Mengapa Aceh Dikenal Pusat Penyebaran Tasawuf di Nusantara?
Islamisasi di Aceh kental dengan pendekatan bercorak sufistik
REPUBLIKA.CO.ID, — Salah satu yang menjadi rujukan untuk melacak pemikiran Tasawuf di Nusantara adalah buku berjudul “Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara”.
Buku ini ditulis seorang akademisi dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung, M Solihin.
Penulis kelahiran Bekasi, 10 Juni 1968 ini pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Tasawuf-Psikoterapi dan Sekretaris Jurusan Aqidah dan Filsafat.
Karya-karya Solihin yang lain juga banyak yang mengupas tentang dunia tasawuf, termasuk tentang tokoh-tokoh sufi lintas zaman.
Namun, dalam bukunya yang satu ini, Shohin lebih fokus mengeksplor pemikiran tasawuf di Nusantara. Buku ini setidaknya terbagi menjadi enam bab pembahasan utama. Pada bagian pertama, penulis mengupas tentang sejarah dan pemikiran Tasawuf di Aceh.
Dalam membicarakan sejarah dan pemikiran tasawuf di Nusantara, menurut Solihin, Aceh memainkan peranan yang sangat penting, karena Aceh merupakan wilayah yang tidak bsia dipisahkan dalam setting sejarah Islam di Indonesia khususnya, dan negara di semenanjung Melayu umumnya.
Dalam bab ini, penulis mengawali dengan pembahasan sejarah masuknya Islam di Aceh dan penyebaran Islam dalam pendekatan sufistik. Selain itu, penulis juga mengupas pemikiran para tokoh sufi di Aceh, seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Nuruddin Ar Raniri, dan Abd Rauf Al Singkili.
Penulis memaparkan inti pemikiran dari masing-masing tokoh tersebut. Abd Rauf Al Singkili misalnya, disebutkan bahwa pemikirannya dapat dilihat antara lain pada persoalan kecenderungan untuk “merekonsiliasi” antara tasawuf dan syariat.
Kendati demikian, menurut Solihin, ajaran tasawuf Al Singkili mirip dengan Syamsuddin Al Sumatrani dan Nuruddin Al Raniri, yaitu menganut paham satu-satunya wujud hakiki, yakni Allah SWT. Sedangkan alam ciptaan-Nya bukanlah merupakan wujud hakiki, tetapi bayangan dari yang hakiki.
Menurut Al Singkili, jelaslah bahwa Allah berbeda dengan alam. Walaupun demikian, antara bayangan (alam) dengan yang memancarkan bayangan (Allah) tentu memperoleh keserupaan. Maka, sifat-sifat manusia adalah bayangan-bayangan Allah, seperti yang hidup, yang tahu, dan yang melihat. Pada hakikatnya, setiap perbuatan adalah perbuatan Allah.
Selain itu, Al Singkili juga mempunyai pemikiran tentang zikir. Dalam pandangan Al Singkili, zikir merupakan suatu usaha untuk melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa. Ajaran tasawuf Al Singkili yang lain adalah bertalian dengan martabat perwujudan, yang dijelaskan secara lebih rinci dalam buku ini.