Surga di Bumi, Siasat Tipu-Tipu Permukiman Kembali ke Korut

Penyintas lansia di Jepang berkisah tertipu iming-iming 'Surga di Bumi' ke Korut

Flickr
Bendera Korea Utara. Penyintas lansia di Jepang berkisah tertipu iming-iming Surga di Bumi ke Korut. Ilustrasi.
Rep: Dwina Agustin Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, NIIGATA -- Eiko Kawasaki berdiri sambil menangis di pelabuhan Niigata, tempat dia berangkat ke Korea Utara (Korut) lebih dari 60 tahun yang lalu. Dia melemparkan bunga krisan ke laut untuk berdoa bagi rekan-rekannya yang tidak dapat kembali.

Sebagai gadis berusia 17 tahun yang mencari kehidupan yang lebih baik, Kawasaki bergabung dengan program pemukiman kembali yang dipimpin oleh Korea Utara yang menjanjikan "Surga di Bumi". Semuanya seharusnya gratis dan mereka yang memiliki akar Korea sepertinya bisa hidup tanpa menghadapi diskriminasi.

Kawasaki termasuk di antara sekitar 93 ribu penduduk etnis Korea di Jepang dan kerabat mereka yang bergabung dengan program tersebut hanya untuk menemukan kebalikan dari yang dijanjikan. Sebagian besar dipekerjakan secara kasar di tambang, di hutan, dan di pertanian hingga menghadapi diskriminasi karena penjajahan Jepang di Semenanjung Korea di masa lalu.

Kawasaki pun mengadakan upacara peringatan di pelabuhan pada awal Desember, menandai hari kapal pertama berangkat ke Korea Utara 62 tahun yang lalu. Para peserta mengheningkan cipta untuk para korban yang telah meninggal meskipun mereka berharap untuk kembali ke Jepang suatu hari nanti.

"Untungnya, saya kembali ke Jepang hidup-hidup. Karena saya menganggap hidup saya di sini sebagai bonus tambahan yang saya terima, saya ingin mencurahkan seluruh waktu yang tersisa untuk melakukan apa pun yang dapat saya lakukan untuk memastikan tragedi ini tidak terjadi lagi," kata Kawasaki.

Lahir di ibu kota kuno Jepang, Kyoto, sebagai generasi kedua Korea, Kawasaki penasaran untuk melihat negara komunis yang banyak dipuji tetapi terisolasi itu setelah belajar di sekolah yang pro-Korea Utara. Dia mengaku telah dicuci otak.

Kawasaki memiliki keraguan tentang masa depan yang dijanjikan ketika ferinya tiba di pelabuhan Korea Utara. Saat berlabuh, dia bertemu dengan ratusan mayat yang diselimuti jelaga dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Semuanya tampak benar-benar hitam," kenangnya.

Pelabuhan internasional terbesar ketiga di Korea Utara tampak jauh lebih kumuh daripada pelabuhan Niigata. "Saat itu saya menyadari bahwa saya telah tertipu," ujar Kawasaki.

Kemudian Kawasaki melihat mantan teman sekolahnya yang telah berangkat ke Korea Utara lebih awal sedang mengumpulkan sisa kotak makan siang yang tidak dihabiskan Kawasaki dan penumpang lainnya. Teman sekolahnya memberitahukan bahwa seharusnya memakannya karena tidak akan memiliki akses ke makanan enak seperti itu lagi.

"Saya tercengang dan berpikir jantung saya akan berhenti karena kaget," kata Kawasaki mengenang masa itu.

Dia terjebak di Korea Utara selama lebih dari 40 tahun sampai melarikan diri pada 2003 ke Jepang tanpa memberi tahu siapa pun, termasuk keluarganya. Meskipun dia kini aman di Jepang, Kawasaki tidak pernah merasa nyaman karena khawatir tentang suami dan anak-anaknya yang masih di Korea Utara.

Baca Juga


Sejak pandemi Covid-19 dimulai, Kawasaki pun kehilangan kontak dengan mereka. Semua surat dan paket yang dia kirim telah dikembalikan. "Kekhawatiran terbesar saya sekarang adalah kelangsungan hidup mereka," katanya.

Sebagai salah satu penyintas langka yang berhasil kembali ke Jepang,  Kawasaki sekarang berusia 79 tahun. Dia memiliki misi untuk menghidupkan kisah dan kenangan tragis para korban pemukiman kembali ke Korea Utara yang tertipu.

Kawasaki bercita-cita membuka museum dan merevitalisasi jalan di Niigata untuk memperingati program pemukiman kembali di bawah naungan kelompok persahabatan Jepang dan Korea. Dia dan pembelot lainnya ingin meremajakan jalan sepanjang 1,5 kilometer yang disebut “Bodnam” atau jalan willow dengan menanam pohon baru untuk menggantikan pohon yang telah layu atau mati sejak program pemukiman kembali berakhir pada 1984. Pohon yang lebih tua ditanam untuk menandai peluncuran program pemukiman kembali pada 1959.

"Jalan menjadi kumuh karena orang-orang kurang memperhatikan program pemukiman kembali atau mereka tidak peduli. Saya pikir saya harus mengubahnya," tutur Kawasaki.

Sebuah laporan Komisi Penyelidikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2014 menggambarkan para korban program pemukiman kembali sebagai orang-orang yang dihilangkan secara paksa yang diawasi ketat oleh Korea Utara. Mereka dirampas kebebasannya untuk bergerak. Banyak kemungkinan menjadi korban pertama kelaparan 1990-an karena status sosial mereka yang lebih rendah.

Kawasaki dan beberapa korban lainnya sedang mencari ganti rugi dalam gugatan terhadap pemimpin Korea Utara Kim Jong Un atas pelanggaran hak asasi manusia. Mereka menderita di bawah program pemukiman kembali.

Kim tidak diharapkan untuk muncul atau memberikan kompensasi kepada mereka bahkan jika pengadilan memerintahkannya. Namun penggugat berharap kasus ini dapat menjadi preseden bagi pemerintah Jepang untuk bernegosiasi dengan Korea Utara di masa depan demi mencari tanggung jawab Korea Utara. Sebuah keputusan diharapkan terbit pada Maret.

sumber : AP
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler