Kemenkes: Sunat Perempuan Merugikan Perempuan
Kemenkes tidak merekomendasikan sunat perempuan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan dr Erna Mulati mengatakan bahwa pelaksanaan female genital mutilation (FGM) atau sunat perempuan tidak bermanfaat. Ia menyebut, tindakan itu merugikan bagi kaum perempuan.
"(FGM, red.) itu enggak ada manfaatnya ya, bahkan sangat merugikan," kata Erna dalam webinar series Pencegahan Pelukaan dan Pemotongan Genitalia Perempuan (P2GP) dengan tema "P2GP dari Perspektif Kesehatan" yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.
Kementerian Kesehatan tidak merekomendasikan sunat pada perempuan. Erna mengatakan, perempuan bahkan dilarang untuk disunat.
"Karena kalau di bidang kesehatan, itu harus berbasis pada indikasi medis," katanya.
Erna menuturkan, FGM dapat dilakukan bila ada indikasi medis tertentu. Dengan begitu, pelaksanaan FGM dapat memberikan manfaat kesehatan.
Pihaknya memaparkan ada dampak jangka pendek dan jangka panjang setelah dilakukan FGM. Dampak jangka pendek di antaranya terjadi perdarahan.
"Kalau (perdarahan, red.) tidak ditangani segera, bukan tidak mungkin nanti bisa terjadi perdarahan yang hebat," katanya.
Selain itu, ada rasa nyeri berlebihan yang memungkinkan perempuan pingsan serta bisa terjadi syok karena perdarahan yang dialami. Dampak lainnya terjadinya infeksi saluran kencing.
"Bisa terjadi infeksi saluran kencing. Saluran kencing ini kalau tidak ditangani dengan baik, nanti sifatnya bisa kronis. Kalau sifatnya kronis tentu memberikan dampak yang cukup signifikan," tuturnya.
Kemungkinan selanjutnya ialah tidak bisa merasakan kebahagiaan saat berhubungan suami istri. Tak hanya itu, menurut Erna, perempuan yang disunat dapat mengalami trauma psikologis yang berkepanjangan.
Data Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) Kementerian Kesehatan pada 2013 menunjukkan bahwa secara nasional, 51,2 persen anak perempuan berusia 0-11 tahun mengalami praktik sunat perempuan. Anak-anak paling banyak (72,4 persen) mengalaminya saat berusia 1-5 bulan.
"Gorontalo menjadi provinsi tertinggi kasus praktik sunat perempuan, yaitu sebesar 83,7 persen," ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga, dalam siaran pers beberapa waktu lalu.
Menurut Bintang, sunat perempuan menjadi masalah yang sangat kompleks di Indonesia. Sebab, itu dilakukan berdasarkan nilai-nilai sosial secara turun-temurun.
"Padahal, dengan berbagai dampak yang merugikan perempuan dan manfaat yang belum terbukti secara ilmiah, sunat perempuan merupakan salah satu ancaman terhadap kesehatan reproduksi serta salah satu bentuk kekerasan berbasis gender, bahkan pelanggaran terhadap HAM," kata Bintang.
Pandangan ulama
Dalam kesempatan terdahulu, ahli fikih yang juga direktur Rumah Fiqih Indonesia (RFI) ustaz Ahmad Sarwat menjelaskan, ada dalil untuk khitan bagi anak perempuan, baik yang mengacu pada Alquran maupun hadist. Namun, para ulama fikih berbeda pendapat mengenai hukum sunat tersebut.
"Ada yang mengatakan wajib, tidak wajib, dan ada juga yang memandang, itu pemuliaan atas perempuan," kata ustaz Ahmad Sarwat, melalui pesan elektronik kepada Republika.co.id.
Ustaz Ahmad menjelaskan, dasar pensyariatan khitan mengacu pada Alquran surah an-Nahl ayat 123. Artinya, "Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): ‘Ikutilah agama Ibrahim, seorang yang hanif’ dan bukanlah dia (Ibrahim) termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan."
Ada pula hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Rasulullah SAW bersabda, "Khitan itu sunah buat laki-laki dan memuliakan buat perempuan" (HR Ahmad dan Baihaqi).
Hadits lainnya diriwayatkan dari Abu Hurairah RA. Rasulullah SAW bersabda, "Nabi Ibrahim AS berkhitan saat berusia 80 tahun dengan kapak" (HR Bukhari dan muslim).
Selain itu, hadits Nabi SAW yang diriwayatkan dari Aisyah RA: "Potonglah rambut kufur darimu dan berkhitanlah" (HR. Muslim).
Dalil-dalil tersebut menunjukkan dasar pelaksanaan khitan. Namun, khususnya bagi anak perempuan, para ulama fikih dari empat mazhab berbeda pendapat.
Mazhab Syafii berpandangan, hukum khitan ialah wajib atas laki-laki dan perempuan. Adapun mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali tidak memandang khitan atas perempuan dari sisi hukum taklifi, melainkan afdhaliyyah (keutamaan).
"Ketiga mazhab tersebut (Hanafi, Maliki, dan Hanbali) mengatakan bahwa khitan yang dilakukan pada anak perempuan merupakan tindakan pemuliaan Islam atas perempuan," jelas ustaz Ahmad.
Cara tepat khitan perempuan
Pelarangan khitan perempuan muncul terkait masalah prosedur yang dilakukan di beberapa negara yang bisa merusak organ vital perempuan. Hal itu juga dianggap mengganggu hak asasi manusia perempuan.
Sebenarnya bagaimana cara tepat khitan perempuan secara medis dan sesuai syariat Islam? Dr Valleria SpOG menjelaskan khitan perempuan sesuai syariat Islam, yakni dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda kepada Ummu Athiyah RA, "Apabila Engkau mengkhitan wanita, sisakanlah sedikit dan jangan potong (bagian kulit klitoris) semuanya karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih disenangi oleh suami." (HR Al Khatib dalam Tarikh5/327, dinilai shahih oleh Syekh al-Albani dalam Ash-Shahihah).
Khitan perempuan adalah tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa melukainya. Khitan perempuan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu, yaitu dokter, bidan, dan perawat yang telah memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja.
"Yang melakukan khitan pada perempuan diutamakan adalah tenaga kesehatan perempuan," ujar dr Valleria.
Dalam melaksanakan khitan perempuan, menurut dr Valleria, tenaga kesehatan harus mengikuti prosedur tindakan, antara lain cuci tangan pakai sabun, menggunakan sarung tangan, melakukan goresan pada kulit yang menutupi bagian depan klitoris (frenulum klitoris) dengan menggunakan ujung jarum steril sekali pakai dari sisi mukosa ke arah kulit, tanpa melukai klitoris.