Vaksin Malaria, Secercah Harapan untuk Afrika

Benua Afrika menghadapi 400 ribu kematian per tahun akibat malaria

AP Photo/LM Otero
Ilustrasi vaksin malaria. Benua Afrika menghadapi 400 ribu kematian per tahun akibat malaria.
Rep: Dwina Agustin Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengesahkan vaksin malaria pertama di dunia pada Rabu (6/10). Vaksin tersebut harus diberikan kepada anak-anak di seluruh Afrika dengan harapan akan mengekang penyebaran penyakit parasit tersebut.

"Rekomendasi hari ini menawarkan secercah harapan bagi benua yang menanggung beban terberat dari penyakit ini. Dan kami berharap lebih banyak lagi anak-anak Afrika yang terlindung dari malaria dan tumbuh menjadi orang dewasa yang sehat,” kata direktur WHO Afrika, Dr. Matshidiso Moeti.

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menyebutnya sebagai momen bersejarah. WHO mengatakan keputusannya sebagian besar didasarkan pada hasil dari penelitian yang sedang berlangsung di Ghana, Kenya, dan Malawi yang melacak lebih dari 800 ribu anak yang telah menerima vaksin sejak 2019. WHO mengatakan efek samping jarang terjadi, tetapi terkadang termasuk demam yang dapat menyebabkan kejang sementara.

Vaksin yang dikenal sebagai Mosquirix ini dikembangkan oleh GlaxoSmithKline pada 1987. Meskipun merupakan yang pertama disahkan, vaksin tersebut menghadapi tantangan dengan keefektifan sekitar 30 persen. Vaksin ini pun memerlukan hingga empat dosis dan perlindungannya memudar setelah beberapa bulan.

Namun, para ilmuwan mengatakan vaksin itu bisa berdampak besar terhadap malaria di Afrika. Wilayah itu sudah menjadi rumah bagi sebagian besar dari 200 juta kasus di dunia dan 400 ribu kematian per tahun akibat malaria.

"Ini adalah langkah maju yang besar. Ini adalah vaksin yang tidak sempurna, tetapi masih akan menghentikan ratusan ribu anak dari kematian," kata Direktur Cambridge Institute for Medical Research, Julian Rayner.

Rayner mengatakan dampak vaksin terhadap penyebaran penyakit yang ditularkan nyamuk masih belum jelas. Namun merujuk pada vaksin yang dikembangkan untuk virus corona, upaya saat ini disebut sebagai contoh yang menggembirakan.

"Dua tahun terakhir telah memberi kita pemahaman yang sangat bernuansa tentang betapa pentingnya vaksin dalam menyelamatkan nyawa dan mengurangi rawat inap, bahkan jika itu tidak secara langsung mengurangi penularan," ujar ilmuwan yang tidak terlibat dengan WHO itu.

Baca Juga


Kepala kelompok vaksin WHO yang membuat rekomendasi, dr. Alejandro Cravioto, mengatakan merancang vaksinasi terhadap malaria sangat sulit karena merupakan penyakit parasit yang disebarkan oleh nyamuk. "Kami dihadapkan dengan organisme yang luar biasa kompleks. Kami belum mencapai vaksin yang sangat manjur, tetapi yang kami miliki sekarang adalah vaksin yang dapat digunakan dan itu aman," katanya.

Direktur Pendukung Malaria Center di London School of Hygiene and Tropical Medicine, Sian Clarke, mengatakan vaksin itu akan menjadi tambahan yang berguna untuk alat lain melawan penyakit. Benda bantu seperti kelambu dan disinfektan mungkin telah kehabisan kegunaannya setelah digunakan selama beberapa dekade.

"Di beberapa negara yang sangat panas, anak-anak hanya tidur di luar sehingga mereka tidak dapat dilindungi oleh kelambu. Jadi jelas jika mereka sudah divaksinasi, mereka akan tetap terlindungi," kata Clarke.

Dalam beberapa tahun terakhir, sedikit kemajuan yang signifikan telah dibuat melawan malaria. "Jika kita ingin mengurangi beban penyakit sekarang, kita membutuhkan sesuatu yang lain," ujar Clarke.

Ketua penyakit menular di Imperial College London, Azra Ghani, mengatakan dia dan rekan memperkirakan memberikan vaksin malaria kepada anak-anak di Afrika dapat menghasilkan pengurangan 30 persen secara keseluruhan. Jumlah itu akan menurunkan hingga kurang lebih delapan juta kasus dan sebanyak 40 ribu kematian per tahun.

"Untuk orang yang tidak tinggal di negara malaria, pengurangan 30 persen mungkin tidak terdengar banyak. Akan tetapi bagi masyarakat yang tinggal di daerah itu, malaria menjadi salah satu perhatian utama mereka," kata Ghani.

Menurut Ghani pengurangan 30 persen akan menyelamatkan banyak nyawa dan akan menyelamatkan ibu membawa anak-anak mereka ke pusat kesehatan dan membanjiri sistem kesehatan. Panduan WHO diharapkan akan menjadi langkah pertama untuk membuat vaksin malaria yang lebih baik.

Upaya untuk memproduksi vaksin malaria generasi kedua mungkin didorong oleh teknologi messenger RNA yang digunakan untuk membuat dua vaksin Covid-19 yang paling sukses, yaitu dari Pfizer-BioNTech dan Moderna. "Kami telah melihat tingkat antibodi yang jauh lebih tinggi dari vaksin mRNA dan mereka juga dapat diadaptasi dengan sangat cepat," kata Ghani.

BioNTech baru-baru ini mengatakan akan mulai meneliti kemungkinan vaksin malaria. "Tidak mungkin untuk mengatakan bagaimana hal itu dapat memengaruhi vaksin malaria, tetapi kami jelas membutuhkan opsi baru untuk melawannya," ujar Ghani.

sumber : AP
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler