Studi: Ada Hubungan Antara Tinggal di Kota dan Gangguan Jiwa
Studi sebut ada hubungan antara risiko genetik gangguan kejiwaan dan tinggal di kota.
REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Farah Noersativa
Tinggal di perkotaan tidak melulu soal kemewahan. Dalam sebuah penelitian menyebutkan, ada hubungan antara risiko genetik gangguan kejiwaan dan tinggal di perkotaan.
Studi menyebutkan bahwa stres hidup di kota dengan beberapa faktor, seperti polusi, merupakan penyebab dari risiko untuk kondisi kesehatan mental skizofrenia. Menurut laman Inverse, dikutip Kamis (11/11), hidup di kota dikaitkan dengan tingkat masalah kesehatan mental yang lebih tinggi. Meski demikian, hal ini memang masih dala perdebatan.
Penelitian yang diterbitkan pada Oktober 2021 ini di jurnal JAMA Psychiatry menyebutkan bahwa risiko genetik seseorang terhadap kondisi kesehatan mental dipengaruhi dengan lokasi tinggal. Studi ini secara tidak langsung menyebutkan bahwa lingkungan berperan dalam perkembangan kesehatan mental seseorang.
Secara kritis, risiko genetik ini mengartikan bahwa seseorang yang tinggal di kota memiliki kemungkinan mempunyai kesehatan mental yang buruk. Secara keseluruhan, para peneliti membandingkan orang-orang yang dulunya tinggal di desa kemudian pindah ke kota dengan orang-orang yang memang tinggal di kota.
Hasil studi menyebutkan bahwa mereka yang tinggal atau pindah ke kota memiliki risiko genetik lebih tinggi untuk mengidap autisme, anoreksia, gangguan bipolar, hingga skizofernia. Namun, risiko genetik lebih rendah ditemukan pada gangguan ADHD.
Penulis Studi yang juga dosen di King's College London, Jonathan Coleman, mengatakan, penelitian ini tidak meniadakan efek buruk tingga di kota pada kesehatan mental. Namun, sebaliknya, penelitian mendukun gagasan orang dengan kecenderungan genetik yang lebih besar bisa menjadi lebih buruk apabila tinggal di kota.
"Penelitian menunjukkan pengaruh kesehatan mental cukup beragam, baik faktor lingkungan dan genetik, memiliki efek penting. Kita perlu mengambil pendekatan terpadu untuk memahami efek ini," jelas Coleman.
Coleman dan para peneliti memeriksa data genetik yang diambil dari koresponden berusia 37-73 tahun yang berpartisipasi dalam proyek Biobank Inggris. Penelitian ini dilakukan pada populasi tertentu.
Penelitian menyebutkan bahwa alasa orang-orang memilih untuk tinggal di kota berbeda-beda di seluruh dunia. Namun, ketika memilih tinggal di kota sebaiknya harus berpikir terkait pengaruh genetik dan lingkungan kota terhadap kesehatan mental yang mungkin berbeda-beda.
Para tim peneliti menghitung skor risiko poligenetik untuk setiap peserta dari berbagai kondisi kesehatan mental. Skor risiko poligenetik adalah pengukuran risiko penyakit berdasarkan gen seseorang. Ini adalah perkiraan dan kebanyakan orang memiliki beberapa tingkat risiko genetik untuk kondisi kesehatan mental.
Skor tersebut dibandingkan dengan data yang terkait dengan tempat tinggal peserta studi, ke mana mereka pindah, kepadatan populasi tempat-tempat ini, dan berdasarkan data sensus Inggris. Secara keseluruhan, tim studi menulis bahwa temuan ini menunjukan risiko genetik yang tinggi untuk berbagai gangguan kejiwaan dapat memengaruhi pilihan tempat tinggal seseorang.
"Di mana seseorang hidup jelas merupakan masalah yang sangat kompleks, dipengaruhi baik oleh hal-hal di dalam kendali mereka maupun hal-hal di luar kendali mereka,” kata Coleman.
Seseorang mungkin pindah ke kota untuk mencari pendidikan lebih lanjut. Atau, agar lebih dekat dengan perawatan kesehatan yang lebih baik, hingga mendapatkan pekerjaan baru. Pindah ke kota, lanjut Coleman, mungkin juga dikaitkan dengan beberapa tingkat risiko karena pengaruh genetik pada pengambilan risiko.