Skrining dan Deteksi Dini Kanker Masih Rendah

Rendahnya skrining dan deteksi dini kanker menyebabkan tingginya angka mortalitas.

PxHere
Rendahnya skrining dan deteksi dini kanker menyebabkan tingginya angka mortalitas.
Red: Nora Azizah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam penanganan kanker mulai dari standar kualitas pelayanan kanker dan sumber daya manusia (SDM) yang belum merata. Tak hanya itu, upaya skrining dan deteksi dini kanker juga tergolong rendah.

Baca Juga


dr Awal Prasetyo, MKes, SpTHT-KL, MARS, selaku Ketua Bidang Organisasi YKI Jawa Tengah, mengatakan bahwa tantangan terbesar dalam penanggulangan kanker di Indonesia adalah semakin meningkatnya jumlah penderita kanker. Tak hanya itu, kasus stadium lanjut saat pertama kali didiagnosis juga tinggi.

"Rendahnya skrining dan deteksi dini pada pasien kanker ini menyebabkan tingginya angka mortalitas," kata Awal Prasetyodalam diskusi daring, Kamis (4/11).

Awal juga mengatakan bahwa akses dan fasilitas kesehatan yang mampu memberikan layanan kanker dan sebaran dokter ahli kanker di Indonesia masih belum merata. Selain itu, kata Awal, animo masyarakat untuk berobat kanker ke luar negeri masih tinggi karena mereka meyakini bahwa hasil pengobatan dan kualitas yang mereka dapatkan bisa lebih baik dibanding berobat di dalam negeri.

Ketua Yayasan Kanker Indonesia (YKI) Koordinator Jawa Tengah, dr Eko Adhi Pangarsa, SpPD-KHOM, mengatakan, pelayanan kesehatan di Indonesia saat ini hanya menyediakan 1,18 tempat tidur per 1000 orang penduduk. Dari jumlah tersebut, Indonesia masih tertinggal jika dibandingkan negara lain yang menyediakan 3,3 tempat tidur per 1000 penduduk.

"Dari data yang ada terjadi pengeluaran dana sebesar 11,5 miliar dolar AS (sekitar Rp165 triliun) ke luar negeri untuk pengobatan dan kanker merupakan alasan kedua WNI berobat ke luar negeri," kata Eko.

Untuk mengatasi hal tersebut, Eko menilai bahwa perlu adanya peran serta pemerintah pusat dengan membentuk regulasi yang mengatur sistem kerja organisasi penyelenggara layanan kesehatan kanker. Dibutuhkan pula membentuk badan negara pengendalian kanker sesuai rekomendasi World Health Organization (WHO) lewat program National Cancer Control.

"Selain itu, perlu adanya pengembangan jejaring atau stratifikasi layanan kanker menuju terciptanya sistem jejaring kanker nasional yang optimal, komprehensif, dan cost effectiveness," tambahnya.

Kemudian, lanjut dia, peran serta pemerintah daerah juga diperlukan dalam membuat kebijakan dan strategi pengendalian kanker, termasuk peningkatan upaya skrining dan deteksi dini serta penguatan fasilitas kesehatan. Eko juga berharap pemerintah dapat mendukung peran komunitas pasien kanker yang terlibat langsung dalam pengendalian kanker di tingkat masyarakat dengan tiga area kerjanya, yaitu pendampingan pasien, edukasi masyarakat, dan penyampaian aspirasi untuk perbaikan pelayanan kanker.

"Orkestrasi semua stakeholder ini sangat penting, sehingga kita mampu menurunkan angka kejadian atau fatalitas serta memperbaiki angka harapan hidup penderita kanker di negara kita," tutup Eko.

 

Ketua Umum Perhimpunan Onkologi Indonesia cabang Jakarta Raya, Dr dr Cosphiadi Irawan, SpPD-KHOM, FINASIM, mengimbau masyarakat untuk tidak takut menjalani deteksi dini kanker payudara dengan periksa payudara sendiri (SADARI). Deteksi dini penting agar segera bisa ditangani bila ditemukan kelainan.

"Yang kerap dihadapi justru pasien menghindari SADARI karena merasa takut," kata Cosphiadi dalam webinar kesehatan, beberapa waktu lalu.

Di sisi lain, masyarakat juga belum terbiasa menjalani pemeriksaan payudara klinis (SADANIS) yang sama-sama bertujuan menemukan benjolan atau tanda-tanda lain pada payudara sedini mungkin. Dia berharap paradigma soal deteksi dini bisa diubah agar masyarakat lebih sadar pentingnya deteksi dini, bukan menjauhinya. Sebab, 70 persen pasien terdiagnosis kanker payudara baru memeriksakan diri ke dokter ketika sudah dalam stadium lanjut. 

Ketika pasien berada dalam stadium lanjut, tingkat keberhasilan penanganan juga semakin kecil dan kualitas hidupnya akan menurun. Semakin cepat kanker dideteksi, kualitas hidup pasien akan semakin baik. Penanganan yang kurang optimal ini berdampak kepada tingginya angka kematian serta rendahnya angka kesintasan.

"Di negara maju, setting populasi proporsinya sudah terbalik, 70 persen pasien ada di stadium satu atau dua, di Indonesia ini yang masih menantang," katanya.

Dia menjelaskan, kanker payudara adalah salah satu jenis kanker yang dapat dideteksi sejak dini dan mempunyai tingkat kesintasan yang cukup tinggi jika penanganannya dilakukan secara tepat waktu dan optimal. Namun, saat ini di Indonesia masih banyak kasus atau sekitar 60 persen yang datang dalam kondisi stadium lokal lanjut dan stadium lanjut. Untuk memberikan penanganan kanker yang bermutu, holistik, dan tepat waktu, terdapat banyak tantangan bagi dokter spesialis onkologi di antara berbagai kesibukannya.

Data GLOBOCAN pada tahun 2020 menunjukkan, kanker payudara di Indonesia termasuk kanker paling banyak ditemukan pada perempuan dengan proporsi 30,8 persen dari total kasus kanker lainnya dengan 65.858 kasus baru. Jenis kanker ini menempati urutan kedua penyebab kematian akibat kanker dengan persentase sebesar 9,6 persen.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler