Keadilan Rizieq Shihab: Jalan Terjal Penegakan Hukum 2021

Selama tahun 2021 penegakan hukum penuh nuansa keganjilan kepada Habib Riziek

Anadolu Agancy
Habib Riziek tiba di Bandara Soekarno Hatta dengan isambut ribuan massa sepulang dari Arab Saudi beberapa waktu silam. (ilustrasi)
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr. Ari Yusuf Amir, SH, MH, Praktisi Hukum.


Sepanjang 2021, kalender penegakan hukum di tanah air banyak diwarnai keganjilan yang menjauhkan hukum dari keadilan. Postulat Thomas Hobbes dalam Leviathan bahwa Hukum adalah entitas nurani publik pun dibuat nirmakna. Seakan kita lupa bahwa penegakan hukum yang tidak adil adalah bagian dari spesies kekerasan.

Tidak sulit mencari rujukan empirisnya, keganjilan-keganjilan itu tersaji dalam beberapa kasus. Baru-baru ini misalnya, seorang kakek bernama Kasmito (74 tahun) yang membela diri melawan pencuri yang mencoba menyerangnya dengan alat strum ikan, justru dituntut dua tahun bui. Padahal dalam KUHP Pasal 49 ayat (1) secara terang diatur “Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”.

Tak kalah pilu, seorang Ibu dua anak di Karawang yang memarahi suaminya karena sering mabuk-mabukan juga dituntut 1 (satu) tahun penjara. Banyak pihak mengecam tuntutan JPU dalam kasus tersebut. Atas nama positivisme JPU mengesampingkan aspek keadilan dan kemanfaatan dalam hukum. Nurani JPU sebagai penegak hukum dipertanyakan. Mereka seperti amnesia terhadap konsep keadilan restoratif (restorative justice) yang berorientasi pada perdamaian kedua belah pihak tanpa harus melalui proses peradilan. Meski kasus ini kini ditangani oleh Kejaksaan Agung setelah menjadi perhatian publik, tetapi kasus ini terlanjur menggores luka dan trauma, khususnya bagi terdakwa yang jauh dari layak untuk duduk di kursi pesakitan.        

Wajah penegakan hukum di tanah air juga kental dengan aroma balas dendam politik. Seperti yang dialami oleh Habib Rizieq Shibab (HRS), tokoh ummat Islam yang dikenal vokal dan seringkali berseberangan dengan rezim penguasa.  Ia divonis oleh Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan juga dikuatkan oleh Putusan Banding 4 tahun penjara atas kasus swab test RS UMMI.  Majelis hakim menganggap bahwa pernyataan Rizieq saat menyatakan dirinya sehat ketika dirawat di RS UMMI Bogor pada November 2020 merupakan kebohongan karena hasil tes swab PCR-nya terkonfirmasi Covid-19.

Majelis hakim mendasarkan vonisnya pada Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 yang menyatakan: Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.

Padahal dalam pasal aquo terdapat unsur kunci yakni "menerbitkan keonaran". Sementara, tidak ada keonaran di kalangan masyarakat pascaperbuatan HRS. Keonaran bila diartikan secara gramatikal adalah kondisi chaos sehingga terjadi kegaduhan di tengah masyarakat. 

Vonis tersebut jelas terlalu tinggi dan tidak sesuai dengan perbuatan yang dilakukan HRS. Bandingkan dengan beberapa kasus sejenis yang banyak tidak diproses. Atau bandingkan dengan kasus Pinangki terkait tindak pidana suap, pencucian uang, dan permufakatan jahat dalam perkara terpidana korupsi hak tagih Bank Bali, Djoko S. Tjandra. Di pengadilan Tipikor dihukum 10 tahun, tetapi ditingkat banding disunat menjadi 4 tahun. Jaksa bahkan memutuskan untuk tidak mengajukan kasasi.  

 

Kasus lain yang menimpa HRS adalah peristiwa penembakan di tol Cikampek KM 50. Sebuah tragedi kemanusiaan atas hilangnya nyawa 6 (enam) anak bangsa anggota FPI. Banyak pihak mengecam dan mengutuk tindakan tersebut. Masalah hilangnya nyawa 6 (enam) orang warga sipil oleh aparatur kepolisian di luar proses hukum dan pengadilan (extra judicial killing) sangat berpotensi melanggar HAM Berat. Apalagi tindakan kekerasan dengan menggunakan senjata api oleh petugas kepolisian bukanlah tanpa regulasi. Penggunaannya diikat oleh prinsip kepatutan dan proporsionalitas. Setidaknya didasarkan Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri dan Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan.

Hasil penyelidikan Komnas HAM menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM, meskipun FPI menolak hasil rekomendasi tersebut dan mengusulkan dibentuk tim independen untuk menguak tabir peristiwa extra judicial killing yang mengerikan itu.    

Sulit diingkari bahwa kasus HRS adalah cermin besar digdayanya politik balas dendam. Hukum yang harusnya menjadi panglima di negeri ini dibuat tunduk pada daulat kekuasaan. Pengadilan sebagai benteng terakhir para pencari keadilan-pun seolah hanya alat legitimasi kepentingan kuasa. Mengingatkan pesan sang Begawan Hukum Progresif, Satjipto Raharjo, bahwa pengadilan harusnya menjadi rumah keadilan (hall of justice) bukan  rumah penjagalan (slaughter house). 

Fenomena yang terbentang di atas sekaligus mencerminkan krisis kepemimpinan dan keteladanan pada ranah penegakan hukum. Kita surplus aparat hukum, tapi minus penegak hukum. Di tengah situasi itu, kita mendamba para figur pimpinan di setiap lembaga penegak hukum untuk berdiri tegak memberikan teladan profetik, sembari memberikan arah dan ketegasan sikap dalam memimpin penegakan hukum sebagaimana rel yang digariskan konstitusi. Saatnya kita memutus mata rantai politik dan kekuatan extra judicial lainnya dalam penegakan hukum. Agar hukum kembali berdaulat sesuai fitrahnya dan menutup ruang politik balas dendam. Sebagaimana  pesan Mahatma Gandhi, “jika mata dibalas dengan mata, maka dunia akan gelap gulita”.  Wallahu A’lam Bishawab. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler