Melacak Kedatangan Islam di Indochina
Islam menjadi salah satu agama yang memiliki pijakan kuat di Champa.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam
Sudah lazim diketahui Islam mempunyai akar yang kuat di Asia Tenggara. Tapi, Asia Tenggara yang dimaksud di sini jelas bukan Asia Tenggara secara keseluruhan, melainkan mengacu pada Asia Tenggara kepulauan dan bukan Asia Tenggara daratan.
Artinya, di tempat-tempat seperti Kepulauan Nusantara (termasuk Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam) dan Filipina bagian selatan. Eksistensi Islam di daratan Asia Tenggara (kecuali Semenanjung Malaya dan Thailand selatan), dengan demikian masih kurang dikenal.
Apalagi di kawasan yang dikenal sebagai Indocina. Tidak banyak kita dengar tentang sejarah bagaimana kedatangan Islam ke sana.
Indocina secara geografis mencakup wilayah yang di masa modern ini merupakan Vietnam, Laos, dan Kamboja. Agama yang dianut mayoritas penduduk Indocina adalah Buddha, dibawa oleh para penyebar agama dari India.
Dari istilah ‘Indocina’ sendiri sebenarnya kita bisa menangkap bahwa wilayah ini sangat kuat dipengaruhi oleh dua kultur besar yang ada di sekitarnya, yakni India dan Cina. Pengaruh kultur lain, misalnya Arab dan Persia sangat minim walau bukan berarti tidak ada.
Di masa kolonial, nama Indocina tetap dipakai, hanya saja ditambahi dengan nama penjajahnya, Prancis. Nama lengkapnya adalah French Indochina atau Indocina Prancis.
Walau Buddha adalah agama dengan pemeluk terbesar di kawasan Indocina, agama Islam juga memiliki sejarah di bagian dunia yang satu ini. Kehadiran Islam di Vietnam diperkirakan sudah ada sejak abad kedelapan Masehi.
Bahkan ada sarjana yang menyebut bahwa kontak pertama sudah terjadi seabad sebelumnya. Disebutkan bahwa Islam datang ke Champa sejak pertengahan abad ketujuh, ketika kekuasaan politik Islam berada di bawah Khalifah Usman bin Affan.
Di masa selanjutnya, Islam kembali hadir, namun dengan cara berbeda. Saat itu terjadi pelarian politik akibat konflik di Tanah Arab dan para pengikut Ali yang melarikan diri mencari perlindungan ke Champa setelah mereka menyeberangi lautan ke arah timur.
Sementara itu, mengingat Cina adalah salah satu pusat perdagangan di kawasan, sejumlah pedagang Muslim yang hendak menuju ke Cina singgah di Champa dan menyebarkan agama Islam di sana. Di bekas ibu kota Champa, Tra Kieu (Sinhapura), para arkeolog menemukan keramik dengan dua karakteristik, pertama berciri Cina sementara yang lainnya berciri Islam. Dari sini disimpulkanlah bahwa sejak abad kesembilan sudah ada hubungan antara negeri-negeri Islam dengan Champa.
Champa di Vietnam bagian selatan memang tempat di mana eksistensi Islam terasa dengan jelas. Di abad kesepuluh dan kesebelas, menurut salah satu sumber dari Cina, bahkan sudah ada orang Cham Muslim yang menjadi utusan ke Cina. Nama para utusan ini diawal dengan Pu, yang oleh sementara kalangan ditafsirkan sebagai variasi lokal dari Abu, nama yang lazim di antara masyarakat Muslim.
Islamisasi terjadi dengan perlahan-lahan di Champa. Kelompok yang pertama-tama masuk islam ialah para pedagang serta sejumlah orang istana.
Kedua kelompok ini merupakan yang paling intensif hubungannya dengan orang-orang asing, termasuk Muslim dari luar Champa, dari siapa mereka tampaknya belajar agama Islam. Etnis dominan di Champa, etnis Cham, adalah kelompok masyarakat yang mula-mula masuk Islam. Sebagian keturunan mereka hingga kini juga masih memeluk agama Islam.
Setelah melalui proses Islamisasi selama beberapa abad, Islam menjadi salah satu agama yang memiliki pijakan kuat di Champa. Satu catatan sejarah dari petualang Arab Al-Dimaskhi menyebut bahwa Islam, Kristen dan ‘para penyembah berhala’ adalah tiga agama yang dianut masyarakat Champa pada pertengahan abad keempat belas.
Bukti-bukti sejarah yang lebih kuat memperlihatkan bahwa ketertarikan lebih besar masyarakat Cham kepada Islam terjadi antara akhir abad kelimabelas hingga abad ketujuh belas. Mengapa demikian?
Salah satu faktor utamanya ialah kian meningkatnya peran para pedagang Muslim asing di kawasan Asia Tenggara. Para pedagang Muslim ini adalah perantara penting dalam jual-beli komoditas antara Eropa dan Asia Tenggara.
Perdagangan internasional ini membuat mereka menjadi makmur. Dalam contoh tentang Islamisasi di bagian lain Asia Tenggara, perilaku pedagang Muslim asing yang senang bekerja keras, lihai berdagang, menjauhi diri dari kesenangan berlebihan namun sangat dermawan ketika bersedekah dianggap oleh para sejarawan sebagai alasan mengapa para penduduk lokal tertarik dengan para pedagang Muslim ini. Ini mungkin juga terjadi di Champa.
Di masa kolonialisme bangsa-bangsa Eropa, Asia Tenggara, kecuali Thailand, dikuasai oleh orang Eropa. Muslim Cham berada di bawah kendali penjajah Perancis yang menguasai Indocina. Sama seperti ilmuwan Belanda mencoba untuk memahami ajaran dan praktik Islam di Hindia Belanda, ilmuwan Perancis juga berusaha mengetahui seperti apa Islam di antara masyarakat Cham.
Walau minoritas, namun ada juga Muslim Champ yang berkesempatan naik haji pada masa itu. Sebagaimana diceritakan oleh Eric Tagliacozzo dalam The Longest Journey: Southeast Asians and The Pilgrimage to Mecca, meski tidak banyak, ada kaum Muslim Cham yang naik haji, baik dengan menggunakan jalur yang disediakan pemerintah kolonial Prancis maupun melalui daerah-daerah berpenduduk mayoritas Muslim di bagian Asia Tenggara lainnya. Via kontak dengan Muslim lain di Asia Tenggara dan ibadah haji di Mekkah inilah kaum Muslim Cham terhubung dan saling berinteraksi dengan kaum Muslim di berbagai wilayah dunia.
Walaupun Kerajaan Champa nyaris hilang tak berbekas, namun sisa-sisa keturunan Muslim Champa masih bisa ditemui hingga kini. Menurut antropolog Rie Nakamura dalam tulisannya, The Coming of Islam to Champa, dewasa ini ada tiga kelompok besar dalam etnis Cham.
Pertama, Balamon yang masih menjalankan ajaran Hindu lokal. Kedua, Bani yang mengikuti ajaran Islam lokal.
Ketiga, sekelompok pengikut Islam Sunni. Masyarakat Muslim Cham Bani masih bisa ditemui di beberapa provinsi di Vietnam. Sementara itu, masyarakat Cham yang menganut Islam Sunni berjumlah sekitar 20.000 orang (per tahun 2000), dan tinggal di sekitar Delta Mekong.
Sumber: Majalah SM Edisi 17 Tahun 2019