CIPS: Harga Pangan Indonesia Masih Bisa Lebih Murah
Tingginya harga pangan di Indonesia karena inefisiensi produksi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pantauan Indeks Bulanan Rumah Tangga (BuRT) oleh lembaga riset Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menunjukkan, keluarga Indonesia seharusnya bisa berhemat Rp 179.381 bulan ini karena harga tujuh komoditas pangan sebenarnya bisa ditekan menjadi lebih murah.
Indeks BuRT mengamati pengeluaran untuk pembelian bahan pangan pokok masyarakat Indonesia dibandingkan dengan pengeluaran serupa di Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Penghematan dihitung dengan mengalikan perbedaan harga komoditas pangan di Indonesia dan harga terendah komoditas pangan di negara lain dengan tingkat rata-rata konsumsi tiap komoditas. Hasilnya kemudian dikalikan dengan jumlah rata-rata anggota keluarga Indonesia, yaitu empat orang.
“Jumlah yang bisa dihemat sangat berpengaruh bagi keluarga berpenghasilan rendah. Mereka bisa mengalokasikan uang ini untuk kebutuhan lain, seperti biaya kesehatan atau sewa rumah,” kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Indra Setiawan.
Harga tujuh komoditas pangan di Indonesia masih lebih tinggi disebabkan oleh beberapa faktor, seperti inefisiensi proses produksi, keterbatasan stok hingga penyerapan pasar yang masih rendah akibat kebijakan pembatasan sosial.
Harga komoditas pangan yang tinggi dan berkurangnya penghasilan keluarga berpenghasilan rendah di masa pandemi telah membuat mereka lebih memilih mengkonsumsi pangan yang mengenyangkan dan murah dibandingkan dengan yang bergizi.
Pada September 2021, BPS mencatatkan deflasi sebesar 0,04 persen karena adanya penurunan harga di beberapa kelompok pengeluaran termasuk makanan,minuman, dan tembakau yang mengalami deflasi sebesar 0,47 persen.
Data Indeks BuRT menunjukkan penurunan harga terjadi pada beberapa komoditas pangan, seperti minyak goreng, telur, bawang merah, bawang putih, garam beryodium, beras, dan cabai merah namun dii saat bersamaan, terjadi kenaikan harga pada beberapa komoditas pangan, seperti gula, ayam, dan daging sapi.
Dibandingkan dengan bulan sebelumnya, harga daging sapi naik 3,7 persen dari Rp 159.899 per kg menjadi Rp 165.833 per kg di bulan September. Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyatakan, kenaikan harga sapi bakalan di negara-negara pengekspor sejak pertengahan 2020 berada dibalik kenaikan itu.
“Hal ini perlu diwaspadai pemerintah dengan terus memantau parameter harga dan ketersediaan stok. Jangan menunggu sampai terjadi kelangkaan dan harga semakin tidak bisa dijangkau, baik oleh konsumen maupun pengusaha UMKM yang membeli daging sapi secara eceran,” tandasnya.
Harga ayam sedikit naik dari Rp 36.556 per kg menjadi Rp 36.733 per kg karena kenaikan harga input, seperti day old chicken (DOC) broiler yang berada di atas harga acuan, dan pakan seperti jagung dan kedelai.
Penurunan harga telur, yang dimulai sejak Juni 2021, masih menerus, menurun menjadi Rp 24.694 per kg di bulan September dari Rp 26.700 per kg di bulan sebelumnya. Kemendag menunjuk kepada produksi telur yang berlebihan dan permintaan yang melemah terutama akibat pembatasan mobilitas sebagai bagian dari kebijakan pengendalian COVID-19.
“Pemerintah perlu memastikan ketersediaan jagung sebagai komponen utama pakan ternak mudah diakses, berkualitas baik dan bisa didapat dengan harga terjangkau. Hal tersebut dapat memastikan penurunan harga tidak berdampak signifikan pada pendapat peternak ayam petelur,” jelasnya.
Cabai merah mengalami penurunan tajam pada periode Agustus-September dari Rp 59.611 per kg menjadi Rp 52.833 per kg, sementara harga bawang merah turun tipis dari Rp 79.389 per kg menjadi Rp 78.472 per kg.
Kementerian Pertanian dan Asosiasi Petani Cabai menyatakan telah terjadi kelebihan pasokan di beberapa daerah yang disertai penurunan permintaan selama pandemi, sementara harga bawang merah mungkin akan terus tertekan karena akan memasuki musim panen.