WHO: Pandemi Covid-19 akan Berlangsung Hingga 2022

Pandemi akan berlangsung satu tahun lagi, karena negara miskin tidak mendapat vaksin

EPA-EFE/Johnny Parra
Migran Venezuela berjalan di jalan raya yang sarat dengan koper dan tas di San Cristobal, negara bagian Tachira, Venezuela, 07 Oktober 2020 (dikeluarkan 12 Oktober). Meninggalkan segalanya tetap menjadi pilihan ratusan warga Venezuela yang, diliputi oleh kemiskinan ekstrem, berjalan hingga lebih dari seribu kilometer dengan harapan meninggalkan negara itu, bahkan jika ini berarti berjalan selama berhari-hari dan sejumlah risiko di jalan. Mereka yang memutuskan untuk pindah, di tengah pandemi COVID-19, merasa bahwa mereka tidak akan rugi apa-apa di Venezuela dan mungkin sesuatu untuk diraih di negeri lain.
Rep: rizky jaramaya Red: Hiru Muhammad

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA--Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, pandemi Covid-19 akan berlangsung satu tahun lagi, karena negara-negara miskin tidak mendapatkan vaksin. Pemimpin senior WHO Bruce Aylward, mengatakan, krisis Covid-19 dapat dapat berlanjut hingga 2022.


Aylward mengatakan, sejauh ini kurang dari 5 persen populasi Afrika telah menerima vaksinasi Covid-19. Jumlah tersebut sangat rendah dibandingkan dengan 40 persen di sebagian besar benua lain. Aylward mengimbau negara-negara kaya untuk mengalah agar perusahaan farmasi dapat memprioritaskan vaksinasi kepada negara-negara berpenghasilan rendah.

 "Saya dapat memberitahu Anda kami tidak di jalur yang tepat. Kami benar-benar perlu mempercepatnya atau Anda tahu? Pandemi ini akan berlangsung selama satu tahun lebih lama dari yang seharusnya," ujar Aylward, dilansir BBC News, Kamis (21/10).

Sebagian besar vaksin Covid telah diberikan ke negara-negara berpenghasilan tinggi atau menengah ke atas. Afrika hanya mendapatkan 2,6 persen dari dosis yang diberikan secara global. Kelompok amal, yang mencakup Oxfam dan UNAids, mengkritik Kanada dan Inggris karena melakukan pengadaan vaksin untuk populasi mereka sendiri melalui Covax. Padahal Covax adalah program global yang didukung PBB untuk mendistribusikan vaksin secara adil, terutama bagi negara miskin.

Angka resmi menunjukkan bahwa awal tahun ini Inggris menerima 539.370 dosis vaksin Pfizer. Sementara Kanada menerima di bawah satu juta dosis vaksin AstraZeneca melalui skema Covax.

Ide awal Covax adalah semua negara  dapat memperoleh vaksin secara adil, termasuk negara kaya yang sudah memberikan sumbangan. Tetapi sebagian besar negara G7 memutuskan untuk menahan diri agar tidak ikut dalam skema Covax, dan mulai membuat kesepakatan pribadi dengan perusahaan farmasi.

Penasihat Kesehatan Global Oxfam, Rohit Malpani, mengakui bahwa Kanada dan Inggris secara teknis berhak mendapatkan vaksin melalui mekanisme Covax. Tetapi menurut Malpani, secara moral semestinya Inggris dan Kanada tidak lagi bergabung dengan skema Covax. Karena, kedua negara telah memperoleh jutaan dosis melalui  perjanjian bilateral mereka sendiri.

"Mereka seharusnya tidak mendapatkan dosis ini dari Covax. Tidak ada yang lebih baik dari double-dipping dan berarti negara-negara miskin yang sudah berada di belakang antrian, akan menunggu lebih lama," ujar Malpani.

Pemerintah Inggris mengatakan, mereka adalah salah satu negara yang telah mendukung Covax tahun lalu dengan sumbangan sebesar 548 juta poundsterling. Sementara pemerintah Kanada menekankan bahwa, mereka sekarang sudah tidak lagi menggunakan vaksin yang diperoleh dari skema Covax.

"Setelah pasokan yang kami dapatkan melalui kesepakatan bilateral cukup untuk penduduk Kanada, kami telah mengembalikan vaksin yang diperoleh dari skema Covax, sehingga dapat didistribusikan  ke negara-negara berkembang," ujar Menteri Pembangunan Internasional Kanada, Karina Gould.

Covax awalnya bertujuan untuk mengirimkan dua miliar dosis vaksin pada akhir 2021. Sejauh ini, Covax mengirimkan 371 juta dosis secara global. 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler