Eropa Kembali ke Masa Kelam Covid-19
Eropa kembali menjadi pusat pandemi Covid-19.
REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSEL -- Masyarakat di beberapa negara Eropa terlena dengan pelonggaran pembatasan Covid-19. Hampir seluruh lapisan masyarakat mulai kendor dengan protokol kesehatan Covid-19, dan menganggap seolah-olah pandemi tidak pernah terjadi.
Di Cologne, ribuan orang yang bersuka ria di jalaman dengan mengenakan pakaian mewah. Mereka berdesak-desakan dalam kerumunan yang padat saat menghitung mundur menuju musim karnaval tahunan pada 11 November sekitar pukul 11 pagi waktu setempat.
Kemudian di Paris pada Rabu (10/11) bar dan klub buka hingga larut malam dan penuh sesak. Warga setempat menikmati perayaan Armistice Day sebagai hari libur nasional. Sementara di Amsterdam, operasional bisnis kembali normal seperti biasa. Pengunjung memenuhi kafe dan kedai kopi yang ramai di sekitar Leidseplein.
Kegembiraan tersebut kemungkinan tidak akan berlangsung lama, karena gelombang keempat virus korona telah melanda seluruh Eropa. Beberapa kota
di Belanda telah membatalkan parade tahunan populer untuk menandai kedatangan Sinterklaas jelang perayaan Natal. Namun pasar Natal yang biasanya digelar di Jerman belum dibatalkan.
"Anda tidak dapat membayangkan berdiri di pasar sambil minum wine, sementara rumah sakit penuh dan memperebutkan sumber daya terakhir," kata Perdana Menteri negara bagian Saxony, Michael Kretschmer, dilansir The Guardian, Ahad (14/11).
Eropa kembali menjadi pusat pandemi Covid-19. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), infeksi virus korona di seluruh Eropa meningkat sebesar 7 persen, dan kematian naik sebesar 10 persen selama seminggu terakhir. Hal ini menjadikan Eropa sebagai satu-satunya wilayah di dunia, yang mencatat kenaikan kasus dan kematian secara terus menerus.
WHO mengatakan, hampir dua pertiga atau sekitar 1,9 juta kasus baru Covid-19 global berada di Eropa. Jumlah kasus baru di Eropa meningkat selama enam minggu berturut-turut. Hal ini menandakan bahwa penyebaran virus telah meningkat di hampir seluruh benua Eropa. Bahkan beberapa negara mengalami gelombang keempat atau kelima.
Para ahli menyepakati bahwa kenaikan jumlah kasus Covid-19 secara kontinu disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya penyerapan vaksin yang rendah, dan berkurangnya kekebalan di antara orang-orang yang menerima vaksinasi lebih awal. Selain itu, warga mulai abai dengan protokol kesehatan. Mereka tidak mengenakan masker dan berkerumun, terutama ketika pemerintah melonggarkan pembatasan selama musim panas.
Negara yang melonggarkan sebagian besar pembatasan selama musim panas, mencatat rata-rata 609 kasus per satu juta penduduk setiap hari dalam tujuh hari berturut-turut. Hal ini mendorong pemerintah menarik kembali janji mereka untuk membatalkan semua pembatasan pada akhir tahun.
“Pesannya adalah lakukan semuanya. Vaksin mencegah bentuk penyakit yang parah, dan terutama kematian. Mereka (vaksin) adalah aset yang paling kuat jika digunakan bersamaan dengan tindakan pencegahan," ujar Direktur Regional WHO untuk Eropa, Hans Kluge.
Kluge mengatakan, pihak berwenang di Eropa harus mempercepat program vaksinasi termasuk suntikan booster untuk kelompok berisiko dan vaksinasi untuk kelompok remaja. Selain vaksinasi, protokol kesehatan juga harus dijaga secara ketat. Kluge menambahkan, WHO memperkirakan 95 persen penggunaan masker di Eropa dapat menyelamatkan hampir 200 ribu nyawa.
“Kebanyakan orang yang dirawat di rumah sakit dan meninggal karena Covid-19 hari ini tidak sepenuhnya karena belum divaksinasi. Langkah pencegahan harus diterapkan dengan benar dan konsisten. Langkah-langkah pencegahan tidak merampas kebebasan orang," kata Kluge.
Menurut angka dari Our World in Data, tingkat vaksinasi tertinggi di benua Eropa dipegang oleh wilayah Eropa selatan. Lebih dari 80 persen penduduk di Portugal, Malta, dan Spanyol telah menerima vaksinasi Covid-19 lengkap yaitu sebanyak dua dosis. Sementara Italia, hanya 73 persen penduduk yang telah menerima vaksinasi lengkap. Namun hal ini tidak menjamin jumlah kasus baru Covid-19 mereda.