Biden akan Tindak Tegas Jika Rusia Invasi Ukraina

Biden berjanji akan memberikan sanksi yang dapat melumpuhkan ekonomi Rusia.

AP/Denis Balibouse/Pool Reuters
Presiden AS Joe Biden, kanan dan Presiden Rusia Vladimir Putin/
Rep: Rizky Jaramaya/Kamran Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden berkomitmen bahwa AS akan bertindak tegas jika Rusia melakukan invasi terhadap Ukraina. Hal ini disampaikan Biden ketika melakukan panggilan telepon dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy pada Ahad (2/1).

“Presiden Biden menjelaskan bahwa Amerika Serikat dan sekutu serta mitranya akan merespons dengan tegas jika Rusia menginvasi Ukraina lebih lanjut,” ujar juru bicara Gedung Putih Jen Psaki.

Psaki menambahkan, Biden menggarisbawahi komitmennya pada prinsip bahwa dia tidak akan menegosiasikan kebijakan yang berdampak pada Eropa tanpa masukan sekutunya. Sebelumnya, Biden juga berjanji AS akan menjatuhkan sanksi yang dapat meruntuhkan  ekonomi Rusia jika mereka bergerak di wilayah Ukraina.

Kremlin menuntut agar ekspansi NATO tidak melibatkan Ukraina dan negara-negara bekas Soviet lainnya. Rusia juga menuntut aliansi militer menghapus persenjataan ofensif dari negara-negara di kawasan itu.

Gedung Putih menolak tuntutan Rusia terhadap NATO.  Prinsip utama aliansi NATO adalah keanggotaan terbuka untuk negara mana pun yang memenuhi syarat, dan tidak ada pihak luar yang memiliki hak veto keanggotaan.

Baca Juga


Ada spekulasi bahwa Ukraina akan bergabung ke dalam aliansi NATO dalam waktu dekat. Jika Ukraina bergabung ke NATO, maka ini bisa menjadi pukulan buat Rusia.

Zelenskyy mengatakan, dia dan Biden membahas tentang upaya menjaga perdamaian di Eropa. Termasuk mencegah eskalasi lebih lanjut, reformasi, dan deoligarkisasi.
“Kami menghargai dukungan yang tak tergoyahkan,” kata Zelenskyy.

Pertemuan Rusia AS

Amerika Serikat telah membuat sedikit kemajuan dalam upaya membujuk Presiden Rusia Vladimir Putin untuk meredakan ketegangan.  Pejabat senior AS dan Rusia dijadwalkan bertemu pada 9-10 Januari di Jenewa untuk membahas situasi tersebut.  Pembicaraan itu akan diikuti dengan pertemuan di Dewan NATO-Rusia, dan  Organisasi untuk Keamanan dan Kerja sama di Eropa.

Biden berbicara dengan Putin selama hampir satu jam pada Kamis (30/12).  Biden memperingatkan Putin bahwa, AS akan menjatuhkan sanksi yang menjerat ekonomi Rusia jika melakukan invasi terhadap Ukraina.  “Saya tidak akan bernegosiasi di sini di depan umum, tetapi saya tekankan bahwa mereka tidak boleh bergerak ke Ukraina,” kata Biden.

Temuan intelijen AS menunjukkan, Rusia telah membuat persiapan untuk kemungkinan invasi pada awal 2022. Namun pejabat Gedung Putih mengaku masih belum tahu apakah Putin telah membuat keputusan untuk melanjutkan aksi militer. “Saya selalu berharap jika Anda bernegosiasi, Anda membuat kemajuan, tetapi kita lihat saja nanti,” ujar Biden.

Ketua Komite Intelijen parlemen AS, Adam Schiff khawatir bahwa Putin berniat untuk menyerang Ukraina. Menurutnya, sanksi berat yang menjatuhkan ekonomi Rusia adalah tindakan yang tepat jika mereka menyerang Ukraina.

“Rusia perlu memahami bahwa kita bersatu dalam hal ini. Saya juga berpikir bahwa pencegah yang kuat adalah pemahaman bahwa, jika mereka menyerang, itu akan membawa (NATO) lebih dekat ke Rusia, bukan mendorongnya lebih jauh," kata Schiff.

Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Andrey Rudenko mengatakan, Pemerintah Rusia mengatakan siap bekerja sama dengan Amerika Serikat (AS) untuk menyelesaikan isu terkait Ukraina. Kendati demikian, Moskow menekankan, tak ada alternatif untuk masalah tersebut selain Perjanjian Minsk.

"Di pihak kami, kami siap bekerja sama dalam format apa pun berdasarkan prinsip bahwa tidak ada alternatif selain Perjanjian Minsk, yang didukung Washington," kata Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Andrey Rudenko saat diwawancara kantor berita Rusia, TASS, Ahad (2/1).

Dia mengisyaratkan adanya kesepahaman antara Moskow dan Washington bahwa konflik di Ukraina timur tak dapat diselesaikan tanpa memberikan status khusus kepada Donbass. Hal itu, kata Rudenko, turut disampaikan Presiden AS Joe Biden saat melakukan pertemuan bilateral virtual dengan Presiden Rusia Vladimir Putin bulan lalu. "Wakil Menteri Luar Negeri AS untuk Urusan Politik Victoria Nuland juga mengonfirmasinya selama kunjungannya ke Moskow pada Oktober," ungkap Rudenko.


Pada 2014, pasukan mencaplok wilayah Krimea dari Ukraina. Pencaplokan ini merupakan salah satu momen kelam bagi mantan Presiden Barack Obama di panggung internasional.

Hubungan AS-Rusia memburuk menjelang akhir pemerintahan mantan Presiden George W. Bush. Goyahnya hubungan kedua negara terjadi setelah invasi Rusia pada 2008 terhadap negara tetangganya Georgia, setelah Presiden Georgia Mikheil Saakashvili memerintahkan pasukannya ke wilayah Ossetia Selatan yang memisahkan diri.



sumber : AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler