Hukum Susuan dan Donor ASI
Bagaimana Hukum Islam dalam Susuan dan Donor ASI?
Hukum Susuan dan Donor ASI
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr.wb.
Apakah hukum ibu asuh menyusui anak asuhnya? Mohon penjelasan lengkap dengan dalil-dalilnya.
Wassalamu ‘alaikum wr.wb.
Majelis Pelayanan Sosial Pimpinan Pusat Muhammadiyah (disidangkan pada Kamis, 13 Rajab 1442 H / 25 Februari 2021 M)
Jawaban:
Wa ‘alaikumus salam wr.wb.
Terima kasih atas pertanyaan yang diajukan. Jawaban atas pertanyaan tersebut akan kami sajikan sebagai berikut.
Radā‘ah adalah sampainya ASI (Air Susu Ibu) ke perut seorang bayi yang belum berumur dua tahun. Seorang ibu yang menyusui seorang bayi (bukan anaknya) yang belum berumur dua tahun, hubungan di antara keduanya menjadi mahram karena radā‘ah (susuan).
Pemberian ASI terhadap anak adalah kewajiban orang tua, selain itu juga termasuk bagian tanggung jawab orang tua terhadap anak agar tidak meninggalkan anak dalam keadaan lemah, baik lemah iman maupun fisik. Memberikan nutrisi seperti ASI yang baik berarti orang tua telah menghindarkan keturunannya dari kelemahan fisik. Hal ini sesuai dengan spirit firman Allah swt dalam surah an-Nisā (4): 9,
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا [النساء (4): 9].
Hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
ASI merupakan suatu zat ciptaan Allah yang dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi, karena ASI sangat kaya akan sari-sari makanan yang mempercepat pertumbuhan sel-sel otak dan perkembangan sistem saraf serta memiliki kualitas gizi yang terbaik. ASI mengandung nutrisi yang mencakup hampir 200 unsur zat makanan, hormon, unsur kekebalan, pertumbuhan, anti alergi, serta anti inflamasi dan paling efektif melawan kemungkinan serangan penyakit (imun) dan mencegah kematian anak.
Menurut para ahli kesehatan, ASI mengandung beberapa komponen yang sangat penting untuk nutrisi dan kekebalan tubuh bayi. ASI memiliki kandungan air sebanyak 87.5%, karenanya bayi yang mendapat cukup ASI tidak membutuhkan tambahan air walaupun berada di tempat yang bersuhu udara panas. Kekentalan ASI sesuai dengan saluran cerna bayi, sehingga mudah dicerna oleh bayi. ASI merupakan makanan ideal bagi bayi, menyediakan nutrisi yang mereka butuhkan untuk perkembangan yang sehat dan memberikan antibodi terhadap penyakit anak seperti diare dan pneumonia yang merupakan dua faktor utama kematian anak di beberapa negara.
Manfaat ASI bagi ibu antara lain dapat berfungsi sebagai kontrasepsi penunda haid dan kehamilan (Egbuonu, 2005), mengurangi risiko kanker payudara (Armogida, 2004), mengurangi kanker indung telur (ovarium) dan kanker rahim (Chiaffarino, 2005). Dengan memberikan ASI pada bayi selain hak-hak bayi juga dapat mengurangi kemungkinan penyakit menahun seperti penyakit usus besar (Davis, 2001 dan Ivarsson, 2002).
Mengenai berapa kali menyusui yang menjadikan sebab keharaman nikah, di kalangan ulama ada perbedaan pendapat. Susuan yang dapat menjadikan mahram antara anak dan ibu yang menyusui adalah:
Berkaitan dengan jumlah susuan yang menyebabkan menjadi mahram karena sepersusuan dijelaskan beberapa dalil, seperti hadis Nabi saw;
عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّهَا قَالَتْ: كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ: عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ، ثُمَّ نُسِخْنَ، بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ، فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ [رواه مسلم].
