dari dua orang. Mungkin juga salah seorang dari mereka pergi berguru kepada syaikh yang nama awalnya berabjad 'qaf' atau 'kaf', agar orang itu ditulis di deretan nama guru-gurunya.