Pastikan tak Ada Islamofobia di Penangkapan Terduga Teroris
Polri tegaskan penangkapan terduga teroris tak menyasar kelompok tertentu.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Muhammad Nasir Djamil mengatakan, Densus 88 Antiteror Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) harus menjawab keraguan publik terkait Islamofobia setelah penangkapan tiga terduga anggota terorisme Ahmad Zain an-Najah (AZA), Anung al-Hamad (AA), dan Farid Ahmad Okbah (FAO). Pasalnya masyarakat melihat, ada kecenderungan bahwa penangkapan dilakukan pada mereka yang merupakan ulama.
"Kemampuan dan kehandalan dalam menyampaikan pesan itu kepada publik sehingga bisa mengatasi keragu-raguan. Jangan ini kok seperti ada yang mengatakan ini jangan-jangan Islamofobia," ujar Nasir dalam sebuah diskusi daring, Ahad (21/11).
Ia menjelaskan, umat Islam di Indonesia terbelah menjadi dua kubu setelah penangkapan tiga terduga anggota terorisme Ahmad Zain an-Najah (AZA), Anung al-Hamad (AA), dan Farid Ahmad Okbah (FAO). Apalagi mengingat salah satunya merupakan anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Pertama adalah orang-orang yang kontra dengan penangkapan ulama dengan dalih terorisme. Kedua adalah mereka yang kemudian mengkait-kaitkan ceramah tiga orang tersebut adalah bagian dari mengajak untuk melakukan aksi terorisme.
"Makanya narasi yang dibangun oleh BNPT itu harus jelas, sehingga kemudian masyarakat Indonesia, terutama umat Islam bisa memahami dengan baik," ujar Nasir.
Terorisme, kata Nasir, merupakan tanggung jawab semua pihak, tak hanya BNPT dan Densus 88. Untuk itu, masyarakat harus diberikan penjelasan yang bisa dipahami bahwa penangkapan orang yang berstatus ulama tersebut merupakan ranah tindak pidana terorisme, bukan Islamofobia.
"Saya pikir, pertanyaan-pertanyaan publik, terutama umat Islam itu kan harus disikapi secara rasional oleh BNPT, oleh Densus 88," ujar mantan Wakil Ketua Komisi III DPR itu.
Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Humas Mabes Polri, Komisaris Besar (Kombes) Ahmad Ramadhan, menegaskan, penindakan Densus 88 terkait dugaan terorisme, tak mengarahkan proses penyidikan ke institusi atau partai politik (parpol) tertentu.
Penangkapan yang dilakukan Densus 88 terhadap FAO tak ada terkait dengan aktivitasnya sebagai pemimpin, maupun pengusung parpol di Indonesia. Begitu juga terkait penangkapan AZA, yang diketahui sebagai anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ramadhan mengatakan, penangkapan ketiganya murni lantaran aktivitas individu yang diduga terlibat dalam jejaring terorisme JI.
“Kami sampaikan, Densus 88 dan penyidik Densus 88 tidak fokus mengarah pada partai politik (PDRI), tidak fokus pada masalah kepada organisasi, atau institusi tertentu (MUI). Tetapi, Densus 88 hanya fokus pada keterlibatan para tersangka dalam melakukan tindak pidana,” ujar Kombes Ramadhan di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (19/11). Tindak pidana yang dimaksud, kata Ramadhan, tentu saja terkait dengan dugaan terorisme. “Agar dipahami ini ya,” kata Ramadhan.
Sementara, Ketua Gerakan Pemuda (GP) Ansor, Luqman Hakim mengapresiasi profesionalitas Densus 88 Antiteror Polri dalam menangkap tiga terduga anggota terorisme Ahmad Zain an-Najah (AZA), Anung al-Hamad (AA), dan Farid Ahmad Okbah (FAO). Ia juga memastikan, penangkapan tersebut bukan merupakan kriminalisasi ulama.
"Menurut cara pandang kami, tidak ada itu penangkapan ulama, kriminalisasi terhadap ustadz. Kalau misal ada kriminalisasi terhadap ustadz, korban terbesarnya itu ulama," ujar Luqman dalam sebuah diskusi daring, Ahad (21/11).
Di samping itu, perlu ada definisi yang jelas terhadap status seseorang yang dicap sebagai ulama dan ustadz. Sebab, ia tak ingin istilah tersebut justru menjadi alat untuk menggiring persepsi masyarakat demi kepentingan politik tertentu.
"Itu kita harus hati-hati, karena ada sensitivitas terhadap istilah ulama dan ustadz ini," ujar Luqman.
GP Ansor, kata Luqman, menantang apakah AZA, AA, dan FAO memenuhi kriteria dan kualifikasi sebagai ulama atau ustadz. Bukan orang yang hanya sekedar tahu beberapa ayat Alquran, yang kemudian melabeli dirinya sebagai ulama.
"Kami dari Ansor melihat, memang sudah ada upaya sistematis dari jaringan teroris ini, faksi manapun mau JI, JAD, dan lain-lain untuk menyusup ke lembaga-lembaga formal masyarakat."