China Hujat Konferensi Demokrasi yang Digelar AS
China menilai konferensi demokrasi hanya menghasut perpecahan dan konfrontasi.
REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pemerintah China menghujat penyelenggaraan acara Summit for Democracy oleh Amerika Serikat (AS). China menilai konferensi itu hanya menghasut perpecahan dan konfrontasi serta melanggengkan hegemoni AS di dunia.
Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) China menuding Washington berupaya memaksakan sistem dan nilai-nilai politiknya pada pihak lain. “Demokrasi telah menjadi ‘senjata pemusnah massal’ yang digunakan AS untuk mencampuri urusan negara lain,” kata Kemenlu China dalam sebuah pernyataan pada Sabtu (11/12), dikutip laman Sputnik.
China mengungkapkan, sejak 2011, perang dan operasi militer AS di Afghanistan, Irak, Libya, dan Suriah telah merenggut ratusan ribu korban jiwa. Jutaan orang lainnya luka-luka dan mengungsi. “Kegagalan di Afghanistan telah menunjukkan memaksakan demokrasi Amerika sama sekali tidak berhasil,” kata Kemenlu China.
Kendati demikian, Beijing menilai, AS masih terus berusaha membagi dunia menjadi kubu demokrasi dan non-demokrasi berdasarkan kriterianya. “Upaya semacam ini hanya akan membawa kekacauan dan bencana lebih besar ke dunia, dan menghadapi kecaman keras serta tantangan dari komunitas internasional,” kata Kemenlu China.
Summit for Democracy digelar pada Kamis dan Jumat (9-10 November 2021). AS mengundang 110 negara untuk berpartisipasi dalam konferensi tersebut. Taiwan, yang tengah terlibat ketegangan dengan China turut diundang oleh Washington. Beijing pun sempat mengecam langkah AS melibatkan Taiwan dalam acara tersebut. Selain China, terdapat sejumlah negara lain yang tak diundang AS, yakni Rusia, Iran, Venezuela, Suriah, Serbia, Turki, Hungaria, dan lainnya.