Saat Tentara Salib Hancurkan Masjid Hingga Gereja di Alexandria Mesir
Tentara Salib menghancurkan kemajuan Kota Alexandria Mesir
REPUBLIKA.CO.ID, Alexandria Mesir, merupakan salah satu kota yang pernah menjadi mercusuar peradaban dunia. Namun, Perang Salib telah mengubur kegemilangan kota yang terletak di tepi pantai itu.
Perang Salib berlangsung antara 1096 dan 1291 M. Dalam periode tersebut, ada delapan pertempuran yang memperhadapkan tidak hanya Kristen dan Muslim, tetapi juga antara sekte-sekte tertentu di internal umat Nasrani. Menjelang akhir abad ke-13, Kesultanan Mamluk berhasil menguasai basis terakhir pasukan Salib di Akre, kini sebuah kota di Palestina Utara.
Namun, sisa-sisa kekuatan mereka terus bertahan di sejumlah wilayah. Paul Crawford dalam the Crusades An Encyclopedia menjelaskan, Peter I dari Siprus bersama dengan kanselir Philippe de Mezieres, dan utusan kepausan Peter Thomas, berupaya menghidupkan lagi pasukan Salib pada pertengahan abad ke-14.
Kalangan sejarawan belum satu suara dalam menentukan, apakah semata-mata faktor agama, hasrat merebut Yerusalem dari tangan Muslimin, ataukah raja Siprus itu memiliki alasan-alasan lain yang lebih sosial-politis di balik rencananya.
Pada 1365, Peter I berhasil mengumpulkan pasukan Kristen dari Siprus, Prancis, dan Inggris. Jumlahnya mencapai 10 ribu orang, yang dilengkapi dengan 165 unit kapal dan 1.400 ekor kuda. Mereka semua berkumpul di Pulau Rhodes (Yunani). Sasaran awalnya adalah Alexandria , kota pelabuhan terpenting di Mesir.Untuk kemudian, rencananya pasukan Salib terbarukan ini hendak memasuki Yerusalem dari arah selatan.
Gerombolan ini tiba di Alexandria pada 9 Oktober 1365. Langsung saja mereka menyerbu rumah-rumah penduduk setempat dan pelbagai fasilitas publik yang ada. Keadaan kota tersebut sesungguhnya dalam masa damai. Oleh karena itu, sejumlah benteng kota tidak cukup siap dalam menghadapi serangan yang amat mendadak. Hanya dalam beberapa jam, Peter I dan pasukannya dapat menduduki seluruh Alexandria .
Ratusan orang tewas.Tidak kurang dari lima ribu orang dijadikan budak. Pasukan Salib membakar hampir seluruh masjid, gereja, kuil, dan perpustakaan kota. Seluruh harta benda yang dirampoknya sangat banyak. Lebih dari 70 unit kapal bermuatan sesak de ngan barang-barang berharga yang mereka rampas dari penduduk setempat.
Adapun kapal-kapal sisanya digunakan untuk mengangkut para tawanan. Kerajaan Mamluk tidak tinggal diam begitu menerima kabar nahas ter sebut. Sultan al-Ashraf Shaban segera menggerakkan pasukannya ke Alexandria. Menyadari hal itu, para pimpinan pasukan Salib bersilang pendapat.
Philippe de Mezieres ingin agar Alexandria dipertahankan dari serangan balasan balatentara Muslim. Namun, mayoritas pasukan Salib ingin lekas pergi dari kota itu. Peter I pun memerintahkan seluruh jajarannya agar meninggalkan Alexandria pada 12 Oktober 1365. Bubar sudah rencana mereka untuk melanjutkan konvoi ke Yerusalem.
Walaupun berlangsung hanya beberapa hari, penaklukkan atas Alexandria itu menandakan awal redupnya kota tersebut. Ensiklopedia Historic Cities of the Islamic World menjelaskan, sultan-sultan Mamluk amat jarang mengunjungi wilayah di pesisir utara Mesir itu.
Alexandria justru dicitrakan sebagai daerah pembuangan bagi para tahanan politik. Pada 1447, Sultan Qaitbay menambah luas benteng-benteng pertahanan kota serta melengkapinya dengan senjata meriam. Seorang pengelana Eropa menulis kesannya terhadap Alexandria pada 1507, “Tidak ada (pemandangan berkesan) yang didapati kecuali tumpukan batu . . . dan jarang sekali jalan-jalan yang besar.”
Sejak 1453, ibu kota Byzantium jatuh ke tangan Kesultanan Utsmaniyah. Namanya berubah dari Konstantinopel menjadi Istanbul. Mulai saat itu, kerajaan-kerajaan Kristen di Eropa mengalami kesulitan dalam memeroleh komoditas-komoditas impor dari Asia.
Sebab, banyak kota pelabuhan yang strategis di pesisir Asia Barat dan Af rika Utara telah menjadi wilayah Utsmaniyah. Hal itu mendorong para pedagang Eropa Kristen untuk menemukan rute maritim baru yang dapat membawa mereka sampai ke India dan Ma luku, produsen utama rempah-rempah.
Pada 1519, Utsmaniyah meleb rkan kekuasaannya hingga Alexandria . Bandar kota tersebut sejak berabad-abad silam berfungsi sebagai pemasok rempah-rempah untuk pasar Eropa di Laut Tengah. Dengan jatuhnya Alexandria, orang-orang EropaKristen makin terkendala dalam memenuhi impor dari Asia.
Padahal, kebutuhannya terhadap rem pah-rempah meningkat pesat, terutama sejak akhir Perang Salib. Pertempuran dua abad lamanya itu tidak melulu konflik, tetapi juga perjumpaan budaya antara Barat dan Timur.
Alhasil, masyarakat Eropa mulai mengenal sajian yang lebih beragam dengan racikan bumbu-bumbu penyedap khas Asia.
Beberapa penjelajah Eropa mulai merintis jalur laut yang menuju India dan Nusantara pada abad ke-15. Itu lah awal dari Zaman Penjelajahan, yang akhirnya memunculkan kolonia lisme modern seiring dengan revolusi industri pada akhir abad ke-18. Sementara itu, Alexandria tidak begitu ramai bila dibandingkan masa-masa sebelumnya.
Inggris dan Prancis saling berebut pengaruh di Asia Barat sembari berkonflik dengan Turki Utsma niyah. Pada abad ke-16, pemerintah Utsmaniyah mengharuskan pajak dari Alexandria untuk dikirim langsung ke Istanbul, alih-alih diendapkan di Mesir. Saat itu, pelabuhan Iskandar kota tersebut lebih berfungsi sebagai tempat kapal-kapal militer kesultanan bersandar selama musim dingin.
Hingga akhir abad ke-18, keadaan yang ada jauh dari kesan maju dan ber dinamika. Populasi kota ini menurun hingga kira-kira 8.000 jiwa.