Pendekatan Baru Militer di Papua, KNPB: Basi
Ones menawarkan solusi dialog massif antara pemerintah dan para aktor konflik Papua.
REPUBLIKA.CO.ID, WAMENA -- Organisasi kemasyarakatan Papua dan Papua Barat mempertanyakan pendekatan baru yang dikampanyekan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menghadapi situasi sosial dan keamanan di Bumi Cenderawasih. Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menilai, jargon pendekatan baru yang digaungkan para petinggi militer dan kepolisian baru-baru ini adalah konsep usang untuk menutupi ragam kebobrokan penanganan keamanan dan kesejahteraan di Papua.
Juru Bicara KNPB Pusat, Nesta Ones Suhuniap mengatakan, pendekatan baru yang ditawarkan kepada masyarakat Papua nihil konsep. “Pendekatan baru itu hanya salah satu bentuk pencitraan untuk membuat nama baik institusi pemerintah, militer. Karena pemerintah masih menggunakan militer dan pasukan keamanan di Papua,” ujar Ones lewat pesannya kepada Republika.co.id, Kamis (25/11). KNPB, kata Ones, pun masih belum paham dengan pendekatan baru yang dimaksud.
Sampai saat ini, situasi sosial dan keamanan di Papua maupun Papua Barat seperti zona perang. Sekitar 84 ribu personel militer, kata Ones, belum lagi penambahan puluhan ribu pasukan Polri, membuat masyarakat Papua merasa tak nyaman di tanahnya sendiri.
“Karena perang TPNPB melawan TNI-Polri di Intan Jaya, Nduma, Maybrat, Pengunugan Bintang, Puncak Papua dan Yahukimo banyak rakyat sipil (jadi) korban,” kata Ones.
Ones mengatakan, penelusuran KNPB sejak 2 Desember 2018, situasi sosial dan keamanan di sejumlah wilayah tersebut membuat masyarakat Papua mengungsi ke hutan mencari rasa aman. Tercatat, kata dia, sekitar 50-an ribu warga Papua mengungsi.
“Sebagian besar mereka yang mengungsi anak-anak dan perempuan,” ujar Ones. Selain masalah pengungsian, aksi saling serang antara pasukan TNI-Polri dan kelompok bersenjata lokal juga menyasar masyarakat sipil sebagai korban konflik.
“Pendekatan baru tentang keamanan di Papua itu hanya kamuflase, yang tidak ada perubahannya. Kekerasan dan kekerasan, masih akan tetap terjadi,” ujar Ones.
KNPB, kata Ones, ingin memberikan masukan kepada pemangku kebijakan dan para petinggi TNI-Polri untuk membuat Papua menjadi lebih baik. Kata dia, ada beberapa alternatif untuk menjadikan pendekatan baru yang dimaksud menjadi lebih konkret.
Kata Ones, seperti keberanian Presiden Jokowi untuk memerintahkan TNI-Polri menarik pasukan militer dan bersenjata lainnya dari wilayah-wilayah konflik di Papua. “Kalau ingin membangun keamanan di Papua baromoternya yang jelas,” kata Ones.
Menurut dia, Indonesia harus menjadikan pendekatan kemanusian dan komunikasi intensif dengan tokoh dari faksi-faksi utama di Papua. Hal itu sebagai saluran baru untuk membuat Papua menjadi lebih baik dan aman. “Pemerintah Indonesia harus menarik pasukan militernya. Dan harus ambil kemauan politik untuk berunding dengan aktor-aktor konflik di Papua,” ujar Ones.
Beberapa faksi politik yang menurut Ones dapat menjadi mitra perundingan seperti TPNPB, ULM-WP, dan lainnya. TPNPB itu, kata dia, memiliki pimpinan dan begitu juga dengan ULMWP dan kelompok gerakan sipil lainnya.
"Merekalah yang harus diajak untuk memperundingkan solusi damai,” ujar Ones.
Selama perundingan dengan melibatkan tokoh konflik itu tak terjadi, kebaikan apapun untuk mengubah situasi sosial dan keamanan di Papua juga tidak akan berhasil. Termasuk konsep pendekatan baru yang ditawarkan itu.
“Jadi kami tidak percaya pendekatan baru tersebut. Pernyataan seperti itu sudah biasa dan basi. Orang Papua sudah muak dengan janji palsu Jakarta," kata dia.
Menurut dia, pemerintah sering berbicara selesaikan pelanggaran HAM, pendekatan kesejahteraan dan kemanusiaan, namun realitas tidak terjadi. "Pintar bicara retorika kemanusiaan orang Papua, ‘kita pu sudara’, tetapi yang terjadi adalah Papua berdarah-darah bukan besudara,” kata Ones.
Soal perundingan itu, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) dan tokoh gerakan di Papua lainnya sebenarnya sudah sering memintanya. Namun, pemerintah tidak menerima perundingan yang ujung-ungnya mereka meminta Papua terpisah dari Indonesia.
Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa pada Selasa (23/11), mengatakan, dalam waktu dekat dia akan bertolak ke Papua dan akan mengumumkan strategi penanganan Papua sebagaimana yang dia wacanakan. Hal ini ia sampaikan usai melakukan kunjungan perdananya sebagai Panglima TNI ke Mabes Polri, Jakarta Selatan.
Andika Perkasa dan Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjadikan penanganan keamanan di Papua sebagai pembahasan utama. "Iya pasti (bahas pengamanan Papua). Nanti mudah-mudahan pekan depan saya akan ke Papua, akan kami umumkan di sana. Pembahasan Papua tadi, jadi utama itu," kata dia.
Hari ini, Juru Bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom menegaskan menolak jika perundingan dilakukan dengan TNI-Polri untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di Papua. Menurut dia, pihaknya hanya mau berunding dengan level menteri negara di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Jadi tidak ada perundingan, dialog dengan TNI-Polri. Yang bisa bicara, layak dan levelnya itu kami juru runding TPNPB-OPM dengan Indonesia, tim delegasi Indonesia, yaitu kabinet Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo. Itu level yang layak untuk kami bisa bicara. TNI-Polri tuh kan bukan tempatnya,” kata Sebby kepada Republika.co.id, Kamis (25/11).
Sebby menjelaskan, masyarakat asli Papua sudah terlanjur tidak mempercayai pihak TNI-Polri. Sebab, kata dia, aparat keamanan kerap kali memperlakukan orang Papua dengan tidak baik dan bertindak di luar perikemanusiaan.
“Orang Papua sudah benci dengan kelakuan TNI-Polri di Papua, baik gubernur sampai kepala desa, orang kampung di mana-mana, orang Papua itu sudah terlanjur benci kelakuan TNI-Polri terhadap orang Papua itu di luar perikemanusiaan. Mereka sangat jahat, selalu menangkap orang Papua, siksa, pukul, lalu membunuh. Perempuan-perempuan dibunuh, anak-anak kecil dibunuh,” klaim Sebby.