Dari Aisyah (diriwayatkan) ia berkata: Telah diturunkan dalam al-Qur’an sepuluh kali persususan yang dapat menjadikan mahram, lalu dihapus (ketentuan itu) menjadi lima kali, kemudian Rasulullah wafat, sedangkan perkara ini tetap pada hal ini (sebanyak lima kali)” [H.R. Muslim].
Di dalam al-Qur`an pernah disebut bahwa sepuluh kali penyusuan itu menjadikan haram pernikahan antara ibu yang menyusui dengan anak yang disusui. Ketentuan ini kemudian di-mansūkh dengan bilangan lima sehingga menjadi ketetapan bahwa lima kali susuan itu menjadikan kemahraman.
Syafi’iyah berpendapat yang menyebabkan keharaman karena susuan jika dilakukan lima kali, Hanafiyah dan Malikiyah menyatakan bahwa keharaman karena susuan itu secara mutlak artinya asal anak itu sudah pernah menyusu sekalipun hanya sekali, bahkan dikatakan sekalipun hanya satu tetes (TJA II/148).
Pendapat tentang penyusuan mutlak walaupun sekali ini terbantahkan dengan hadis Nabi saw yang menegaskan bahwa susuan yang hanya sekali atau dua kali tidak dapat menjadikan haram pernikahan, seperti seorang ibu yang merasa kasihan lalu menyusuinya. Hal dijelaskan hadis Nabi saw,
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الْحَارِثِ، أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ، حَدَّثَتْ، أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:لَا تُحَرِّمُ الرَّضْعَةُ أَوِ الرَّضْعَتَانِ، أَوِ الْمَصَّةُ أَوِ الْمَصَّتَانِ [رواه مسلم].
Dari Abdullah bin Haris (diriwayatkan) bahwa Ummu Fadhl menceritakan, bahwa Rasulullah saw bersabda: tidak mengharamkan satu kali atau dua kali susuan, satu kali atau dua kali isap [H.R. Muslim].
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ سُوَيْدٌ وَزُهَيْرٌ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَالْمَصَّتَانِ [رواه مسلم].
Dari Aisyah (diriwayatkan) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Sedangkan Suwaid dan Zuhair mengatakan; Sesungguhnya Nabi saw bersabda: Tidak menjadi mahram kalau hanya sekali atau dua kali sedotan [H.R. Muslim].
Adapun di antara indikator susuan yang benar adalah susuan mengenyangkan disebabkan rasa lapar, memberikan bekas di perut anak juga menguatkan tulang dan daging. Hal ini dijelaskan beberapa hadis Nabi saw:
عَنْ مَسْرُوقٍ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدِي رَجُلٌ قَالَ يَا عَائِشَةُ مَنْ هَذَا قُلْتُ أَخِي مِنْ الرَّضَاعَةِ قَالَ يَا عَائِشَةُ انْظُرْنَ مَنْ إِخْوَانُكُنَّ فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنْ الْمَجَاعَةِ [رواه البخاري].
Dari Masruq (diriwayatkan) bahwa `Aisyah r.a berkata, Nabi saw masuk rumahku dan di sisiku ada seorang lelaki. Beliau bertanya: Wahai Aisyah siapa ini? Aku menjawab: Dia saudara sepersusuanku. Nabi bersabda: Wahai Aisyah lihatlah siapa yang menjadi saudaramu, hanyalah persusuan yang (mengharamkan) disebabkan rasa lapar [H.R. al-Bukhārī].
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ يُحَرِّمُ مِنَ الرِّضَاعَةِ إِلاَّ مَا فَتَقَ الأَمْعَاءَ فِي الثَّدْيِ، وَكَانَ قَبْلَ الفِطَامِ [رواه الترمذي].
Dari Ummu Salamah (diriwayatkan) ia berkata, Rasulullah saw bersabda: Tidak haram dari penyusuan melainkan apa yang memberikan bekas di perut, dan sebelum putus susuan [H.R. at-Tirmiżī].
Yahya bin Said mendengar Said bin Musayab berkata bahwa susuan yang dianggap itu adalah yang menguatkan tulang dan menumbuhkan daging.
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ لَا رَضَاعَ إِلَّا مَا شَدَّ الْعَظْمَ وَأَنْبَتَ اللَّحْمَ …عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَعْنَاهُ وَقَالَ أَنْشَزَ الْعَظْمَ [رواه أبو داود].
Dari Ibnu Mas’ud (diriwayatkan), ia berkata; Tidaklah (dianggap) persusuan kecuali yang dapat menguatkan tulang dan menumbuhkan daging. … dari Ibnu Mas’ud dari Nabi saw dengan makna yang sama dengannya, dan ia berkata; serta menumbuhkan tulang [H.R. Abū Dāwud].
لاَ رَضَاعَةَ إِلاَّ مَا كَانَ فِي الْمَهْد, وَإِلاَّ مَا أَنْبَتَ اللَّحْمَ، وَالدَّمَ [رواه مالك].
Tidak ada susuan kecuali pada masa bayi dan tidak ada susuan melainkan apa yang menguatkan tulang dan daging [Mālik, al-Muwaṭṭa, bab Raḍā‘ah 4/872].
Dalam persoalan susuan yang dapat menjadikan kemahraman, tidak hanya dilihat dari jumlah susuannya tetapi juga dapat dilihat dari sifatnya langsung maupun tidak langsung. Seorang pendonor ASI ini akan dianggap sebagai mahram bagi anak susuannya baik disusui secara langsung (menyusui dari puting seorang ibu) maupun tidak langsung (melalui botol atau dot) yang berisi ASI dari pihak pendonor.
Di kalangan para ulama terjadi perbedaan pendapat tentang persoalan ini, mereka berbeda memahami kata maṣṣah dalam hadis riwayat Muslim (lihat hadis Abdullah bin Haris dan Aisyah). Sebagian ulama memahami kata maṣṣah itu secara tekstual yakni mengisap secara langsung, karenanya status anak dan ibu susuan itu berlaku jika proses menyusui dilakukan secara langsung.
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa bayi yang menyusu baik secara langsung maupun tidak langsung dari seorang ibu, maka berlaku baginya hukum sebagai anak dan ibu susuan. Mereka memahami bahwa substansi dari proses menyusui itu sendiri yang bisa menyebabkan seorang bayi hilang rasa hausnya dan menjadikan kenyang baginya seperti hadis riwayat al-Bukhārī, at-Tirmiżī dan Abū Dāwud (lihat hadis Masruq, Umi Salamah dan Ibnu Mas’ūd) yang telah tersebut di atas. Seorang bayi yang mengonsumsi ASI dari wadah seperti dot atau lainnya temasuk bagian dari proses susuan secara tidak langsung, sehingga ia mendapat konsekuensi dari hukum susuan.
Menyusui tidak hanya sebagai kewajiban orang tua terhadap pemenuhan kebutuhan anak, namun juga sebagai bentuk pengabdian kepada Allah swt. Dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menjelaskan tentang pentingnya pemberian ASI bagi bayi di usia penyusuan anak antara 0-2 tahun. Hal ini dijelaskan firman Allah swt,
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ [البقرة (2): 233].
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan [Q.S. al-Baqarah: 233].
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ [لقمان (31): 14].
Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang ibu-bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu [Q.S. Luqman (31): 14].
Hadis Nabi saw:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ, قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:لَا رَضَاعَ إِلَّا مَا كَانَ فِي الْحَوْلَيْنِ [رواه الدارقطنى].
Dari Ibnu Abbas (diriwayatkan), Rasulullah saw bersabda: Tidak ada penyusuan melainkan di dalam dua tahun [H.R. ad-Dāruquṭnī].
Susuan yang terjadi kepada anak di atas usia 2 tahun atau usia balig tidak dapat dibenarkan. Selain berdasarkan aturan yang sudah dijelaskan oleh al-Qur’an dan hadis tentang usia susuan anak dan indikator susuan yang dapat menjadikan mahram juga menampakan aurat saat menyusui kepada anak yang sudah usia balig adalah perkara yang bertentangan dengan ajaran agama Islam itu sendiri.
Adapun kasus yang terjadi kepada Sālim anak angkat Abū Ḥużaifah yang diperintahkan Nabi saw untuk disusui setelah besar adalah kekhususan kepada orang yang kondisinya sama seperti Sālim yakni sudah diasuh sejak kecil, sulit untuk dipisahkan dan dinasabkan kepada ayah angkatnya, Abū Ḥużaifah (terjadi sebelum perintah berhijab dan anak angkat). Selain itu Nabi saw juga tidak memerintahkan kepada sahabat lainnya. Oleh karenanya, kisah Sālim maulā Abū Ḥużaifah bersama Sahlah tidak dapat diamalkan. Kisah ini dijelaskan dalam hadis Nabi saw,
عَنْ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ سَهْلَةَ بِنْتَ سُهَيْلِ بْنِ عَمْرٍو جَاءَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ سَالِمًا – لِسَالِمٍ مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ – مَعَنَا فِي بَيْتِنَا. وَقَدْ بَلَغَ مَا يَبْلُغُ الرِّجَالُ، وَعَلِمَ مَا يَعْلَمُ الرِّجَالُ. قَالَ:أَرْضِعِيهِ تَحْرُمِي عَلَيْهِ [رواه مسلم].
Dari Aisyah (diriwayatkan) ia mengabarkan bahwa Sahlah binti Suhail bin ‘Amr datang kepada Nabi saw, lalu berkata: Wahai Rasulullah, sesunggunya Salim maula bagi Abi Ḥużaifah beserta kami di rumah, ia telah sampai usia balig kepadanya dan telah memahami apa yang dipahami oleh kaum laki-laki, lalu sabdanya: susuilah akannya niscaya engkau menjadi haram kepadanya [H.R. Muslim].
Dalam pandangan agama dan kesehatan, ASI merupakan kebutuhan pokok bagi bayi yang harus diberikan oleh orang tua kepadanya. Namun terkadang dalam kondisi tertentu, ada ibu yang terpaksa tidak bisa memberikan ASI kepada bayinya, atau ada anak yang tidak mendapatkan asupan ASI dari ibu kandungnya, baik karena terkena penyakit berbahaya, produksi ASI yang tidak lancar, kematian ibu dan lain sebagainya. Termasuk juga bagi bayi yang sejak kecil diadopsi oleh orang tua angkat karena suatu hal. Terhadap kasus seperti ini perlu diberikan alternatif lain seperti menitipkan kepada ibu lain yang sedang menyusui (donor ASI) atau disusukan langsung oleh ibu angkatnya atau ibu susuannya, sebagaimana yang pernah dialami oleh Rasulullah saw. Terkait dengan donor ASI ini telah diisyarat Allah swt dalam firmanNya,
وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آَتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ [البقرة (2): 233].
Jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pebayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan [Q.S. al-Baqarah (2): 233].
Terdapat Hadis Nabi saw juga menjelaskan tentang donor ASI atau menyusu kepada orang lain yang bukan ibunya. Termasuk dalam sejarah disebutkan bahwa Nabi saw sendiri pernah menyusu kepada orang lain selain ibunya (mendapat donor ASI) yakni menyusu kepada Suaibah dan Halimatus Sa’diyah. Di antara hadis yang menjelaskan tentang donor ASI adalah,
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ أَتَتْ سَهْلَةُ بِنْتُ سُهَيْلِ بْنِ عَمْرٍو وَكَانَتْ تَحْتَ أَبِي حُذَيْفَةَ بْنِ عُتْبَةَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ سَالِمًا مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ يَدْخُلُ عَلَيْنَا وَإِنَّا فُضُلٌ وَإِنَّا كُنَّا نَرَاهُ وَلَدًا وَكَانَ أَبُو حُذَيْفَةَ تَبَنَّاهُ كَمَا تَبَنَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَيْدًا فَأَنْزَلَ اللَّهُ (ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ) فَأَمَرَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ أَنْ تُرْضِعَ سَالِمًا فَأَرْضَعَتْهُ خَمْسَ رَضَعَاتٍ وَكَانَ بِمَنْزِلَةِ وَلَدِهَا مِنْ الرَّضَاعَةِ فَبِذَلِكَ كَانَتْ عَائِشَةُ تَأْمُرُ أَخَوَاتِهَا وَبَنَاتِ أَخَوَاتِهَا أَنْ يُرْضِعْنَ مَنْ أَحَبَّتْ عَائِشَةُ أَنْ يَرَاهَا وَيَدْخُلَ عَلَيْهَا وَإِنْ كَانَ كَبِيرًا خَمْسَ رَضَعَاتٍ ثُمَّ يَدْخُلُ عَلَيْهَا وَأَبَتْ أُمُّ سَلَمَةَ وَسَائِرُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُدْخِلْنَ عَلَيْهِنَّ بِتِلْكَ الرَّضَاعَةِ أَحَدًا مِنْ النَّاسِ حَتَّى يَرْضَعَ فِي الْمَهْدِ… [رواه أحمد].
Dari Aisyah (diriwayatkan) ia berkata; Sahlah binti Suhail bin Amru, isterinya Abū Ḥużaifah bin Utbah, ia datang kepada Rasulullah saw seraya berkata; Sesungguhnya Salim budaknya Abu Hudzaifah pernah menemui kami ketika kami sedang banyak kebutuhan. Kami mengetahui bahwa ia masih anak-anak dan ia adalah budaknya Abū Ḥużaifah. Ia mengangkatnya sebagai anak sebagaimana Rasulullah saw mengangkat Zaid sebagai anak. Kemudian Allah menurunkan (ayat); “Panggillah mereka dengan nama bapak-bapak mereka karena hal itu lebih adil di sisi Allah”, ketika itu Rasulullah saw memerintahkannya untuk menyusui Salim. Ia pun menyusuinya lima kali susuan sehingga kedudukannya sebagai anak sesusuannya. Dengan hal itu, Aisyah memerintahkan saudara-saudaranya dan para keponakannya untuk menyusui orang yang ia cintai. Aisyah berpendapat dengan lima kali susuan, ia tetap boleh menemuinya sekalipun ia telah besar, kemudian ia menemuinya. Sementara Ummu Salamah dan para isteri Nabi saw yang lain menolak salah seorang untuk menemui mereka hingga ia menyusuinya di waktu ketika ia berumul kecil... [H.R. Aḥmad].
Donor ASI merupakan persoalan mu‘āmalah dunyawiyyah, karenanya memberikan ASI untuk anak dari bukan ibu kandungnya adalah mubāḥ (boleh). Ini berlaku juga bagi seorang ibu angkat dapat memberikan ASI kepada anak angkatnya. Sebagaimana dijelaskan dalam kaidah fikih,
اَلْأَصْلُ فِى الْمُعَامَلَاتِ اْلإِبَاحَةُ إِلَّا مَا دَلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى خِلَافِهِ.
Pada dasarnya (hukum) asal dalam masalah mu’amalah adalah boleh/mubah, kecuali ada dalil yang menunjukkan sebaliknya.
Hal lain yang perlu diperhatikan terkait dengan donor ASI adalah dibutuhkan sebuah regulasi yang mengatur tentang calon pendonor yang dipastikan sehat, terbebas dari penyakit menular dan adanya jaminan keamanan dalam kesehatan seperti jaminan kebersihan, sterilitas dari hal-hal yang dapat membahayakan keselamatan anak yang disusuinya. Prinsip ini sesuai dengan kaidah hukum Islam,
الَضَّرَرُ يُزَالُ.
Kemudaratan itu harus dihilangkan
دَرْءُ اْلمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ اْلمَصَالِحِ.
Menolak berbagai keburukan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan
Begitu pula halnya dengan pencatatan identitas pendonor dan penerima donor, sehingga dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum.
Anak hubungan susuan ini memiliki kesamaan dalam hal mahram, artinya menjadi haram dalam pernikahannya antara ibu susuan atau dengan anak susuannya atau dengan anak kandung dari ibu yang menyusui karena menjadi saudara sesusuan baginya. Hal ini dijelaskan firman Allah swt,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ [النسآء (4): 23].
Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui, saudara-saudara perempuanmu sesusuan… [Q.S. an-Nisā (4): 23].
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِي بِنْتِ حَمْزَةَ لاَ تَحِلُّ لِي يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ هِيَ بِنْتُ أَخِي مِنَ الرَّضَاعَة. [رواه البخاري].
Dari Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda tentang putri Hamzah, dia (putri Hamzah) tidak halal bagiku, diharamkan dari saudara sepersusuan apa-apa yang diharamkan dari nasab. Dia (putri Hamzah) adalah anak saudara sepersusuanku [H.R. al-Bukhari].
عَنْ عَمْرَةَ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ عِنْدَهَا وَإِنَّهَا سَمِعَتْ صَوْتَ رَجُلٍ يَسْتَأْذِنُ فِي بَيْتِ حَفْصَةَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا رَجُلٌ يَسْتَأْذِنُ فِي بَيْتِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرَاهُ فُلَانًا لِعَمِّ حَفْصَةَ مِنْ الرَّضَاعَةِ فَقَالَتْ عَائِشَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ كَانَ فُلَانٌ حَيًّا لِعَمِّهَا مِنْ الرَّضَاعَةِ دَخَلَ عَلَيَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ إِنَّ الرَّضَاعَةَ تُحَرِّمُ مَا تُحَرِّمُ الْوِلَادَةُ. [رواه مسلم].
Dari ‘Amrah bahwasannya Aisyah telah mengabarkan kepadanya bahwa waktu itu Rasulullah saw berada di sampingnya, sedangkan dia (‘Aisyah) mendengar suara seorang laki-laki sedang minta izin untuk bertemu Rasulullah di rumahnya Hafsah, ‘Aisyah berkata; Lalu saya berkata; Wahai Rasulullah, ada seorang laki-laki yang minta izin (bertemu denganmu) di rumahnya Hafsah. Kemudian Rasulullah saw bersabda: Saya kira fulan itu adalah pamannya Hafshah dari saudara sesusuan. Aisyah bertanya; Wahai Rasulullah, sekiranya fulan tersebut masih hidup -yaitu pamannya dari saudara sesusuan- apakah dia boleh masuk pula ke rumahku? Rasulullah saw menjawab: Ya, sebab hubungan karena susuan itu menyebabkan mahram sebagaimana hubungan karena kelahiran [H.R. Muslim].
Anak hubungan susuan ini tidak memiliki hubungan nasab dengan orang tua susuannya, karenanya tidak boleh menyandarkan nasabnya kepada orang tua susuannya. Beberapa dalil yang menegaskan hal tersebut,
وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ [الأحزاب (33): 4].
Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu menjadi anak kandungmu. Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulut saja, sedangkan Allah mengatakan yang haq, dan Dia menunjuki kepada jalan yang benar [Q.S. al-Aḥzāb (33): 4]
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا:أَنَّ زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ، مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا كُنَّا نَدْعُوهُ إِلَّا زَيْدَ بْنَ مُحَمَّدٍ حَتَّى نَزَلَ القُرْآنُ ,ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ [رواه البخاري].
Dari Ibnu Umar r.a. (diriwayatkan), bahwa Zaid bin Haritsah maula Rasulullah, (Ibnu Umar berkata): Dulu kami tidak memanggil Zaid kecuali dengan panggilan Zaid bin Muhammad, sehingga turunlah ayat; (Q.S. al-Aḥzāb ayat 5) Panggillah anak-anak angkatmu dengan (menasabkan kepada) nama bapak-bapak mereka, karena itulah yang lebih adil di sisi Allah [H.R. al-Bukhari].
Anak hubungan susuan tidak berhak mendapatkan harta waris dari orang tua susuannya dan juga tidak dapat diwalikan dalam pernikahannya kelak. Ketentuan ini berlaku sama seperti kedudukan anak angkat dengan orang tua angkatnya (beberapa dalil berkaitan dengan ini dapat dilihat kepada hukum waris pada anak angkat).
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 10 Tahun 2021