PM Israel Desak Pemimpin Dunia Tegas ke Iran

Israel menolak kesepakatan nuklir yang ditandatangani 2015 lalu.

ap/Planet Labs Inc.
Foto satelit dari Planet Labs Inc. menunjukkan fasilitas nuklir Natanz Iran pada hari Rabu, 14 April 2021.
Rep: Lintar Satria Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, TELAVIV -- Perdana Menteri Israel Naftali Bennet mendesak negara-negara besar untuk mengambil sikap yang lebih tegas pada Iran dalam negosiasi nuklir di Wina. Hal ini Bennett sampaikan kepada pejabat tinggi pertahanan dan intelijen Israel sebelum berangkat ke Washington untuk membahas perundingan tersebut.

"Saya mengajak semua negara yang bernegosiasi dengan Iran di Wina untuk mengambil garis keras dan menegaskan pada Iran mereka tidak bisa memperkaya uranium dan bernegosiasi di waktu yang sama," kata Bennett pada kabinetnya seperti dikutip Aljazirah Ahad (5/12) kemarin.

"Iran harus mulai membayar harga atas pelanggaran-pelanggaran ini," tambahanya.

Baca Juga



Mantan Presiden AS Barack Obama menjadi garda depan kesepakatan nuklir Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) yang bertujuan menghentikan program atom Iran. Sebagai gantinya negara-negara Barat dan PBB mencabut sanksi-sanksi mereka pada Teheran. Namun mantan Presiden AS Donald Trump mengeluarkan AS dari kesepakatan itu.

Trump kemudian menerapkan kembali sanksi-sanksi pada sektor perminyakan dan keuangan Iran yang mempersulit perekonomian negara itu. Teheran membalasnya dengan melanggar sejumlah ketentuan JCPOA.

Di era Joe Biden, pemerintah AS mencoba membukan perundingan. Namun perundingan untuk mengembalikan AS ke kesepakatan itu terhenti lima bulan.

Pekan lalu negosiasi itu dimulai kembali, meski sempat dihentikan setelah berjalan selama lima hari. Negosiator Eropa dan Amerika kecewa dengan posisi Iran dan mempertanyakan apakah perundingan tersebut akan berhasil.

Sementara Israel menolak kesepakatan nuklir yang ditandatangani 2015 lalu. Mereka mengatakan kesepakatan itu tidak melangkah terlalu jauh untuk menghentikan program nuklir Iran dan tidak membahas aktivitas militer negara itu di kawasan. Mereka menolak kembali ke JCPOA dan mendorong agar langkah diplomasi diiringi dengan tekanan militer ke Iran.

Pada akhir pekan lalu kepala negosiator mereka, Deputi Menteri Luar Negeri Iran, Ali Bagheri Kani mengindikasi Iran akan memberikan daftar ketiga tuntutan pada lawan negosiasinya. Daftar ini akan mencakup reparasi dua halaman yang diajukan pekan lalu. "Sanksi apa pun atas pelanggaran dan ketidakkonsistenan dalam (kesepakatan) ini harus segera dihapuskan, semua sanksi yang telah diberlakukan atau diberlakukan kembali di bawah apa yang disebut kampanye tekanan maksimal Amerika Serikat harus segera dihapuskan," kata Bagheri.

Di satu sisi Presiden Iran Ebrahim Raisi berusaha agar sanksi-sanksi pada Teheran dicabut. Negosiatornya menggelar upaya maksimalnya sendiri.

Pekan lalu pengawas nuklir PBB mengkonfirmasi Iran mulai memurnikan uranium yang diperkaya hingga 20 persen. Langkah itu dilakukan di Fordow sementara kesepakatan nuklir melarang Iran melakukan pengayaan di fasilitas bawah tanah itu.

Akhir pekan lalu Iran juga mengatakan melakukan tes sistem pertahanan darat ke udara di dekat fasilitas nuklir Natanz. Pada Sabtu malam orang-orang yang tinggal di dekat sana melihat cahaya di langit dan mendengar suara ledakan. "Setiap ancaman dari musuh akan bertemu dengan respon yang tegas," kata Letnan Komandan Ali Moazeni di stasiun televisi setempat.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler