DPD RI: Pemilu Langsung Seperti Industri Dalam Demokrasi

Biaya pemilu yang terlampau besat sangat rawan menyebabkan penyalahgunaan anggaran

DPD
Wakil ketua DPD RI Sultan B Najamudin di Jakarta pada Ahad (19/9), meminta Pemerintah dan DPR untuk meninjau kembali sistem pemilu langsung Indonesia yang membutuhkan anggaran hingga ratusan triliun.
Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) meminta Pemerintah dan DPR untuk meninjau kembali sistem pemilu langsung Indonesia yang membutuhkan anggaran hingga ratusan triliun.

"Sangat Penting bagi kita sebagai bangsa yang menjunjung tinggi prinsip musyawarah mufakat untuk meninjau kembali sistem pemilu yang boros dan cenderung menyebabkan kerentanan sosial seperti ini. Pemilu Langsung sudah seperti industri dalam demokrasi kita," ujar wakil ketua DPD RI Sultan B Najamudin di Jakarta pada Ahad (19/9), dalam siaran persnya.

Menurutnya biaya pemilu yang terlampau jumbo akan sangat rawan menyebabkan penyalahgunaan anggaran. Belum lagi jika ditambahkan dengan modal pemilu milik partai politik dan capres. Pemilu Langsung hanya jadi ajang adu kuat modal politik, yang sumbernya berasal dari cukong dan oligarki.

"Secara ekonomi mungkin bagus  karena akan ada banyak uang Politik yang beredar di masyarakat, namun jika itu harus dibayar dengan rendahnya kualitas pemilu dan potensi konflik horizontal, maka pemilu justru hanya akan menjadi penyebab bagi kemunduran demokrasi itu sendiri," terang mantan wakil Gubernur Bengkulu ini.

Di sisi lain, bagi Indonesia yang notabene merupakan negara berkembang, angka ratusan Triliun adalah terlalu mubazir jika hanya dijadikan modal pemilu yang sejatinya bisa disiasati secara lebih efisien dan efektif.

"Secara kelembagaan, DPD RI sangat menghormati mekanisme demokrasi yang demikian, namun jika kita sejenak membandingkan proses pemilu kita selama ini dengan kualitas demokrasi yang ditimbulkan setelahnya, maka tidak terlalu sulit bagi kita untuk berbesar hati untuk mengevaluasi sistem pemilu langsung yang ada," tambahnya.

Lebih lanjut Sultan mengingatkan bahwa, Pemerintah Perlu memperhatikan kondisi fiskal saat ini yang semakin banyak ditopang oleh utang luar negeri. Jika pemilu harus dibiayai dengan utang, betapa naifnya bangsa ini.

"Dalam suasana bangsa yang belum sepenuhnya pulih akibat pandemik covid-19, sebaiknya anggaran difokuskan pada pembenahan sistem dan manajemen kesehatan dan pendidikan, serta upaya  pemulihan ekonomi nasional. Pesta Demokrasi tidak pantas dirayakan di tengah meningkatnya angka kemiskinan rakyat," tegas Sultan.

Biaya Pemilu ke depannya pasti akan semakin meningkat, ini jebakan demokrasi liberal yang harus kita hindari. Sudah saatnya kita kembali mekanisme demokrasi Pancasila yang lebih berkualitas dan ekonomis.  

"Oleh karena itu, kami menyarankan agar bangsa ini untuk melakukan restorasi demokrasi dengan memperbaharui sistem pemilu dan ketatanegaraan sejak dari hulunya, yang adalah konstitusi negara. Kita membutuhkan amandemen secara lebih menyeluruh, tidak sekedarnya saja," ujarnya.

Seperti diketahui bahwa, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung menyebut penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang digelar serentak tahun 2024 mendatang merupakan penyelenggaraan yang sangat mahal.

Pemilu 2024 nanti adalah pemilu yang menurut saya sangat mahal ya. Saya sudah hitung-hitung sebetulnya dari pengajuan yang disampaikan KPU, Bawaslu, apakah itu dari sumber APBN maupun APBD ya itu tidak kurang sekitar 150 triliun, itu kita belum bicara keamanan dan seterusnya," kata Doli dalam paparannya dalam webinar bertajuk 'Memotret Persiapan Pemilu 2024: Tahapan, Strategi, dan Prediksi' yang digelar Indonesian Public Institute (IPI) secara daring, Kamis (2/9).

Baca Juga


Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler