Ketegangan dengan AS Meningkat, Iran Gelar Latihan Perang

Latihan perang Iran untuk menghadapi ancaman asing dan kemungkinan invasi.

EPA-EFE/ABEDIN TAHERKENAREH
Militer Iran memulai latihan perang tahunan di daerah pesisir Teluk Oman, pada Ahad (7/11). Foto tentara Iran (ilustrasi).
Rep: Rizky Jaramaya/AP Red: Joko Sadewo

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Militer Iran memulai latihan perang tahunan di daerah pesisir Teluk Oman, pada Ahad (7/11). Latihan tersebut berlangsung kurang dari sebulan sebelum pembicaraan kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) dengan negara Barat.

Televisi Pemerintah Iran melaporkan, latihan perang itu diikuti pasukan angkatan laut, angkatan udara, serta angkatan darat. Mereka berpartisipasi dalam latihan di area seluas lebih dari 1 juta kilometer persegi, di sebelah timur Selat Hormuz. Hampir 20 persen dari semua pengiriman minyak melewati Selat Hormuz untuk menuju ke Teluk Oman dan Samudra Hindia.

Televisi pemerintah mengatakan, barisan brigade termasuk komando dan infanteri udara dikerahkan untuk latihan tahunan.  Jet tempur, helikopter, pesawat angkut militer, kapal selam dan drone juga diharapkan ambil bagian dalam latihan tersebut. Tidak diketahui berapa lama latihan itu akan berlangsung.

Latihan perang tahunan yang dijuluki Zolfaghar-1400, bertujuan meningkatkan kesiapan menghadapi ancaman asing dan kemungkinan invasi. Para pejabat AS mengatakan, Iran menyita kapal tanker minyak berbendera Vietnam di Teluk Oman bulan lalu. Hingga kini, Iran masih menahan kapal itu di pelabuhannya. Sementara, Iran mengeklaim, pasukan komando Pengawal Revolusi telah menggagalkan upaya AS menyita kapal tanker yang membawa minyak Iran di Teluk Omane.

Latihan militer dilakukan di tengah ketegangan yang meningkat antara Iran dan AS. Pada 2018, AS menarik diri secara sepihak dari JCPOA dan menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Iran. Ketika itu, AS dipimpin Presiden Donald Trump.



Kesepakatan nuklir atau JCPOA, menjanjikan insentif ekonomi bagi Iran sebagai imbalan atas pembatasan program nuklirnya. Kesepakatan ini bertujuan untuk mencegah Teheran mengembangkan bom nuklir.

Setelah AS menarik diri dari JCPOA dan menjatuhkan sanksi, Iran secara  bertahap meningkatkan persediaan uranium yang diperkaya. Peningkatan  tersebut berada di atas ambang batas yang disepakati dalam JCPOA. 

Iran mengatakan, persediaan uranium yang diperkaya 20 persen telah mencapai lebih dari 210 kilogram. Di bawah JCPOA, Iran dilarang memperkaya uranium di atas 3,67 persen. Uranium yang diperkaya di atas 90 persen dapat digunakan untuk senjata nuklir.

“Kami memiliki lebih dari 210 kilogram uranium yang diperkaya hingga 20  persen, dan kami telah memproduksi 25 kilogram pada 60 persen, tingkat  yang tidak dapat diproduksi oleh negara selain mereka yang memiliki senjata nuklir,” kata juru bicara Organisasi Energi Atom Iran (AEOI), Behrouz Kamalvandi, dikutip  oleh kantor berita negara IRNA.

Pada September, Badan Energi Atom Internasional mengkonfirmasi bahwa, Iran telah meningkatkan stok uranium yang diperkaya di atas persentase yang diizinkan dalam kesepakatan JCPOA.

Pada 10 Oktober, Kepala AEOI Mohammad Eslami mengatakan, Iran telah memproduksi lebih dari 120 kilo uranium yang diperkaya 20 persen. Secara teori peningkatan tersebut memungkinkan pembuatan isotop medis yang digunakan dalam mendiagnosis kanker tertentu.

Perjanjian JCPOA ditandatangani oleh Inggris, Cina, Rusia, Prancis, Jerman dan AS. Kesepakatan itu menawarkan Iran beberapa keringanan sanksi sebagai imbalan atas pembatasan program nuklirnya. Iran selalu bersikeras bahwa program nuklirnya digunakan untuk tujuan damai. Negosiasi nuklir antara Iran dan kekuatan dunia akan dilanjutkan pada 29 November mendatang di Wina.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler