Jeda Kemanusiaan dan Dialog, Upaya Tangani Konflik di Papua
Panglima TNI telah menyiapkan sejumlah langkah terkait penanganan konflik di Papua.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cahyo Pamungkas menyarankan, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa harus mampu melakukan jeda kemanusiaan atau humanitarian pause dalam menyelesaikan konflik di Papua. Menurut Cahyo, hal tersebut merupakan salah satu solusi untuk menghadirkan Papua yang damai.
“Kalau dia memiliki niat baik untuk mewujudkan Papua damai, maka langkah yang perlu dilakukan adalah humanitarian pause, itu harus menjadi prioritas ya. Jeda kemanusiaan, penghentian tembak-menembak untuk tentara, kemudian pemberian akses terhadap warga sipil itu yang penting ya,” kata Cahyo saat dihubungi Republika, Selasa (23/11).
Cahyo menilai, upaya jeda kemanusiaan dapat menghentikan jatuhnya korban, baik dari pihak aparat-keamanan, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), maupun masyarakat sipil. Sebab, dia menyebut, upaya untuk menambah jumlah pasukan dalam menangani konflik di Papua bukanlah keputusan yang tepat.
Dia menuturkan, solusi yang sepatutnya ditempuh adalah dengan melakukan dialog antara pihak yang berkonflik, yakni pemerintah dengan TPNPB-OPM. “OPM itu adalah bagian dari Warga Negara Indonesia (WNI). Mereka adalah gerakan separatis, gerakan yang ingin merdeka. Solusinya bukan dengan mengirim tentara, tapi mengirim diplomat untuk berunding dengan mereka. Cara pandangnya harus seperti itu. Itu paradigma damai. Kalau dengan mengirim pasukan, itu bukan paradigma damai,” jelas dia.
TPNPB-OPM, lanjutnya, bukanlah teroris, tetapi mereka adalah kelompok yang ingin merdeka. Sehingga, salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan konflik, yaitu dengan mengirim juru runding dari pihak pemerintah untuk mendengarkan aspirasi dan keinginan dari kelompok tersebut.
“Perlu adanya dialog antara Jakarta dengan kelompok-kelompok yang ingin merdeka. Apakah yang di hutan, apakah yang di Inggris, di Amerika, di Jayapura, semua dilibatkan. Jadi paradigma damai itu, pendekatan dialog ya, mengakui aspirasi mereka, keberadaan mereka,” tutur Cahyo.
“Dulu Indonesia kan pernah berdialog dengan Gerakan Aceh Merdeka, mengapa sekarang tidak dilakukan dengan OPM?” imbuhnya.
Cahyo menyampaikan, jika dialog yang dilakukan belum menemukan kesepakatan bersama, maka upaya tersebut harus terus dilanjutkan hingga menemukan titik temu bagi kedua belah pihak. Dia mencontohkan, Fron Pembebasan Islam Moro (Moro Islamic Liberation Front/MILF) dengan Pemerintah Filipina bahkan sampai menempuh dialog negosiasi selama enam tahun.
“Kalau tahun ini (dialog) belum selesai, dilanjutkan tahun depan. Kalau enam tahun enggak selesai, ya kita perpanjang lagi sampai 10 tahun dengan catatan tidak ada darah tertumpah," katanya.
Jadi dialog itu tidak membunuh siapapun, baik OPM, TNI maupun warga sipil. Tapi dialog mengangkat harkat dan martabat kedua belah pihak dan seluruh umat manusia. "Jadi kalau mau damai salah satu pendekatannya adalah dialog, bukan dengan mengirim pasukan,” ucapnya.
Selain itu, Cahyo mengatakan, Panglima TNI pun perlu mengevaluasi terhadap operasi penegakan hukum atau pendekatan militer di Papua. Evaluasi itu, sambung dia, mencakup sejauh mana efektivitas operasi penegakan hukum.
