Protes untuk Kunjungan Pemimpin Otoriter Kamboja ke Myanmar

Hun Sen dikenal sebagai seorang pemimpin otoriter yang berkuasa di Kamboja 36 tahun

EPA-EFE/AN KHOUN SAMAUN
Perdana Menteri Kamboja Hun Sen
Rep: Fergi Nadira Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYIDAW -- Perdana Menteri Kamboja Hun Sen pada Jumat (7/1/2022) menjadi pemimpin asing pertama yang berkunjung ke Myanmar menyusul kudeta militer pada Februari 2021. Kedatangan Hun Sen menuai protes dan dinilai berbahaya.

Baca Juga


Siaran langsung pada laman Facebook resmi Hun Sen menunjukkan perdana menteri disambut oleh pejabat senior Myanmar di ibu kota Naypityaw pada Jumat pagi. Media pemerintah Myanmar juga menyiarkan kedatangannya.

Meski banyak didesak untuk tidak mengunjungi Myanmar, Hun Sen bersikukuh sebagai ketua bergilir ASEAN tahun ini untuk datang dalam niat membantu meredakan ketegangan. Hun Sen sendiri dikenal sebagai seorang pemimpin otoriter yang telah memegang kekuasaan selama 36 tahun dan menjaga ketat aktivitas politik di Kamboja. Hun Sen melakukan perjalanan dengan wakil perdana menteri Kamboja Prak Sokhonn, dan menteri luar negeri, dan mengadakan pembicaraan dengan kepala junta Min Aung Hlaing.

Pada Rabu (5/1/2022), Hun Sen menyerukan gencatan senjata dan mendesak semua pihak terkait harus menghentikan kekerasan di Myanmar. Dia pun mengatakan, tidak menetapkan prasyarat apapun sebelum kunjungannya.

"Yang ingin saya sampaikan dalam pembicaraan itu tidak lain adalah lima poin, poin konsensus yang disepakati oleh semua negara anggota ASEAN," katanya pada Rabu malam.

Protes Kedatangan Hun Sen

Kunjungan Hun Sen di wilayah Saigang barat laut itu menuai protes. Amnesty International pun mengutuk perjalanan itu dengan mengatakan perjalanan Hun Sen mungkin lebih berbahaya ketimbang mendatangkan kebaikan.

"Jika Hun Sen benar-benar ingin membantu, dia harus membatalkan perjalanan ini dan memimpin ASEAN ke tindakan tegas untuk mengatasi situasi hak asasi manusia yang mengerikan di negara itu daripada menuruti isyarat kosong," kata Emerlynne Gil dari Amnesty dalam sebuah pernyataan seperti dilansir laman Al Arabiya, Jumat.

Pemerintah Persatuan Nasional, sebuah kelompok oposisi bawah tanah Myanmar dan pemerintahan paralel, juga mendesak Hun Sen untuk menjauh. "Bertemu Min Aung Hlaing, berjabat tangan berlumuran darah. Itu tidak akan diterima," kata Dr. Sasa, juru bicara kelompok yang menggunakan satu nama itu.

Presiden Indonesia Joko Widodo mengatakan, pemimpin Myanmar akan terus tidak diikutsertakan dari pertemuan ASEAN kecuali ada kemajuan. "Jika tidak ada kemajuan signifikan dalam implementasi konsensus lima poin, Myanmar hanya boleh diwakili di tingkat non-politik di pertemuan ASEAN," cicit Jokowi di Twitter setelah berbicara dengan Hun Sen.

Junta membela tindakan kudeta dengan menuduh kecurangan pemilu pada pemilu 2020. Sementara, Aung San Suu Kyi menghadapi serangkaian dakwaan yang bisa membuatnya dipenjara selama beberapa dekade.

Baca: Lebih dari 4.000 Anak Dirawat di Rumah Sakit AS karena Terpapar Covid-19

Kekuatan internasional semakin besar membuat tekanan diplomatik pada militer Myanmar, yang secara resmi disebut Dewan Administrasi Negara. ASEAN telah berusaha untuk melepaskan reputasinya sebagai pihak omong kosong dan mengambil tindakan terhadap Myanmar. Tahun lalu ASEAN menyetujui konsensus lima poin untuk krisis politik di Myanmar.

Baca: Efek Tsunami Covid-19 Varian Omicron Menyapu Eropa

Tak Diizinkan Bertemu Suu Kyi

 

Militer Myanmar mengatakan Hun Sen juga tidak akan diizinkan untuk bertemu dengan Aung San Suu Kyi. Sebelumnya, Suu Kyi divonis atas tuduhan penghasutan dan melanggar pembatasan virus corona hingga ia dijatuhi hukuman empat tahun penjara. Namun, hukumannya dipotong oleh Min Aung Hlaing menjadi dua tahun.

Kudeta militer mencegah partai Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Suu Kyi memulai masa jabatan kedua. Padahal partai Suu Kyi memenangkan kemenangan telak dalam pemilihan nasional November 2020. Pemantau pemilihan independen tidak menemukan penyimpangan besar.

Langkah kudeta Min Aung Hlaing dinilai mematahkan 10 tahun kemajuan menuju demokrasi negara tersebut. Tatmadaw atau militer Myanmar melonggarkan cengkeramannya pada kekuasaan setelah beberapa dekade pemerintahan militer yang represif.

Militer Myanmar memiliki sejarah pertumpahan darah termasuk kampanye brutal terhadap minoritas Muslim Rohingya. Perebutan kekuasaannya memprovokasi demonstrasi damai nasional, tapi dibalas berdarah oleh kekuatan mematikan junta.

Militer baru-baru ini terlibat dalam penindasan kekerasan terhadap semua perbedaan pendapat, penghilangan, penyiksaan, dan pembunuhan di luar proses hukum. Mereka juga melancarkan serangan udara dan serangan darat terhadap kelompok pemberontak etnis bersenjata.

Baca: Sebut Rusia Agresor, Inggris Siapkan Sanksi Jika Serang Ukraina

Menurut penghitungan rinci oleh Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, pasukan keamanan telah membunuh sekitar 1.443 warga sipil. Tindakan keras menjadi lebih parah hingga perlawanan bersenjata telah tumbuh di dalam negeri.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler