WHO: Program Vaksinasi Booster Bisa Perpanjang Pandemi Covid

Program booster mengalihkan vaksin ke negara yang cakupannya sudah tinggi.

REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Vaksinator menyuntikkan vaksin Covid-19 ke siswa di SD BPI Bandung, Jalan Halimun, Kota Bandung, Rabu (22/12). WHO menilai program booster di sejumlah negara bakal memperdalam ketimpangan distribusi vaksin dan berisiko memperpanjang pandemi.
Rep: Kamran Dikarma/Kiki Sakinah/Shelby Asrianti/Lintar Satria Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus menyoroti keputusan berbagai negara di dunia memberikan vaksin Covid-19 dosis booster kepada warganya dalam merespons penyebaran Omicron. Menurutnya, hal itu bakal memperdalam ketimpangan distribusi vaksin dan berisiko memperpanjang pandemi.

Baca Juga


“Program booster cenderung memperpanjang pandemi Covid-19 daripada mengakhirinya. Dengan mengalihkan pasokan (vaksin) ke negara-negara yang sudah memiliki cakupan vaksinasi tingkat tinggi, memberi virus lebih banyak kesempatan untuk menyebar dan bermutasi,” kata Ghebreyesus kepada awak media, Rabu (22/12).

Kendati demikian, dia menyebut, vaksin yang ada terus memberikan perlindungan signifikan terhadap penyakit parah akibat infeksi Omicron. “Penting untuk diingat bahwa sebagian besar rawat inap dan kematian terjadi pada orang yang tak divaksinasi, bukan orang yang belum memperoleh booster,” ujarnya.

Ghebreyesus juga menekankan, semua pihak harus mengambil tindakan pencegahan apa pun yang diperlukan guna mencegah penyebaran Omicron saat memasuki masa liburan Natal dan tahun baru. “(Dosis) booster tidak dapat dilihat sebagai tiket untuk melanjutkan perayaan yang direncanakan,” ucapnya.

The WHO's Strategic Advisory Group of Experts (SAGE) tentang imunisasi mengungkapkan, setidaknya 126 negara di seluruh dunia sudah mengeluarkan rekomendasi tentang vaksinasi Covid-19 dosis booster. Sebanyak 120 di antaranya sudah menerapkan program tersebut. “Belum ada negara berpenghasilan rendah yang memperkenalkan program vaksinasi booster,” kata mereka.

Salah satu negara yang melakukan program booster adalah Arab Saudi. Masyarakat Arab Saudi dapat mengambil dosis ketiga atau booster vaksin Covid-19 tiga bulan setelah menerima dosis kedua vaksin Covid-19.

CEO Otoritas Kesehatan Masyarakat Arab Saudi (Weqaya), Dr Abdullah Al-Quwazani, mengkonfirmasi sebelumnya bahwa dosis booster vaksin Covid-19 memiliki kemampuan untuk melawan varian Omicron lebih dari 25 kali pada orang dibandingkan dengan mereka yang hanya mengambil dua dosis vaksin virus corona. Kemenkes Saudi mengatakan, setiap orang kini dapat memesan jadwal melalui aplikasi Tawakkalna dan Sehhaty untuk menerima dosis booster Covid-19. 

Selandia Baru juga segera melaksanakan prigram booster pada Februari 2022. Pemerintah Selandia Baru memperpendek jarak antara dosis vaksin kedua dan booster dari enam menjadi empat bulan. 

Inggris juga tengah gencar mendorong masyarakatnya untuk divaksinasi dosis ketiga. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengatakan setengah dari populasi orang dewasa di Inggris telah mendapatkan vaksinasi booster.

Rekor terjadi setelah percepatan program vaksin booster di tengah lonjakan kasus Covid-19. Pemerintah Inggris membuka pemesanan via daring serta sesi vaksinasi walk-in untuk semua orang dewasa.

Sebelumnya, WHO mengatakan virus korona varian Omicron lebih cepat menular dari varian Delta dan menginfeksi orang yang sudah divaksinasi atau baru pulih dari Covid-19. Kepala Ilmuwan WHO Soumya Swaminathan mengatakan 'tidak bijak' menyimpulkan dengan data awal gejala yang ditimbulkan Omicron lebih ringan dari varian sebelumnya.

"Dengan angka yang terus naik, sistem kesehatan akan terbebani," kata Soumya Swaminathan, Selasa (21/12).

Ia mengatakan Omicron berhasil menghindari beberapa respons imun. Artinya, program vaksin booster yang digelar banyak negara harus menargetkan pada masyarakat yang sistem imunnya rendah.

"Terdapat bukti yang kini konsisten, Omicron menyebar lebih cepat dibandingkan varian Delta," kata direktur jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam konferensi pers.

"Dan tampaknya orang yang sudah divaksin atau pulih dari Covid-19 dapat terinfeksi atau terinfeksi ulang," kata Tedros.

Pernyataan WHO ini senada dengan temuan Imperial Collage London yang pekan lalu mengatakan resiko terinfeksi ulang lima kali lipat lebih tinggi. Selain itu juga tidak ada tanda-tanda Omicron lebih ringan dari Delta.

Namun WHO mengatakan bentuk vaksinasi imunitas lainnya mungkin dapat mencegah infeksi. Pertahanan antibodi dari beberapa tindakan mungkin berkurang tapi masih ada harapan untuk mencegah gejala berat. Pilar kedua respons imun yakni T-sel menyerang sel manusia yang terinfeksi.

"Walaupun kami melihat netralisasi antibodi berkurang, hampir semua analisa awal menunjukkan T-sel tetap utuh, itulah yang benar-benar kami butuhkan," kata pakar WHO Abdi Mahamud.

Namun menunjukkan betapa masih sedikitnya yang diketahui cara untuk mengatasi varian baru yang terdeteksi bulan lalu itu, Swaminathan mengatakan 'tentu masih ada tantangan'. "Banyak monoklonal tidak akan bekerja dengan Omicron," katanya.

Ia merujuk tentang pengobatan yang meniru antibodi melawan infeksi dengan alami tapi ia tidak menjelaskannya detailnya lebih lanjut. Beberapa produsen obat menyinggung metode yang sama. 

sumber : AP/Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler