Persoalan Sekda Papua, Mendagri Tito Dilaporkan ke Ombudsman
Dance dilantik menjadi sekda Papua 1 Maret 2021 dan diberhentikan 11 Oktober 2021.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa hukum Dance Yulian Flassy, Haris Azhar, melaporkan menteri dalam negeri (mendagri) ke Ombudsman Republik Indonesia atas dugaan maladministrasi dalam proses pemberhentian kliennya sebagai sekretaris daerah (sekda) provinsi Papua. Dance dilantik menjadi sekda Papua 1 Maret 2021 dan diberhentikan 11 Oktober 2021.
"Pengangkatan Saudara Dance dalam jabatan di atas, memang menunjukan berbagai kontroversi," ujar Haris dalam keterangan tertulisnya yang dikonfirmasi Republika, Kamis (18/11).
Dia mengatakan, dalam proses pengangakatan sekda, Dance memang bukan pilihan prioritas yang diminta Gubernur Papua Lukas Enembe. Pelantikan Dance pun tidak dilakukan Lukas, melainkan oleh Mendagri Tito Karnavian di kantornya, Jakarta Pusat.
Di sisi lain, pada hari yang sama, Gubernur Lukas melalui wakil gubernur saat itu, Klemen Tinal (almarhum) melantik Doren Waker sebagai sekda Papua. Dengan demikian, kata Haris terdapat dualisme jabatan sekda Papua.
Sekitar tujuh bulan setelah pelantikan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 148/TPA Tahun 2021 pada 11 Oktober 2021 yang memberhentikan dengan hormat Dance dari jabatannya. Menurut Haris, pihaknya menemukan sejumlah kejanggalan dan kesalahan dalam proses pemberhentian Dance sebagai sekda.
"Hasil investigasi kami menemukan sejumlah kejanggalan dan kesalahan dalam proses pemberhentian Dance sebagai Sekretaris Daerah," kata dia.
Pertama, Haris menyebutkan, keputusan pemberhentian Dance dari jabatannya sebagai Pimpinan Tinggi Madya dalam Lingkungan Pemerintah Provinsi Papua didasarkan atas rekomendasi yang keliru. Dalam konsideran menimbang huruf a Keppres Nomor 148/TPA Tahun 2021 disebutkan "bahwa Menteri Dalam Negeri dengan Surat Nomor X.821/25/SJ tanggal 9 Agustus 2021 mengusulkan pemberhentian Pejabat Tinggi Madya di Lingkungan Pemerintah Provinsi Papua".
Padahal, menurut Haris, pemberhentian pejabat tinggi madya di pemerintah provinsi menjadi kewenangan pejabat pembina kepegawaian (PPK). Dalam hal ini PPK-nya ialah Gubernur Papua selaku kepala daerah dan pengusul yang menyelenggarakan fungsi melakukan penilaian dan memberikan pertimbangan.
Hal itu berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 14 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) dan Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 177 Tahun 2014 tentang Tim Penilai Akhir Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Dalam dan Dari Jabatan Tinggi Utama dan Pimpinan Tinggi Madya.
"Dengan demikian, Menteri Dalam Negeri tidak berwenang untuk mengusulkan pemberhentian Pejabat Tinggi Madya sebagaimana disebutkan konsideran menimbang huruf a Keppres 148/TPA Tahun 2021," tutur Haris.
Selain itu, Haris berpendapat, pemberhentian pejabat pimpinan tinggi madya harus dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tata cara pemberhentian pejabat tinggi madya diusulkan oleh PPK kepada presiden dengan didasarkan atas syarat-syarat yang diatur dalam UU ASN dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.
"Sampai dengan terbitnya Keputusan pemberhentian, tidak ada alasan yang jelas dan dapat dipenuhi sebagai dasar pemberhentian Dance dari Jabatan Tinggi Madya di Lingkungan Pemerintah Provinsi Papua," ucap Haris.
Menurut dia, hal tersebut terlihat dari tidak dicantumkannya alasan pemberhentian dalam dokumen pemberhentian Dance, baik dari Keppres 148/TPA Tahun 2021, maupun dokumen pendukung lainnya. Sampai dengan saat ini, naskah keputusan pemberhentian tersebut tidak diberikan kepada Dance selaku pihak yang disebutkan dalam keputusan tersebut.
Haris mengeklaim, petikan dan salinan keputusan tersebut beredar melalui media sosial setelah dilakukan pelantikan atas sekda pilihan gubernur 14 Oktober 2021. Sedangkan, Pasal 61 ayat (1) dan (2) UU Nomor 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan mengatur, keputusan badan dan/atau pejabat pemerintahan wajib disampaikan kepada pihak-pihak yang disebutkan dalam keputusan, paling lama lima hari kerja sejak ditetapkan.
"Kami khawatir dan curiga bahwa sejak awal nuansa politis sangat dominan dalam penentuan Sekda Provinsi Papua, terutama paksaan dari Pemerintah Pusat atas nama tertentu. Politisasi tersebut yang berujung dengan pencopotan Dance setelah diangkat. Pencopotan pun dilakukan dengan tidak tertib hukum. Hal ini, oleh karenanya, harus dibenahi dan kami meminta agar Ombudsman RI memeriksa hal tersebut," ucap Haris.