Undang-Undang yang Justru Membuat Netanyahu Tersingkir
UU Negara Bangsa Yahudi disahkan Netanyahu justru jadi penjegalnya
REPUBLIKA.CO.ID, — UU Negara Bangsa Yahudi disahkan di era pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. UU tersebut disahkan parlemen Israel (Knesset) pada Kamis, 19 Juli 2018, melalui pemungutan suara (voting). Saat itu, sebanyak 62 anggota Knesset setuju, 55 menolak, dan dua orang lainnya abstain.
Parlemen saat itu memang dikuasai kubu Netanyahu. Dari 120 kursi Knesset, 66 di antaranya dikuasai koalisi pemerintahan Netanyau. Partai Likud yang diketuai Netanyahu, memiliki 30 kursi, selebihnya berasal dari partai-partai lain sepert Kulanu (10 kursi), Rumah Yahudi (8), Shas (7), Persatuan Taurat Yahudi (6), dan Yisrael Baiteinu (5).
Dalam sidang parlemen tersebut, anggota Knesset dari partai-partai Arab-Israel melakukan protes keras. Bahkan, Ayman Odeh, pimpinan Partai Hadash merobek-robek lembaran RUU tersebut dalam persidangan yang dihadiri Benjamin Netanyahu.
"Undang-undang supremasi Yahudi telah disahkan, dan kami (warga Arab) akan selamanya menjadi warga kelas dua," kata Ayman Odeh, yang juga merupakan Ketua Fraksi Joint List di Knesset seperti dikutip Aljazeera.
Anggota Knesset dari partai Arab Israel lainnya, Ahmad Tibi, dari Partai Ta'al, mengatakan, disahkannnya UU tersebut, merupakan pertanda demokrasi di Israel telah mati. "Pemakaman demokrasi Israel telah dilakukan dalam sidang paripurna hari ini. UU ini berbahaya, karena menjadikan orang Arab di Israel sebagai target," katanya.
Lolosnya UU tersebut di era Netanyahu, membuat Netanyahu kehilangan dukungan potensial dari partai-partai Arab Israel. Dan, momentum menghukum Netanyahu tersebut akhirnya tiba. Dalam Pemilu Israel Maret 2021, Partai Likud pimpinan Netanyahu memang memenangkan pemilu, tapi tidak berhasil mencapai mayoritas 50 persen plus satu. Partai berhaluan nasionalis liberal itu hanya meraih 30 kursi, atau seperempat dari total 120 kursi Knesset.
Alhasil, pada pemilihan perdana menteri di Knesset, 13 Juni lalu, Netanyahu bisa dilengserkan. Dia digantikan Naftali Bennet yang partainya, Yamina, hanya meraih tujuh kursi.
Dalam pemilihan, Netanyahu kalah tipis. Dia meraih 59 suara. Sedangkan, Bennet meraih 60 suara. Satu anggota parlemen yang abstain, yaitu Said al-Harumi, dari Partai Ra'am menjadi penentu lengsernya Netanyahu.
Sebelumnya, Ra'am merupakan bagian dari faksi Daftar Bersama (Joint List), yang me rupakan koalisi partai-partai Arab di Parlemen Israel, pimpinan Ayman Odeh.
Partai-partai lain dalam koalisi ini adalah Hadash, Balad, dan Ta'al. Namun, koalisi tersebut pecah pada Februari 2021. Dalam Pemilu 2021, Partai Ra'am yang dipimpin Mansur Abbas meraih empat kursi, sama dengan jumlah kursi yang diraih Joint List.
Tapi, meski pemerintahan berganti, UU Negara Bangsa Yahudi tersebut malah dikukuhkan eksistensinya oleh Mahkamah Agung Israel.
Pemerintahan Naftali Bennet, yang berhaluan ultra-kanan, lebih radikal dan hawkish dibanding Netanyahu. Naftali Bennet bahkan sama sekali menolak mengakui eksistensi Palestina, meskipun sejumlah negara besar seperti Amerika mendukung solusi dua negara (two state solution).
Bukan UU biasa
UU Negara Bangsa Yahudi memang bukanlah UU biasa. Dia merupakan sebuah hukum dasar (Basic Law: Israel as the Nation-State of the Jewish People). UU itu mengklaim tanah Israel sebagai tanah air historis orang Yahudi.
UU itu juga mengklaim negara Israel sebagai rumah nasional orang Yahudi yang didasarkan pada sejarah, budaya, hingga agama. Bahkan, UU tersebut juga menyatakan bahwa Yerusalem yang utuh dan menyatu sebagai ibu kota Israel.
Selain itu, UU tersebut juga menyatakan bahwa menciptakan komunitas Yahudi sebagai kepentingan nasional Israel, dan akan terus mendatangkan orang-orang Yahudi dari seluruh dunia ke Israel, atau dikenal sebagai Aliyah. Dan, bahwa pembangunan pemukiman Yahudi [di wilayah pendudukan] merupakan nilai nasional yang didorong dan dipromosikan.
UU ini juga menegaskan bahasa Ibrani sebagai bahasa resmi, sedangkan bahasa Arab yang merupakan bahasa dari sekitar dua juta penduduk Israel, tidak lagi digunakan sebagai bahasa resmi, serta akan dihilangkan dari berbagai plang maupun penunjuk jalan. UU ini juga menyatakan bahwa Israel menggunakan kalender Ibrani, meski tetap menggunakan kalender Gregorian.