Penyebab Tingginya Prevalensi Kanker Paru di Indonesia
Kanker paru masih menjadi kanker dengan angka kematian tertinggi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hingga kini, kanker paru masih menjadi kanker dengan angka kematian tertinggi di antara semua jenis kanker lainnya. Merujuk pada data GLOBOCAN 2020, kematian karena kanker paru di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 18 persen selama dua tahun terakhir, menjadi 30.843 orang dengan kasus baru mencapai 34.783 kasus.
Situasi ini mengindikasikan bahwa di Indonesia terdapat empat orang meninggal akibat kanker paru setiap jam. Angkanya berpotensi untuk meningkat setiap harinya jika kanker paru tidak dijadikan prioritas nasional.
Sekretaris Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), dr. Erlang Samoedro, Sp.P(K) FISR mengatakan, prevalensi kanker paru di Indonesia tinggi karena berkaitan dengan tingginya konsumsi rokok di masyarakat Indonesia. Indonesia merupakan salah satu dari tiga besar konsumsi rokok paling banyak di dunia. Lebih dari 90 juta masyarakat Indonesia sudah terpapar asap rokok.
"Kanker paru bisa disebabkan oleh lingkungan, salah satunya polusi udara di sekitar kita, tapi yang paling tinggi dan berhubungan langsung adalah rokok," papar dr. Erlang, di sela acara Diskusi Publik #LungTalk, dengan tema "'K' yang Terlupakan: Akses Pasien atas Pengobatan Kanker Paru di Masa Pandemi, Ahad (22/8).
Di Rumah Sakit Umum Persahabatan, menurut dr. Erlang, 87 persen pasien kanker paru berhubungan dengan rokok. Ia mengatakan, pengendalian rokok sangat penting untuk menekan angka kejadian kanker paru
Selain itu, selama pandemi, angka pasien berobat atau kemoterapi kanker paru mengalami penurunan karena mereka takut terpapar Covid-19 saat mencari pengobatan. Namun, seiring penurunan kasus Covid-19, kunjungan pasien kanker paru ke rumah sakit juga mulai normal.
Dr. Erlang menyebut, tingginya prevalensi kanker paru juga dibarengi dengan angka kematian kanker paru yang sangat tinggi. Hal ini terjadi karena sebagian besar atau lebih dari 80 persen pasien datang dengan kondisi stadium lanjut atau stadium 4.
Menurut dr. Erlang, paru adalah organ yang cukup luas, jadi jika sakitnya kecil tidak akan dirasa oleh penderita. Oleh karena itu, perlu skrining.
"Yang jadi masalah, skrining hanya dapat dilakukan di pusat pelayanan yang ada di kota-kota besar. Jadi akses terhadap pelayanan kesehatan, skrinning, pengobatan, sebagian besar hanya ada di kota-kota besar. Hal ini menjadi masalah karena tidak bisa menjangkau ke seluruh daerah perifer," kata dr. Erlang.
Setelah menjalani skrining, pasien perlu mendapatkan pengobatan. Saat ini, pengobatan memang sudah ditanggung oleh jaminan kesehatan nasional (JKN), namun ada beberapa inovasi dan pengobatan baru belum tercakup.