PA GMNI: Perkuat Nasionalisme Lewat Kedaulatan Pangan
Ketahanan pangan Indonesia diuji di tengah banjir impor bahan pangan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI) bertekad memperkuat konstruksi nasionalisme melalui kedaulatan pangan nasional.
Ketua Umum DPP PA GMNI, Ahmad Basarah, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Sabtu (20/11) mengatakan kedaulatan pangan menjadi suatu keniscayaan yang harus dilakukan oleh segenap pemangku kepentingan dan seluruh elemen bangsa.
"Kami akan terus memperkuat konstruksi nasionalisme, menjawab tantangan zaman dengan memperkuat kedaulatan pangan nasional," kata Basarah.
Hal tersebut disampaikan Basarah saat membuka webinar bertajuk "Mewujudkan Nasionalisme Melalui Kedaulatan Pangan Nasional," Jumat (19/11).
Wakil Ketua MPR RI tersebut optimistis nasionalisme bukan hanya jawaban untuk melawan kolonialisme asing pada saat Indonesia menjadi negeri jajahan.
"Kami meyakini sepenuh hati bahwa nasionalisme Indonesia juga jawaban atas upaya dan ikhtiar kita untuk terus mengisi kemerdekaan, melanjutkan jalannya pembangunan nasional di tengah arus globalisasi," kata Basarah.
Webinar yang digelar tersebut merupakan rangkaian kegiatan menuju Kongres IV PA GMNI pada 5-7 Desember 2021 di Bandung, Jawa Barat.
Ketua Dewan Kehormatan PA GMNI, Siswono Yudo Husodo, menjadi pembicara utama dalam webinar tersebut.
Dalam kesempatan itu, Siswono mengatakan Indonesia telah menjadi negara importir pangan yang sangat terbesar di dunia.
Sejak 2013 hingga saat ini, kata dia, Indonesia menjadi negara importir gula paling tinggi menggeser China dan Rusia.
Tidak hanya gula, Siswono juga menyebut 50 persen garam Indonesia merupakan hasil impor. Selain itu, impor gandum pun terus meningkat akibat konsumsi mie instan dan roti.
"Kita sudah tak berdaulat dalam masalah ini. Impor gandum terus naik karena ada pembatasan impor jagung. Ternyata gandum impor itu juga dipakai buat pakan ternak, lantaran pakan ternak kita tak bisa dicukupi oleh produksi jagung dalam negeri," kata Siswono.
Mantan ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) tersebut menuturkan Indonesia masih mengimpor 70 persen kebutuhan kedelai nasional.
Padahal, bahan baku tempe itu termasuk makanan pokok sehari-hari.Lebih lanjut, dia menyampaikan 16 persen kebutuhan kacang tanah dari impor bahkan 90 persen bawang putih dalam negeri adalah impor.
"Sungguh kita telah menjadi negara importir pangan yang besar. Belum lagi sayur mayur dan buah buahan masih impor. Kita perlu introspeksi bahwa produk pertanian kita harus ditingkatkan kualitasnya. Rasanya tidak pantas kita menjadi pengimpor pangan, mengingat lokasi kita di daerah tropis dengan luas lahan hampir 2 juta kilometer persegi. Kita harus bertekad untuk membangun kemandirian pangan, memenuhi sendiri kebutuhan pangan kita," ujar Siswono.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, mengatakan produk lokal harus menjadi unggulan. Pemenuhan gizi, sepatutnya dapat dipenuhi dari produk lokal.
Mantan Bupati Kulon Progo itu membagikan pengalamannya mendorong masyarakat Kulon Progo untuk mengonsumsi produk lokal bergizi.
"Kita harus betul-betul mengedepankan produk lokal, makanya ada beberapa hal yang saya lakukan di Kulon Progo. Contoh beras, kita berjuang keras agar raskin menjadi rasda (beras daerah) diambil dari daerah. Saya merayu Bulog sampai tiga tahun baru setuju beras dari Kulon Progo," kata Hasto.
Dia mengatakan koperasi juga harus dibentuk dan menguasai pasar tingkat lokal. Peraturan daerah maupun peraturan bupati perlu dibuat dalam rangka perlindungan produk lokal.
"Memaksakan produk lokal untuk pemenuhan kebutuhan keluarga, terutama mereka yang miskin dengan pemenuhan gizi seimbang itu bisa dilakukan," ucap Hasto.