Islamofobia dan Dampaknya pada Kesehatan Mental Muslim

Dampak Islamofobia pada individu dan komunitas Muslim sebagian besar diabaikan.

REUTERS/Carlos Osorio
Islamofobia dan Dampaknya pada Kesehatan Mental Muslim. Pemakaman Keluarga Muslim Kanada Dihadiri Ratusan Pelayat. Pemakaman keluarga Muslim korban islamofobia di Islamic Centre of Southwest Ontario, London, Ontario, Kanada dihadiri ratusan pelayat, Sabtu (12/6). Tampak peti mati keluarga Afzaal yang dibungkus bendera Kanada.
Rep: Kiki Sakinah Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komunitas Muslim, terutama di negara-negara Barat, harus dihadapkan pada tidak sedikit bentuk Islamofobia yang terus membayangi. Bukan sekadar bentuk serangan atau cacian, namun Islamofobia memiliki dampak yang luas terhadap Muslim, baik individu maupun komunitas.

Baca Juga


Salah satu bentuk Islamofobia yang baru-baru ini menjadi sorotan adalah insiden tabrak lari di London, Ontario, Kanada yang mengarahkan targetnya pada lima anggota keluarga Muslim. Insiden pada 6 Juni 2021 itu mengakibatkan empat dari mereka terbunuh dan seorang anak laki-laki berusia sembilan tahun terluka parah.

Empat bulan setelah kejadian, terdakwa, Nathaniel Veltman, yang didakwa dengan empat tuduhan pembunuhan dan satu percobaan pembunuhan, mendapati persidangannya dimajukan beberapa kali. Sidang pengadilan terbaru memperlihatkan pengacara Veltman meminta perpanjangan lain dari kasus dengan terdawa ditahan sampai sidang berikutnya pada 20 Oktober 2021. Prosesnya berjalan lambat meskipun ada protes besar-besaran dari publik Kanada dan para pemimpin global seperti Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau dan Perdana Menteri Pakistan Imran Khan.

Insiden itu terjadi setelah Prancis melaporkan peningkatan sebesar 53 persen dalam insiden Islamofobia. Tercatat ada 235 serangan terhadap Muslim pada 2020, dan lebih banyak dari angka dan statistik ini dilaporkan hampir setiap hari.

Di luar laporan berita, dampak Islamofobia pada masyarakat yang lebih luas, khususnya pada kesehatan mental umat Muslim baik secara individu maupun sebagai komunitas. Tetapi, tampaknya sebagian besar diabaikan.

Ayo Olatunji, mahasiswa kedokteran tahun terakhir di UCL dan pekerja komunitas yang bekerja untuk memerangi Islamofobia, rasialisme, dan diskriminasi menjelaskan dampak Islamofobia sebagai penyebab garis trauma yang membara dalam komunitas Muslim. Di sini, Muslim harus terus-menerus waspada agar mereka bisa tidak berurusan dengan trauma tersebut.

Cara meningkatkan kesehatan mental (ilustrasi) - (republika)

 

Trauma ini dapat bermanifestasi dalam tindakan individu dalam berbagai cara. Penelitian menunjukkan bagaimana orang yang kerap mengalami pelecehan atau menjadi korban kejahatan kebencian merasa perlu untuk menyingkirkan identitas agama mereka (misalnya, jilbab untuk wanita Muslim dan serban untuk laki-laki Sikh) atau berhenti hadir di tempat ibadah mereka.

Sementara itu, Olatunji mengatakan ada persiapan psikologis yang harus dilakukan saat meninggalkan rumah. Hal itu didasarkan pada pengalamannya sendiri sebagai Muslim kulit hitam.

"Bagi saya sebagai Muslim kulit hitam, saya memiliki persimpangan yang bersilangan, menjadi Muslim, menjadi orang kulit hitam, di mana identitas ras dan identitas agama saya adalah hal-hal yang ditargetkan dengan cara yang berbeda," ujarnya, dilansir di The New Arab.

Annie Hadi, yang sekarang menjadi dokter terlatih keluarga, berbagi cerita dia tengah belajar di Universitas Toronto ketika serangan 9/11 terjadi. Ia menunjukkan bagaimana dia mempertanyakan keputusannya untuk terus mengenakan jilbab karena dia khawatir akan keselamatannya.

Hadi, yang memiliki minat khusus dalam geriatri dan psikiatri juga menunjukkan hambatan keuangan yang substansial untuk mencari bantuan di banyak komunitas Muslim imigran. Menurutnya, pendanaan harus ditingkatkan.

Dia lebih lanjut menunjukkan perjuangan yang ada bagi umat Islam yang mencari bantuan baik di dalam maupun di luar ruang Muslim. Ia mengatakan, di negara-negara non-Muslim, konteks budaya dan agama dari seorang Muslim yang mencari perawatan kesehatan mental seringkali tidak dipahami dengan baik dan dengan demikian kurang efektif.

Puluhan perempuan Muslim dan non-Muslim mengenakan jilbab dalam acara bertemakan Hijabs for Harmony - (About Islam)

 

"Di dunia Muslim, sumber daya dan pemahaman tentang perlunya perawatan seperti itu baik dalam bentuk obat-obatan maupun terapi terbatas. Kedua skenario meninggalkan kesenjangan besar dalam menerima perawatan adil bagi mereka yang membutuhkan," jelasnya.

Trauma berurusan dengan kejahatan rasial atau bahkan serangan kecil sehari-hari tidak hanya terbatas pada individu tetapi berdampak pada komunitas secara luas. Pendiri Well Guide, Israa Nasir, mengatakan hal terbesar dari dampak trauma tersebut ialah menghilangkan rasa aman. Well Guide merupakan platform kesehatan mental yang berfokus pada mengubah cara kita berbicara tentang kesehatan mental, membawanya dari tempat yang memalukan ke tempat pemberdayaan.

"Ketika keamanan kurang, orang mengembangkan kecemasan di sekitar kegiatan sehari-hari, seperti berjalan-jalan. Kecemasan ini dapat meresap ke dalam perilaku pengasuhan anak dan juga dapat diteruskan ke anak kecil. Mungkin juga memicu perenungan dan penyesalan tentang keputusan berimigrasi," kata Nasir.

Namun, ketika berbicara tentang solusi untuk bahaya ini, hal itu menjadi lebih sulit ketika kesehatan mental yang dirasakan di banyak komunitas Muslim berada di bawah konteks stigma.

Penulis Hijab and Red Lipstick, Yousra Samir Imran, berbagi bagaimana ini adalah topik yang sangat lazim dalam eksplorasinya sendiri tentang komunitas Muslim dalam bukunya.

"Banyak Muslim merasa putus asa untuk tidak terbuka tentang kondisi kesehatan mental mereka karena masih ada anggota masyarakat yang mengatakan hal-hal seperti 'Anda tertekan/cemas dan lainnya karena kurangnya iman kepada Tuhan' atau 'ini bukan masalah medis, Anda sedang dipengaruhi oleh setan/jin dan harus menemui seorang syekh'," kata Imran.

Infografis Mengenal Ragam Penutup Kepala Muslimah - (Republika.co.id)

 

Tantangan lain yang dihadapi Muslim, khususnya wanita lajang, adalah mereka harus menyembunyikan masalah kesehatan mental mereka karena akan berdampak negatif pada prospek pernikahan mereka. Menurut Imran, stigma ini dapat membuat Muslim merasa dibungkam atau malu dan menutupi semua yang mereka pikirkan dan rasakan.

Kurangnya pemahaman tentang nuansa identitas ini dan bagaimana mereka membentuk pengalaman hidup, membuat advokasi kesehatan mental begitu sulit baik di dalam maupun di luar komunitas Muslim, bahkan di dalam ruang kesehatan mental pada umumnya. Untuk banyak ruang kesehatan mental, Olatunji juga menunjukkan bagaimana mengabaikan aspek spiritualitas dan jiwa dapat menjadi 'pembedaan' bagi Muslim yang mungkin ingin mencari bantuan di dalam ruang ini. 

Tetapi, lebih dari sekadar tidak mementingkan aspek spiritualitas, kurangnya literasi dan pemahaman seputar praktik Islam, berisiko membuat ruang kesehatan mental berbahaya bagi umat Islam juga. Sementara menurut Yousra, Muslim di Barat terkadang waspada menggunakan layanan kesehatan mental karena pengawasan negara. Di Inggris, Muslim merasa khawatir bahwa terapis/petugas kesehatan mental non-Muslim dapat melaporkan mereka karena membuat pernyataan sekecil apa pun tentang keyakinan mereka.

"Di sisi lain, beberapa Muslim juga khawatir ketika pergi ke terapis Muslim bahwa terapis Muslim mungkin menghakimi dan mungkin mencoba memaksakan ide/ajaran agama tertentu selama terapi," kata Yousra.

Meskipun penulis seperti Yousra membahas topik ini melalui tulisan mereka dan dengan media sosial dan platform digital memainkan peran besar dalam menantang stigma, tampaknya masih ada jalan panjang untuk membawa perubahan yang lebih besar bagi komunitas Muslim secara keseluruhan.

Kesadaran budaya dalam ruang kesehatan mental adalah cara utama di mana perubahan yang sangat dibutuhkan ini dapat dilakukan. Seperti diungkapkan Nasir, bahwa secara struktural perlu dididiknya penyedia layanan dan dokter dalam layanan yang sadar budaya dan kompeten, serta memahami nuansa komunitas Muslim.

"Kita juga perlu membuat lebih banyak program yang dapat meningkatkan pendidikan kesehatan mental di komunitas Muslim," kata Nasir.

Cendikiawan Muslim Raih Mustafa Prize 2021 - (Republika.co.id)

 

https://english.alaraby.co.uk/features/silent-epidemic-islamophobia-and-muslim-mental-health

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler