Ibnu Sina, Ilmuwan Muslim dengan Kecerdasan Melimpah
Ia adalah Ibnu Sina atau Avicenna, dikenal sebagai Bapak Pengobatan Modern
Islam, agama mayoritas yang paling banyak dipeluk di Indonesia memiliki seorang ilmuwan terkenal yang pandai dalam segala bidang hingga saat ini. Ia adalah Ibnu Sina atau yang memiliki nama lain Avicenna. Dikenal sebagai Bapak Pengobatan Modern, Ibnu Sina memang telah berkecimpung di dunia kedokteran semenjak usia 17 tahun dan mendapatkan predikat fisikawan di usia 18 tahun.
Tak hanya dikenal sebagai seorang ilmuwan dan mahir di bidang kedokteran saja yang ia pahami, Ibnu Sina juga mahir dibidang filsuf, matematika, logika, fisika, geometri, astronomi, dan penulis. Karyanya lebih banyak membahas tentang filsafat dan pengobatan tentunya. Salah satu karya tulisnya yang terkenal bertajuk Qanun fi Thib atau The Canon of Medicine.
Qanun fi Thib sendiri merupakan ensiklopedia yang berisikan tentang jutaan item pengobatan beserta dengan obat-obatannya. Bahkan, ia pun menjadi sosok yang memperkenalkan pertama kali teknik penyembuhan secara sistematis dan menjadi rujukan selama tujuh abad.
Salah satu karya tulisnya yang memberikan sumbangsih begitu besar selain Qanun fi Thib adalah Asy-Syifa. Berisikan tentang cara pengobatan serta obatnya, kitab ini menjadi ensiklopedia dalam bidang kedokteran secara mendunia.
Sebagai dokter di abad ke-10, Ibnu Sina memang telah dikaruniai kepandaian dan kecerdasan sejak belia. Lahir di Afsyanah sebuah kota kecil di wilayah Uzbekistan pada tahun 370 H/980 M, Ibnu Sina tak melupakan agamanya. Pada usia 5 tahun, ia telah mulai belajar untuk menghafal Al Quran sembari mempelajari ilmu agama.
Menginjak usia 16 tahun, ia pun mulai mempelajari ilmu kedokteran yang membuatnya sampai kini terkenal dengan berbagai pengobatan. Dari ketekunannya dalam belajar ilmu kedokteran ini, Ibnu Sina memulai pengabdiannya dengan melayani orang-orang yang sakit dengan perhitungannya sendiri.
Lewat pelayanannya ini, nama Ibnu Sina mulai populer di usia 17 tahun ketika ia berhasil mengobati Nuh bin Mansur seroang raja dari Dinasti Samaniah. Penyakit yang diderita sang raja sendiri telah dicoba untuk disembuhkan oleh para tabib dan ahli yang ada pada masa tersebut, tetapi tak ada yang mampu.
Hingga akhirnya, lewat tangan Ibnu Sina lah penyakit yang dideritanya sembuh. Ia yang berhasil menyembuhkan penyakit dengan metodenya sendiri ini pun akhirnya mendapatkan penghargaan dari sang raja. Penghargaan yang diberikannya adalah ia diperkenankan untuk menetap di istana, tak hanya sementara tapi sampai penyakitnya sembuh total.
Namun, dengan kerendahan hati yang ia miliki, Ibnu Sina menolak hadiah dari sang raja dengan cara yang halus. Sebagai gantinya, ia hanya ingin diperbolehkan untuk mengunjungi sebuah perpustakaan kerajaan kuno dan antik yang menarik perhatiannya untuk menambah ilmu yang dimilikinya.
Terlepas dari kecerdasannya dibidang akademik, Ibnu Sina tak melupakan ajaran agamanya. Ia pun semakin mendalami masalah fikih dan menafsirkan ayat-ayat Al Quran untuk sebagai landasan dari ilmu filsafat yang ia miliki. Karena tak sedikit orang yang beranggapan bahwa mereka yang belajar ilmu filsafat tak memeluk agama atau disebut atheis.
Hal ini pun terjadi pada Ibnu Sina yang mendapatkan stigma bahwa ia merupakan seorang atheis. Namun, meski banyak yang menganggapnya atheis, tak membuat semangatnya untuk mempelajari ilmu filsafat padam. Justru ia semakin mendalami ilmu filsafat sembari mendalami ayat-ayat Al Quran sebagai penguatnya.
Setelah kematian sang ayah di usianya yang ke-22 tahun, Ibnu Sina mulai berkelana dengan menyebarkan berbagai ilmu yang telah dimilikinya. Selain itu, ia pun mencoba untuk mencari ilmu baru yang dapat ia terapkan kelak di kehidupannya. Pertama kali menginjakkan kaki di Jurjan, kota kecil di Timur Tengah mengantarkan Ibnu Sina bertemu ulama besar sekaligus sastrawan Abu Raihan Al Biruni dan berguru padanya.
Melalui perjalanannya diberbagai kota pun tak menghentikan langkahnya untuk terus melahirkan banyak karya tulis terutama dalam ilmu kedokteran. Julukan Bapak Kedokteran Dunia pun ia dapatkan setelah perkembangan dunia kedokteran semakin maju dengan pesat karena sumbangsihnya dari karya-karya ilmu kedokteran.
Menghembuskan napas terakhirnya pada tahun 428 H/1037 M di kota Hamdan, Iran, sosok ilmuwan yang satu ini pun menjadi orang pertama yang menggambarkan anatomi tubuh manusia dengan lengkap. Ia pula yang menjadi pertama kali mengutarakan bahwa setiap tubuh manusia saling berhubungan dan kesehatan jiwa serta fisik saling berkaitan.