Sengketa Berlanjut, PM Polandia Tuduh UE Lakukan 'Pemerasan'
PM Polandia Mateusz Morawiecki membela putusan pengadilan tinggi negaranya.
Perdana Menteri Polandia Mateusz Morawiecki menyampaikan pembelaan saat menjawab pertanyaan anggota Parlemen Eropa pada Selasa (19/10), tentang putusan Mahkamah Konstitusi negaranya yang menantang keutamaan hukum Uni Eropa (UE).
Pengadilan tinggi Polandia itu sebelumnya memutuskan pada 7 Oktober bahwa sebagian dari hukum UE "tidak sesuai” dengan konstitusi negara, sehingga memberikan keutamaan kepada hukum nasional.
Putusan ini telah dikritik secara luas oleh Komisi Eropa dan beberapa negara anggota, termasuk Prancis dan Jerman. Putusan tersebut juga memicu aksi unjuk rasa di seluruh Polandia karena dikhawatirkan dapat menjadi langkah pertama bagi Polandia untuk meninggalkan Eropa.
Apa yang disampaikan Morawiecki?
Dalam sebuah debat panjang dan emosional, PM Polandia itu membantah pernyataan yang menyebut bahwa negaranya berada di jalur yang berpotensi menuju "Polexit”. Sebaliknya, ia justru mengajak negara-negara anggota untuk bersatu melawan tantangan bersama seperti kekurangan energi, migrasi dan agresi Rusia.
Meski begitu, ia juga melontarkan serangan terhadap UE dan para kritikus di Polandia. Menurutnya ada negara-negara anggota di UE yang "diperlakukan sebagai anggota kelas dua”, bahwa Polandia diserang secara tidak adil oleh lembaga-lembaga Eropa.
"Negara-negara anggota tetap berdaulat,” kata Morawiecki membela putusan Mahkamah Konstitusi Polandia yang kontroversial itu.
Morawiecki juga menuduh UE melakukan "pemerasan”, dengan mengatakan "tidak dapat diterima [UE] berbicara tentang sanksi keuangan”. "Saya tidak akan terima ada politisi yang ingin memeras dan mengancam Polandia,” tambahnya.
Morawiecki juga mengkritik ekspansi dari kekuatan UE, yang didorong oleh Mahkamah Eropa (ECJ).
Tidak ada ‘kesepakatan khusus' untuk Polandia
Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengatakan kepada anggota parlemen Uni Eropa pada Senin (18/10) bahwa dia "sangat prihatin” atas apa yang terjadi di Polandia.
Dalam kesempatan itu, ia mengatakan bahwa "prosedur Pasal 7” masih menjadi "alat yang ampuh” untuk menangani pelanggaran dari negara-negara anggota. Pasal 7 memungkinkan UE untuk menghapus hak-hak tertentu dari negara-negara anggota, termasuk mencabut hak suara mereka.
"Kita tidak bisa dan kita tidak akan membiarkan nilai-nilai bersama kita terancam,” kata von der Leyen kepada Parlemen.
Sementara itu, Menteri Urusan Eropa Jerman Michael Roth di sela-sela pertemuan pada Selasa (19/10), mengatakan bahwa "tidak ada ruang kompromi dalam perselisihan dengan Polandia tentang supremasi hukum.”
Roth mengatakan bahwa kedua belah pihak harus mengadakan pembicaraan, tetapi memperingatkan "tidak akan ada kesepakatan khusus” untuk Polandia.
"Di akhir dialog nantinya, harus ada pengakuan yang jelas tentang apa yang kita semua telah komitmenkan ketika bergabung dengan Uni Eropa,” jelasnya.
Perselisihan yang sudah berlangsung lama
Perselisihan antara Brussels dan Warsawa berawal ketika UE mengecam tindakan pemerintah Polandia yang dianggap melanggar independensi peradilan.
Mahkamah Konstitusi yang sebelumnya mengeluarkan putusan menantang supremasi hukum UE itu sejatinya telah dianggap tidak independen oleh UE karena pengaruh politik partai penguasa di sana.
Pada bulan Maret lalu, ECJ mengatakan bahwa UE dapat memaksa negara-negara anggota untuk mengabaikan ketentuan tertentu dalam hukum nasional, termasuk hukum konstitusional. ECJ juga menambahkan bahwa prosedur yang baru-baru ini diterapkan Polandia dalam menunjuk anggota pengadilan tinggi melanggar hukum UE.
UE juga telah menahan miliaran euro dana pemulihan pascapandemi menyusul kekhawatiran tentang mundurnya aturan hukum di Polandia.
gtp/ha (AP, AFP, Reuters)