Selebrasi HAM Yang Minus Keadilan
Negara agaknya memiliki resistensi menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu.
Oleh : M Nasir Djamil, Anggota Komisi III DPR RI
REPUBLIKA.CO.ID, Selebrasi global hari Hak Asasi Manusia (HAM) yang diperingati setiap 10 Desember di Indonesia menampilkan dua wajah yang saling bertolak belakang. Disatu sisi, negara melalui Presiden secara berkesinambungan dalam pidato-pidatonya menyampaikan pesan mengajak semua pihak untuk memperkuat komitmen dalam penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM di Indonesia. Namun disisi yang lain, secara empiris perlindungan dan pemenuhan HAM di Indonesia berjalan tertatih-tatih di lorong yang gelap, berliku dan curam. Lebih parahnya lagi, demokrasi sebagai ekosistem yang mendukung terlaksananya penghormatan dan pemenuhan HAM sedang mengalami kemunduran secara signifikan untuk pertama kalinya sejak pascareformasi 1998.
Demokrasi dan HAM ibarat dua sisi mata uang yang bersimbiosis, layaknya seperti yin dan yang dalam filosifi Cina yang menjaga keseimbangan alam. Hubungan resiprokal ini menerangkan bahwa HAM hanya akan terealisasi dalam pemerintahan yang demokratis, tidak ada penghormatan dan pemenuhan HAM di negara totaliter. Pemerintahan yang demokratis akan menjadi wahana bagi tegaknya HAM dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain seiring menguatnya demokrasi dan diterima secara luas maka akan turut memperkuat upaya penghormatan dan pemenuhan terhadap HAM.
Dalam sejarah reformasi, spirit dari dua komponen inilah (Demokrasi-HAM) yang membawa Indonesia mentransformasi dirinya untuk mengelevasi peradaban bangsa dan negara dengan penguatan demokratisasi serta mengakomodir prinsip-prinsip human rights dalam konstitusi kita. Begitulah esensi dari demokrasi terwujudnya kebebasan dan persamaan yang dijamin oleh negara yang menjadi entry point dalam diskursus human rights.
Kita mungkin patut untuk berbangga karena Indonesia adalah negara yang paling progresif di ASEAN dalam hal meratifikasi konvensi inti HAM internasional. Praktis Indonesia telah meratifikasi tujuh dari delapan instrumen inti HAM internasional dan hanya menyisakan satu konvensi, yaitu Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa yang masih tertunda prosesnya meski pernah dibahas di parlemen pada tahun 2009 lalu. Disamping itu, dalam konteks pemajuan HAM, Indonesia juga menduduki posisi startegis di Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) dengan kembali terpilih sebagai Anggota Dewan HAM PBB untuk periode 2020-2022 mewakili Asia Pasifik.
Namun demikian, ada sebuah fenomena kesenjangan yang dalam antara konsepsi dengan implementasi. Kemajuan ratifikasi dan posisi mentereng Indonesia di Dewan HAM PBB tidak sepenuhnya mampu menjamin penghormatan dan pemenuhan HAM masyarakat sipil di Indonesia akhir-akhir ini, apalagi menjawab rasa keadilan para keluarga dan korban pelanggaran HAM berat di masa lalu. Juga pandemi Covid-19 menjadi tuah bagi negara untuk melegitimasi dirinya mengenyampingkan aspek-aspek HAM dalam menjalankan sejumlah kebijakan. Kembali, negara hanya hadir pada tataran retorika namun alpa pada tataran implementasi di lapangan.
Selebrasi Kosong
Peringatan hari HAM di Indonesia mungkin layak dikatakan sebagai peringatan seremonial yang miskin makna dan sama sekali tidak menyentuh refleksi subtantif akan upaya-upaya negara dalam penghormatan dan pemenuhan HAM serta kewajiban negara menghadirkan keadilan atas dosa-dosa masa lalu.
Hal diatas mungkin tak berlebihan jika menilik pada hasil kajian dari pelbagai lembaga riset yang menyatakan demokrasi dan pemenuhan HAM di Indonesia diibaratkan seperti Tari Poco-Poco, mundur ke belakang. Indeks Demokrasi dan HAM di Indonesia bergerak dari fase stagnasi ke fase regresi. Sebut saja hasil kajian dari Global Peace Index 2020 Vision on Humanity dari for Economic and Peace, meletakkan indonesia sebagai negara yang mengalami....
Hal diatas mungkin tak berlebihan jika menilik pada hasil kajian dari pelbagai lembaga riset yang menyatakan demokrasi dan pemenuhan HAM di Indonesia diibaratkan seperti Tari Poco-Poco, mundur ke belakang. Indeks Demokrasi dan HAM di Indonesia bergerak dari fase stagnasi ke fase regresi. Sebut saja hasil kajian dari Global Peace Index 2020 Vision on Humanity dari for Economic and Peace, meletakkan indonesia sebagai negara yang mengalami kemerosotan penegakan HAM. Demikian juga Habibi Centre dalam kajiannya yang dirilis pada 9 Juni 2021 mengulas kualitas demokrasi Indonesia yang menurun secara signifikan tidak hanya menyetuh aspek kebebasan sipil dan pluralisme melainkan juga fungsi pemerintahan.
Ketakutan akan kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat secara merdeka menjadi salah satu faktor utama kemunduran demokrasi dan pemenuhan HAM di Indonesia. UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Teknologi Informasi (ITE) kerap menjadi momok yang sangat menakutkan bagi masyarakat sipil untuk bersuara dan berekspresi secara merdeka, terlebih bagi mereka yang mengambil posisi berseberangan dan kritis terhadap kebijakan pemerintah.
Situasi diatas terangkum dalam rilis yang dikeluarkan oleh sejumlah lembaga survei di Indonesia. Survei Indikator Politik Indonesia (IPI) pada 24-30 September 2020 menyatakan 69.6 persen responden setuju publik kian takut menyampaikan pendapat. Hasil serupa juga disampaikan oleh LP3ES dalam survei yang dilaksanakan pada medio April 2021, dimana sebanyak 52.1 persen responden setuju adanya ancaman kebebasan sipil dan ketakutan masyarakat dalam berpendapat.
Kondisi yang tak kalah mengerutkan dahi di tengah hiruk-pikuk peringatan Hari HAM di Indonesia ialah masih terpampangnya wajah-wajah kemurungan dan kepasrahan dari para keluarga korban pelanggaran kejahatan HAM berat di masa lalu. Wajah-wajah yang terus-menerus memupuk asa dan harapan untuk sebuah kata kebenaran dan pemenuhan keadilan dari otoritas negara.
Upaya-upaya perjuangan akan keadilan dan kebenaran oleh keluarga korban memang tak pernah putus. Sebut saja aksi kamisan di depan Istana Negara yang digelar secara konsisten dan periodik. Enam ratus kali lebih aksi kamisan telah dilaksanakan sejak 18 Januari 2007 hingga sekarang, seolah aksi tersebut tak mampu menjadi cermin dan membuka mata penguasa bahwa negara sebagai pemangku kewajiban (duty bearer) dalam hal terjadinya pelanggaran HAM berat bertugas untuk menwujudkan pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM berat dengan menggunakan mekanisme yang transparan, akuntabel, dan legal.
Gagalnya Keadilan Transisional.
Justice delayed is justice denined, pepatah hukum (legal maxim) ini memberikan makna mendalam bahwa sebuah keadilan harus dihadirkan secara cepat dan tepat, pengabaian dan keterlambatan akan sebuah keadilan yang dibutuhkan oleh individu atau kelompok yang hak-haknya telah dilanggar merupakan bentuk lain dari ketidakadilan yang dilakukan oleh negara.
Lebih dari dua dekade reformasi di Indonesia bergulir, namun proses pengungkapan kebenaran, pemulihan dan pemenuhan keadilan atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lalu belum ada tanda-tanda untuk dituntaskan. Publik dan para keluarga korban seperti diombang-ambing antara penyelesaian dengan pendekatan yudisial dan non-yudisial. Disaat yang bersamaan agenda-agenda pengungkapan kebenaran dan pemenuhan keadilan pelanggaran HAM masa lalu semakin kabur dan jauh dari dialektika atau pembicaraan publik.
Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu melalui mekanisme yudisial selama ini jalan ditempat, begitu rumit untuk dilaksanakan, ibarat seperti meluruskan benang yang kusut sulit untuk diurai. Berkas-berkas hasil penyelidikan pelanggaran dan kejahatan HAM berat masa lalu yang diamanatkan oleh undang-undang kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) selalu saja ditolak oleh Penyidik Kejaksaan Agung dengan alasan tidak cukupnya alat bukti. Perbedaan persepsi antara Komnas HAM dan Kejagung dalam menyikapi hasil penyelidikan terus terjadi berulang kali.
Kebekuan pandangan antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung agak mencair baru-baru ini. Secercah harapan mungkin mulai lahir seiring adanya inisiatif dari Kejakasaan Agung untuk membentuk Tim penyelesaian Kasus HAM berat dan upaya penyidikan umum perkara pelanggaran HAM dalam rangka mencari dan mengumpulkan alat bukti sebagai tindak lanjut dari penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM. Namun inisiatif baik ini belum mampu sepenuhnya menjawab harapan publik dan keluarga korban dikarenakan tim yang dibentuk Kejagung masih seumur jangung, sehingga sangat dini untuk diposisikan sebagai game changer untuk menghadirkan keadilan transisional di Indonesia yang terlunta-lunta.
Ragam akan pilihan mekanisme penyelesaian kasus HAM masa lalu di Indonesia juga semakin menyempit pascapembatalan.....
Ragam akan pilihan mekanisme penyelesaian kasus HAM masa lalu di Indonesia juga semakin menyempit pascapembatalan keseluruhan terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) oleh Mahkamah Konstitusi. Hingga saat ini belum adanya kesepakatan politik antara pemerintah dan DPR untuk kembali membahas Rancangan Undang-Undang tentang KKR yang mestinya patut menjadi perhatian yang penting dan mendasar sebagaimana amanat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-IV/2006.
Situasi ini patut menjadi warning karena Indonesia agaknya mengarah menjadi negara impunitas. Pernyataan-pernyataan pengambil kebijakan juga cenderung kontraproduktif terhadap penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Seperti halnya statemen Jaksa Agung ST Burhanuddin di gedung parlemen yang akhirnya menjadi perbincangan secara luas yang menyatakan Peristiwa Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat. Seolah-olah terkesan memang negara agaknya memiliki resistensi untuk menuntaskan pelanggaran-pelanggaran HAM berat masa lalu dengan segera.
Komitmen Pemerintah
Kunci pemulihan indeks demokrasi Indonesia serta mulusnya penyelesaian HAM masa lalu sangat bergantung kepada kemauan pemerintah untuk berbenah. Benar adanya bahwa untuk menjaga kualitas demokrasi tidak cukup hanya mengandalkan peran pemerintah melainkan juga dibutuhkan peranan pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya. Tapi harus diingat, bahwa negara sebagai sebuah organisasi kekuasaan harus menjadi lokomotif utama agar gerak kualitas demokrasi kita melangkah kedepan tidak kebelakang.
Presiden jokowi harus menyadari dan segera merevisi kebijakan-kebijakannya yang anti demokrasi dengan pendekatan illiberal untuk menyelamatkan demokrasi Indonesia. Beberapa diantaranya seperti penerbitan PERPPU No.2/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang mengabaikan proses peradilan (due process of law) dan mengangkangi kebebasan berkumpul dan berserikat yang dijamin dalam Konstitusi Indonesia.
Kemudian juga penerapan UU No.19/2016 tentang Informasi Teknologi Informasi. Penafsiran undang-undang ini keluar dari filosofi dan tujuan awal pembentukanya yaitu memberikan perlindungan kepada konsumen dalam tranksaksi elektronik. UU ITE menjadi pemantik para pejabat dan bahkan sesama warga negara untuk saling lapor dan membungkam perbedaan dan kritik secara legal. Dengan kata lain UU ITE secara tidak langsung ikut mengaburkan tingkat toleransi ditengah-tengah masyarakat dalam menyikapi perbedaan di ruang-ruang publik dan digital.
Disamping itu penanganan aksi-aksi massa oleh aparat kepolisian juga cenderung represif sehingga menjadi ancaman bagi kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat. Oleh karenanya, pemerintah harus mengevaluasi diri secara menyeluruh atas kebijakan yang diambil dengan menempatkan prinsip-prinsip hukum dan HAM sebagai pertimbangan utama.
Komitmen dan konsistensi pemerintah juga dibutuhkan dalam pemenuhan dan penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu, Benar permasalahan HAM merupakan tanggung jawab bersama (jus cogen and erga omnes obligation). Namun tanggung jawab negara terikat sebagai pemangku HAM (duty barier) dengan konsekuensi responsibility dan laibility atas pelanggaran atau kejahatan HAM yang terjadi.
Presiden Jokowi idealnya dapat dengan mudah menuntaskan perkara-perkara kejahatan HAM masa lalu dikarenakan ia pemimpin yang lahir pascareformasi dan tidak memiliki beban masa lalu. Alih-alih demikian, tujuh tahun pemerintahan Jokowi telah berjalan namun tidak ada satupun pelanggaran HAM berat masa lalu yang bisa dituntaskan. Masih ada waktu tersisa tiga tahun lagi bagi Presiden Jokowi untuk menuntaskan janji-janji kampanyenya sejak tahun 2014, agar kebenaran dapat terungkap dan keadilan dapat dihadirkan, sehingga Indonesia dapat melaju menatap masa depan dengan mantap tanpa bayang-bayang dosa masa lalu.