Dari Seorang Agnostik, Nichola Temukan Tujuan Hidup dalam Islam
Perjalanannya sebagai mualaf tidak mudah dan ia masih memiliki pertanyaan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pencarian jati diri dan tujuan hidup mengantarkan Nichola Taylor untuk pada akhirnya menemukan Islam. Melalui kehidupan menjadi seorang yang agnostik, sarjana Studi Eropa dengan bahasa Jerman ini kemudian berpikir tentang apa yang menjadi pertanyaan dalam benaknya selama ini.
Melewati berbagai pengalaman hidup, Nichola kemudian menemukan dan meyakini Islam sebagai agama dan tujuan hidup yang ia cari selama ini. Jauh sebelum memeluk Islam, Nichola tidak pernah begitu memikirkan agama hingga ia tumbuh dewasa.
Ia memang tidak dibesarkan dalam keluarga yang terlalu religius. Namun, mereka akan menggolongkan diri sebagai Gereja Inggris jika mereka harus mengisi formulir apa pun, dan hanya sebatas itu. Ia mengaku hanya pergi ke gereja jika mereka diundang ke pernikahan, pemakaman, atau pembaptisan.
Seperti semua anak Inggris yang tumbuh di tahun 80-an, mereka dihadapkan pada beberapa perumpamaan dan ajaran Alkitab di pertemuan sekolah dan mereka juga menyanyikan himne. Mereka juga akan ikut serta dalam drama Natal selama sekolah dasar.
Secara keseluruhan, mereka menjalani masa kecil yang bahagia. Pada usia 18 tahun, ia meninggalkan rumah untuk menempuh pendidikan di universitas. Seperti kebanyakan mahasiswa umumnya, Nichola juga menikmati pengalaman hidup dan bersenang-senang. Kala itu, agama bukan sebuah faktor dalam hidupnya.
"Begitulah yang terjadi sepanjang masa remaja akhir saya dan awal dua puluhan. Jika saya harus menggambarkan diri saya saat itu, saya akan mengatakan bahwa saya agnostik. Saya percaya ada kekuatan yang lebih tinggi dan saya percaya sesuatu harus terjadi pada Anda ketika Anda mati, tetapi saya tidak yakin apa," tulis Nichola dalam artikel di laman About Islam, dilansir Kamis (2/12).
Selanjutnya, Nichola meninggalkan kampusnya dan pindah ke London, di mana di sana ia tinggal selama empat tahun. Di kota itu, ia menikmati kehidupan yang dirasanya menyenangkan dan kerap bersenang-senang dengan teman-temannya di akhir pekan. Hidup untuk akhir pekan, begitulah yang ia jalani selama tiga tahun di London. Nichola bekerja dalam sepekan, lantas menjadikan aktivitas pergi ke pub dan klub di akhir pekan sebagai sebuah rutinitas.
Suatu hari saat hari raya Paskah, ia pulang ke rumah untuk mengunjungi orang tua dan ibunya. Saat itu ia kemudian menonton film The Passion of the Christ. Nichola mengaku ia menonton film tersebut bukan karena menemukan dirinya menjadi religius, melainkan karena ulasan film itu yang bagus.
Cerita Paskah begitu terindoktrinasi di otaknya sejak kecil sehingga mereka mengetahuinya dengan baik. Ia mengingat setelah melihat film itu, ibunya dan dirinya tengah berbincang. Nichola kemudian berkata, "Saya tidak percaya bahwa Yesus adalah anak Tuhan, saya percaya dia penting, tetapi saya tidak percaya dia adalah putra Tuhan."
Mereka juga membahas soal apa yang terjadi setelah mati. Saat itu Nichola mengatakan apa pun yang mereka lakukan dalam hidup ini mencerminkan ke mana mereka akan pergi ketika mati. Namun pada saat itu, ia tidak tahu apa-apa tentang Islam.
"Perlahan-lahan, saya mulai merasa hidup harus lebih dari sekadar bekerja, pergi berpesta setiap akhir pekan dan kemudian tidak punya uang untuk bertahan selama sepekan," ujarnya.
Pada saat yang sama, ia baru saja memulai pekerjaan di mana mereka memiliki kantor di London dan juga kantor di Kairo, Mesir. Selama waktu itu, ia terus-menerus berhubungan dengan orang Mesir yang bekerja dengan mereka dan mereka akan berbincang setiap hari dengan sistem tipe 'utusan/pengabar'.
Beberapa bulan setelah memulai pekerjaan tersebut, ia mengingat betul tidak menemukan siapa pun di Kairo untuk membantunya mengatasi masalah yang ia hadapi dengan seorang pelanggan. Ia akhirnya menemukan seseorang dan dia menjelaskan bahwa mereka tengah berada di bulan Ramadhan.
"Saya tidak tahu apa itu Ramadhan, jadi saya mulai banyak bertanya tentangnya. Ketika dia memberi tahu saya bahwa Muslim tidak makan atau minum dari fajar hingga matahari terbenam, yang saya ingat hanyalah berpikir bahwa Muslim pasti gila! Sedikit yang saya tahu bahwa Ramadhan berikutnya akan menjadi upaya pertama saya di Ramadhan, Subhanallah!" ungkap editor media sosial About Islam ini.
Setelah momen itu, ia mulai bertanya lebih banyak tentang Islam. Saat itu yang benar-benar ia tahu adalah apa yang dikatakan berita dan citra buruk yang digambarkan media, yang biasanya sepihak dan berat sebelah. Karena itu, ia mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan tipikal yang telah mendarah daging di benak mereka tentang Muslim.
"Seperti 'mengapa kamu menindas wanitamu?' 'Kenapa wanita harus berjalan di belakang pria?' (inilah konsepsi asli wanita Muslimah yang terus bermunculan). 'Mengapa wanita harus menutupi kepala mereka, mengapa mereka tidak bisa memakai apa yang mereka suka?" lanjutnya.
Saat itu, ia direkomendasikan beberapa buku untuk dibaca guna membantunya lebih memahami agama. Karena itu, Nichola memutuskan membaca lebih banyak buku tentang Islam. Namun, tidak ada yang cukup menonjol baginya untuk menerima agama Islam sepenuhnya.
Dengan membaca buku, ia menjadi mengetahui lebih banyak tentang Islam dan menyadari ada banyak penjelasan logis untuk banyak hal. Akan tetapi, masih ada hal-hal yang menahannya untuk lebih jauh melangkah.
"Misalnya, saya masih belum 100 persen yakin wanita Muslim itu 'bebas' seperti yang diklaim buku-buku itu. Mengenakan sesuatu di kepala tidak masuk akal bagiku. Mengapa, selama Anda mengenakan pakaian yang sopan? Ini adalah masalah yang sebenarnya saya perjuangkan bahkan ketika saya menerima Islam, tetapi itu adalah cerita lain!" tuturnya.
Buku yang paling berpengaruh terhadap perjalannya menemukan Islam adalah buku berjudul The Quran and Modern Science oleh Maurice Bucaille. Awalnya, tidak ada yang benar-benar membuatnya berpikir Islam adalah agama yang benar hingga ia membaca seluruh bab tentang embriologi. Ia merasa heran bagaimana mungkin seorang pria yang lahir lebih dari 1.400 tahun lalu mengetahui secara detail bagaimana bentuk embrio.
"Itu membuat rambut saya berdiri, dan saat itulah saya mengerti ini pasti agama yang benar, firman Allah. Dalam bacaan saya selanjutnya, saya menemukan keyakinan saya tentang apa yang terjadi pada Anda setelah Anda meninggal selaras dengan keyakinan Muslim, dan bagi saya itu masuk akal," ungkap Nichola.
Pertanyaan yang berada di kepalanya kemudian terjawab melalui buku-buku tentang Islam yang ia baca. Pada saat itulah, hidayah menghampirinya dan membuatnya yakin memeluk Islam. Pada 20 Mei 2005, Nichola mengucapkan syahadat melalui telepon dengan seorang rekan Muslim di Kairo.
"Saya merasa sangat senang dengan keputusan yang telah saya buat tetapi saya tidak memberi tahu siapa pun. Bahkan, selama hampir satu tahun, sangat sedikit orang yang tahu," katanya.
Hidup sebagai seorang mualaf mendorong Nichola belajar sendiri bagaimana beribadah atau sholat. Ketika itu tidak ada aplikasi, sehingga ia harus mencetak gerakan dan kata-kata sholat di atas kertas untuk dipelajari. Untuk pertama kalinya, Nichola juga menjalani Ramadhan sendirian. Meskipun, ia tidak bisa menyelesaikan puasanya sepenuhnya karena sendirian dan tidak begitu memahami konsep Ramadhan.
Lebih dari setahun setelah menerima Islam, Nichola menikah dengan salah satu rekannya yang ia temui di Kairo. Namun, sosok suaminya itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan langkahnya menjadi mualaf dan bukan seseorang yang menemaninya bersyahadat. Namun sejak mereka menikah, sang suami membimbingnya banyak hal tentang seorang mualaf.
"Tentu saja, dengan bimbingan Allah saya tetap berada di jalan Islam, tetapi suami saya telah ada di setiap langkah untuk menarik saya kembali setiap kali saya tersesat dan menjawab pertanyaan yang saya butuhkan jawaban. Dia telah menjadi batu karang stabilitas saya melalui perjalanan iman yang naik turun ini," tuturnya.
Nichola juga merasa bersyukur lantaran keluarga dari pihak suami begitu merangkulnya dan benar-benar menunjukkan karakteristik sebenarnya tentang bagaimana Muslim harus bersikap satu sama lain. Karena itu, Nichola merasa diberkahi dalam banyak hal.
Perjalanannya menjadi seorang mualaf tidaklah mudah dan ia masih memiliki pertanyaan tentang hal-hal tertentu, namun ia meyakini ia berada di jalan yang benar. Ia merasa lebih bersyukur sebagai mualaf lantaran ia tidak harus menghadapi keadaan di mana tidak diakui oleh keluarga. Pasalnya, keluarganya telah menerima keputusannya untuk memeluk Islam. Menurutnya, keluarganya pun bahagia dengan keadaannya setelah memeluk Islam.
"Islam adalah agama yang begitu indah. Namun Islam dipelintir oleh media dan jujur saja, oleh beberapa Muslim. Tetapi saya tidak akan pernah menyesali keputusan yang saya buat karena sejauh yang saya ketahui, saya mencari sesuatu yang membawa tujuan dan kebenaran yang mendalam dalam hidup saya dan itulah yang telah dilakukan Islam," ujarnya.