Aung San Suu Kyi Didakwa Lakukan Kecurangan Pemilu
Dakwaan oleh Komisi Pemilihan Umum berpotensi membuat partai Suu Kyi dibubarkan
REPUBLIKA.CO.ID, YANGON – Pemimpin de facto Myanmar yang dikudeta militer Februari lalu, Aung San Suu Kyi, didakwa melakukan kecurangan pemilu. Sebelumnya, Suu Kyi sudah dijerat dengan setidaknya tujuh dakwaan lain.
“(Suu Kyi melakukan) penipuan pemilu dan tindakan melanggar hukum,” kata surat kabar pemerintah Global New Light of Myanmar pada Selasa (16/11). Dalam laporannya tak disebutkan kapan proses peradilan terhadap Suu Kyi terkait kasus tersebut akan disidangkan.
Myanmar mendakwa 16 orang termasuk Aung San Suu Kyi karena dugaan kecurangan selama pemilu 2020. Global New Light of Myanmar mengatakan, 16 orang itu melanggar sejumlah undang-undang pemilu. Pelanggaran tersebut dikatakan termasuk soal bilik suara militer, pemungutan suara lebih awal untuk orang-orang di atas 60 tahun, dan memasukkan nama-nama orang yang tidak berhak memberikan suara di surat suara.
Pada pemilu November 2020 lalu, partai pimpinan Suu Kyi yakni National League for Democracy (NLD) menang telak dengan mengamankan 396 dari 476 kursi di parlemen. Itu merupakan kemenangan kedua NLD sejak berakhirnya pemerintahan militer di sana pada 2011.
Para pengamat internasional mengatakan pemilu di Myanmar sebagian besar berlangsung bebas dan adil. Namun militer menuding partai Suu Kyi melakukan kecurangan. Hal itu menjadi landasan mereka melakukan kudeta terhadap pemerintahannya pada Februari lalu.
Tak hanya Suu Kyi, militer turut menangkap Presiden Myanmar Win Myint dan sejumlah tokoh senior NLD lainnya. Setelah itu, junta menjerat Suu Kyi dengan sejumlah dakwaan mulai dari kepemilikan walkie-talkie ilegal, melakukan korupsi, menghasut, dan pelanggaran pembatasan Covid-19. Dia dapat dipenjara puluhan tahun jika terbukti bersalah.
Setelah kudeta, Myanmar dilanda demonstrasi besar-besaran. Mereka memberi dukungan kepada Suu Kyi dan menolak aksi kudeta militer. Lebih dari 1.200 orang dilaporkan telah tewas akibat aksi represif dan brutal pasukan keamanan Myanmar.
Dakwaan yang dijatuhkan oleh Komisi Pemilihan Umum berpotensi mengakibatkan partai Suu Kyi dibubarkan. NLD juga terancam tidak dapat berpartisipasi dalam pemilihan umum yang dijanjikan militer akan berlangsung dalam waktu dua tahun mendatang.
Pada Mei, kepemimpinan militer Myanmar mengangkat Kepala Komisi Pemilihan Umum (KPU) Myanmar yang baru yaitu Thein Soe. Dia mengatakan lembaganya akan mempertimbangkan untuk membubarkan partai Suu Kyi karena dugaan keterlibatan dalam kecurangan pemilu.
Dia juga meminta para pemimpinnya didakwa dengan tuduhan pengkhianatan. Thein Soe mengatakan penyelidikan telah menetapkan bahwa NLD telah bekerja secara ilegal dengan pemerintah untuk memberikan keuntungan bagi dirinya sendiri dalam pemilu.
Setelah mengambil alih kekuasaan, militer memberhentikan anggota komisi pemilihan yang telah mengesahkan hasil pemilihan tahun lalu dan menunjuk anggota yang baru. Mereka juga menahan anggota komisi yang lama. Menurut laporan di media independen Myanmar, militer menekan para anggota komisi untuk menyatakan ada kecurangan dalam pemilu.
Sejak digulingkan, Suu Kyi telah didakwa dengan belasan kasus kriminal yang dapat menghalanginya untuk berpartisipasi dalam pemilu. Selain itu, beberapa sekutu politik utamanya juga telah diadili atau menghadapi dakwaan. Pendukung Suu Kyi serta organisasi hak asasi independen berpendapat tuduhan tersebut dimaksudkan untuk mendiskreditkan Suu Kyi dan partainya.
Pembubaran partai Suu Kyi mengikuti tren regional membubarkan partai politik populer yang dipandang sebagai ancaman bagi pemerintah yang berkuasa. Pengadilan tinggi Kamboja pada 2017 membubarkan Partai Penyelamatan Nasional Kamboja yang merupakan satu-satunya kekuatan oposisi yang kredibel. Pembubaran dilakukan menjelang pemilihan umum 2018.
Kemudian Mahkamah Konstitusi Thailand pada 2020 membubarkan Partai Masa Depan Maju yang baru dibentuk dan telah memenangkan jumlah kursi tertinggi ketiga di majelis rendah dalam pemilihan umum 2019.
Dalam kasus pembubaran partai di Kamboja dan Thailand, pengadilan menyebutkan pelanggaran hukum tertentu. Namun tindakan mereka secara luas dilihat sebagai cerminan tekanan politik.