“Dia harus evaluasi operasi itu sejauh mana efektivitasnya, apakah labelisasi terorisme itu efektif, apakah operasi penegakan hukum itu efektif, maka dia harus mengevaluasi sejauh mana ini mencapai target. Apa indikator dari operasi penegakan hukum,” jelas Cahyo.
Kemudian, lanjutnya, Andika Perkasa juga harus meyakinkan sampai kapan operasi tersebut akan berlangsung serta apa saja batasan-batasan dalam pelaksanannya. Terakhir, Cahyo menambahkan, Panglima TNI pun harus memperhatikan mitigasi keselamatan warga sipil dalam operasi itu.
“Bagaimana melindungi warga sipil, bagaimana memberi akses kepada pengungsi, itu juga harus diperhatikan. Bagaimana menyelamatkan warga sipil yang masih terjebak di dalam pengungsian. Itu dalam jangka pendek ya," katanya.
"Pendataan, identifikasi, dan mitigasi soal pengungsi itu harus dilakukan dengan bekerjasama dengan masyarakat dan mungkin gereja (setempat),” tambahnya.
Pendekatan berbeda
Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mengaku akan melakukan pendekatan yang berbeda untuk menangani konflik di Papua. "Memang itu rencana saya. Tapi yang jelas kemarin itu bukan sesuatu yang saya kaget. Karena apa, kita sudah mengamati," kata Andika kepada wartawan di Mabesal Cilangkap, Jakarta Timur, Senin (21/11).
Andika menjelaskan, dia telah menyiapkan sejumlah langkah terkait penanganan konflik di Papua seperti yang dia sampaikan saat fit and proper test di DPR beberapa waktu lalu. Di antaranya, mendorong peningkatan kualitas koordinasi dan pendekatan humanis dengan kelompok yang ada.
"Kita akan lakukan suatu pendekatan yang berbeda. Sehingga saya harap akan lebih efektif," ujarnya.
Sebelumnya, Kapendam XVII/Cenderawasih Letkol Arm Reza Nur Patria mengungkapkan, seorang personel TNI yang bertugas dalam satuan Bawah Kendali Operasi (BKO) Aparat Teritorial Koramil Persiapan Suru-Suru, Yahukimo, Papua ditembak mati oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB). Peristiwa itu terjadi pada Sabtu (20/11) pagi.
"Mengakibatkan dua orang korban, satu meninggal dunia dan satu luka-luka," kata Reza, Sabtu.
Reza menjelaskan, penembakan itu terjadi sekitar pukul 06.00 WIT. Saat itu, sambung dia, beberapa anggota dari satuan tersebut sedang berangkat dari Koramil untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari menggunakan speedboat.
Dalam perjalanan, jelas Reza, tiba-tiba terjadi penembakan yang diduga dilakukan oleh kelompok separatis teroris (KST). Akibatnya, dua personel TNI menjadi korban.
"Sekira pada pukul 18.00 WIT kedua korban tersebut telah dapat dievakuasi dengan menggunakan Helikopter ke RSUD Dekai," ungkap dia.
Reza menyebut, pada Ahad, 21 November 2021 kedua korban akan dievakuasi ke Jayapura untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut. Dia menjelaskan, keberadaan Satuan BKO Apter Kodim Koramil Persiapan di wilayah Provinsi Papua memiliki tugas untuk berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat dalam rangka menyiapkan sarana dan prasarana Kodim dan Koramil.
Sebab, saat ini masih jumlah Kodim dan Koramil masih minim. Selain itu, tugas dari satuan BKO Apter adalah untuk membantu pemerintah daerah dalam meningkatkan taraf perekonomian masyarakat Papua.
"Penembakan yang dilakukan oleh KST tersebut menunjukkan bahwa kelompok ini tidak menginginkan adanya peningkatan perekonomian bagi masyarakat Papua dengan aksi-aksi penyerangan dan teror yang kerap kali dilakukan bukan hanya kepada aparat TNI Polri, namun juga masyarakat lainnya," tutur dia.