Sutradara Penyalin Cahaya Sebut Pentingnya Regenerasi

Sutradara Penyalin Cahaya, Wregas Bhanuteja, berusia 29 tahun.

ANTARA/Aditya Pradana Putra
Sutradara film Penyalin Cahaya, Wregas Bhanuteja (kiri) dan penulis Henricus Pria (kanan) berpose usai meraih penghargaan Penulis Skenario Asli Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2021 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Rabu (10/11/2021). Selain naskah skenario tertinggi terbaik, film Penyalin Cahaya juga memborong 11 kategori lainnya, termasuk kategori Film Panjang Terbaik FFI 2021.
Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sineas Wregas Bhanuteja mengatakan regenerasi di dunia perfilman mampu memicu semangat dan mempertahankan kekuatan di industri ini. Pemenang 12 Piala Citra di ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2021 lewat film Penyalin Cahaya ini merupakan sutradara yang terbilang cukup muda, yaitu 29 tahun.

Baca Juga


"Ini (kehadiran sineas muda) adalah suatu gambaran regenerasi. Film-film kita dari zaman Usmar Ismail sampai sekarang bisa bertahan karena adanya regenerasi," kata pria yang mengenyam pendidikan di Fakultas Film dan TV, Institut Kesenian Jakarta, jurusan penyutradaraan film tersebut, dikutip pada Kamis.

Wregas mengatakan bahwa Penyalin Cahaya merupakan film panjang pertama yang ia sutradarai, setelah sebelumnya ia hanya mengarahkan film-film pendek, seperti Lemantun (2014) dan Prenjak yang membuatnya menjadi sutradara Indonesia pertama yang memenangkan penghargaan Cannes Film Festival untuk film pendek itu. Penyalin Cahaya ia garap di tengah pandemi, bersama dengan para pemain dan kru yang semuanya orang Indonesia.

"Ini adalah awal baru meskipun film ini lahir di tengah pandemi, namun kami bisa melewati dengan baik. Tantangan apa pun ke depannya kita pasti bisa lalui juga," ujar pria asal Yogyakarta itu.

Di sisi lain, Penyalin Cahaya menceritakan seorang sarjana universitas tahun pertama, Sur, pergi ke pesta untuk pertama kalinya dalam hidupnya untuk merayakan pencapaian Mata Hari, grup teater universitas tempat Sur menjadi sukarelawan sebagai perancang web. Hidup benar-benar berubah untuk Sur setelah dia bangun keesokan paginya.

Sur kehilangan beasiswa dan diusir oleh keluarganya setelah selfie-nya beredar secara online. Khawatir bahwa dia mungkin menjadi bahan lelucon oleh anggota senior Mata Hari, Sur mencari bantuan dari teman masa kecilnya, Amin, yang bekerja dan tinggal di toko fotokopi dekat kampus.

Bersama-sama, di toko, mereka mencoba menemukan kebenaran tentang selfie dan tentang malam di pesta dengan meretas ponsel siswa. Wregas mengatakan, ia membuat cerita ini didasari dari kisah para penyitas kekerasan seksual untuk mendapatkan keadilan dan tempat guna menyelesaikan masalah itu.

"Basis utamanya adalah peristiwa kekerasan seksual ketika penyitas tidak mendapatkan tempat untuk bicara dan keadilan dalam mengurus kasus yang ia alami. Cerita-cerita tersebut saya rangkai dalam genre suspense, guna mencari misteri siapa pelakunya," katanya.

Wregas menyebut, film ini akan dirilis pada Januari 2022 di layanan streaming (over the top/OTT). Menurutnya, layanan streaming memberikan ruang yang lebih luas lagi untuk menyampaikan pesan tentang kekerasan seksual yang ia angkat.

"Film ini mengandung statement kuat untuk membuat para penyitas kekerasan seksual berdaya, dan menyebarluaskan pesan untuk kita sama-sama melawan, mengingat kekerasan seksual tidak hanya terjadi di Indonesia," ujar Wregas.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler