Perempuan Masih Jadi Korban Seksisme dan Kesehatan Mental Korban Terganggu
Seksisme terhadap perempuan masih terjadi dan membahayakan mental
“Perempuan itu harus memakai pakaian yang tertutup, karena katanya kalau memakai pakaian yang terbuka akan disebut perempuan nakal dan bisa diperkosa orang”.
Tidak jarang perempuan mendengar perkataan tersebut, yang tentunya menjadi ketidakadilan yang perempuan alami, ketimpangan, dan standar berlebihan yang diaplikasikan pada perempuan.
Perempuan sering kali menjadi korban dalam banyak kasus seksisme yang ditemukan dalam masyarakat. Hal ini tak lain karena perempuan dipandang sebagai seseorang yang lemah, butuh dilindungi, tidak punya ambisi, dan lain-lain. Sehingga yang dimaksud di sini adalah adanya penilaian negatif pada seseorang yang disebabkan seseorang tersebut adalah perempuan.
Kemudian, bagaimana keadaan psikologis korban? Namun, sebelumnya ketahui dulu, yuk! Apa sih maksud dari seksisme itu sendiri?
Pengertian Seksisme
Menurut Cambridge Dictionary, seksisme itu berhubungan dengan kepercayaan masyarakat bahwa ada kodrat bagaimana perempuan dan laki-laki seharusnya, yaitu perempuan dianggap kurang cerdas, mampu, terampil dan lain-lain, jika dibandingkan dengan laki-laki. Seksisme terkait dengan kekuasaan di mana mereka yang memiliki kekuasaan biasanya diperlakukan dengan baik dan mereka yang tidak memiliki kekuasaan biasanya didiskriminasi.
Umumnya seksisme terbagi menjadi 2 jenis, yaitu:
1. Hostile Sexism (Seksisme Bermusuhan)
Hostile sexism merupakan keyakinan dan perilaku yang secara terbuka memusuhi sekelompok orang berdasarkan jenis kelamin atau gender. Tujuan hostile sexism di sini untuk menjaga dominasi laki-laki dan diekspresikan dengan cara yang lebih ekstrem seperti pelecehan, harassment, dan kekerasan.
Pada studi di Indonesia pada 2019 menemukan adanya kaitan antara hostile sexism dengan kekerasan seksual. Orang-orang yang mendukung seksisme lebih cenderung menyalahkan korban dalam kasus pemerkosaan, bukan menyalahkan pelakunya.
2. Benevolent Sexism (Seksisme Baik Hati)
Adapun benevolent sexism ini lebih halus dan kesannya positif, tapi sebenarnya juga berbahaya. Dan jenis seksisme ini cenderung manipulatif karena seakan-akan laki-laki itu tugasnya memang untuk melindungi perempuan, datang dengan gentleman, tahu kewajibannya sebagai laki-laki, dan bermaksud baik untuk memproteksi perempuan, padahal tujuannya itu tetap untuk memposisikan laki-laki di atas perempuan, yang pada akhirnya menganggap satu jenis kelamin atau gender lebih lemah dari yang lain.
Misalnya, satu studi tahun 2020 menemukan bahwa pria yang mendukung seksisme baik hati cenderung mendukung kebijakan yang membatasi kebebasan wanita hamil. Jenis seksisme seperti ini cenderung merusak kepercayaan diri perempuan akan kemampuan diri mereka sendiri.
Keadaan Psikologis Korban Seksisme
Keadaan psikologis yang sudah tidak sehat memang tidak terlalu terlihat. Namun, ini mengakibatkan efek yang berjangka panjang, yaitu menurunnya kesejahteraan psikologis (psychological well-being) dan penyesuaian sosial yang buruk. Dalam jangka panjang emosi-emosi ini dapat berujung pada munculnya perasaan rendah diri bahwa dirinya tidak berharga dan kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial juga muncul pada para korban. Keadaan yang paling ekstrem dari korban seksisme ini adalah kemungkinan untuk timbulnya gangguan psikologis pada korban, seperti rasa cemas berlebihan, selalu merasa takut, depresi, ingin bunuh diri, dan gejala-gejala gangguan stres pasca trauma (post-traumatic stress disorder) dan merusak kepercayaan diri perempuan akan kemampuan diri mereka sendiri.
Lalu, bagaimana jika gangguan psikologis tersebut dibiarkan?
Jika dibiarkan, gangguan psikologis tersebut akan menyerang kesehatan fisik, seperti ketika merasa takut atau cemas, bisa memunculkan tanda-tanda seperti denyut jantung menjadi cepat, jantung berdebar-debar (palpitasi), mual atau ingin muntah, gemetaran (tremor), berkeringat, mulut kering, sakit dada, sakit kepala, sakit perut, napas menjadi cepat, nyeri otot, atau nyeri punggung. Ketika mengalami depresi, kesehatan fisik yang dirasakan yaitu tubuh akan melemah, rasa tidak enak pada perut, terjadi penurunan pada penglihatan, dan sebagainya. Dan apa yang dirasakan oleh seseorang yang memiliki gangguan psikologis tersebut bermacam-macam, bergantung pada gangguan psikologis apa yang mereka alami.
Maka disarankan kepada seseorang yang mengalami gangguan pada psikisnya diharapkan untuk konsultasi pada psikolog untuk ditindaklanjuti dan bukan mengunjungi dokter umum ataupun dokter spesialis. Karena pada dasarnya, yang sakit bukanlah fisik, melainkan mentalnya. Kesehatan mental bisa terganggu karena banyaknya pikiran yang tertampung di kepalanya, yang menyebabkan korban menjadi anxiety, depresi, stres, trauma, ingin bunuh diri, dan gangguan lainnya.
Contoh Seksisme yang Dialami Perempuan Dalam Kehidupan Sehari-Hari
- Perempuan dianggap makhluk lemah dan selalu dinasihati untuk menjaga diri agar tidak menjadi korban pelecehan. Sementara itu, sedikit sekali laki-laki yang dinasihati untuk menjaga hasrat ataupun hawa nafsunya.
- Victim blaming pada kasus pelecehan seksual.
- Perempuan berkarir di-judge karena dianggap tidak bertanggung jawab dalam berumah tangga.
- Perempuan yang memutuskan menjadi ibu rumah tangga cenderung disepelekan karena tidak menghasilkan uang.
- Perempuan yang memakai baju kelonggaran dianggap tidak desireable, kalau pakai baju yang terbuka dianggap perempuan nakal.
- “Kapan mau nikah? Nanti keburu tua lho!”.
- Ditanya kapan punya anak karena katanya seseorang belum 100% menjadi perempuan jika tidak tahu rasanya melahirkan.
- Perempuan dituntut untuk bisa masak dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, yang sebenarnya laki-laki pun juga bisa melakukan hal tersebut.
- Disuruh untuk tidak terlalu pintar dan sukses karena katanya nanti susah dapat jodoh, padahal yang kita ketahui jodoh pun sudah ada yang mengatur.
- Perempuan yang tidak memakai make-up dianggap tidak bisa mengurus diri, jika pakai dianggap ingin menggoda laki-laki.
- Perempuan dibilang sekuler, liberal, dan tidak paham ajaran agama jika menuntut equality.
- Sering kali digaji lebih rendah daripada laki-laki.
- Dianggap ribet, rempong, terlalu banyak komplain, dan tentunya disuruh santai kalau perempuan bicara soal seksisme, karena mereka bilang “Apa lagi sih yang mau diprotesin? Zaman sekarang perempuan udah setara kok!”.
Kalau kita menyepelekan seksisme, secara tidak sadar kita akan menerima atau mendukung gagasan seksisme itu sendiri, di mana akan tetap terjadi pelecehan seksual atau korban seksisme lainnya yang tentunya seksisme dapat memengaruhi setiap aspek kehidupan seseorang, termasuk hubungan mereka dengan orang lain, kesehatan mental dan fisik, harapan hidup, serta pendapatan.
Yuk teman-teman, kita sama-sama belajar untuk peduli terhadap kesehatan mental! Jadikanlah kesehatan mental mu menjadi prioritas, dan habiskan waktu mu dengan orang-orang yang baik demi kesehatan mental mu, tapi jangan sampai hanya karena kamu ingin menyenangkan seseorang, kamu menjadi stress, depresi, dan anxiety. Terakhir, jangan malu dengan cerita mu, karena itu akan menginspirasi orang lain.
Referensi
Awan. Sodik. M. A. 2018. Diskriminasi dan Kesehatan Mental. PDF osf.io. Diakses pada https://osf.io/6jmpx/download
Devi. G. S. 2020, 26 Desember. Setara? Perempuan masih menjadi korban seksisme. Youtube. Diakses pada https://youtu.be/BSr2DECCYxs