Peternak Berharap Impor Daging Kerbau Beku tak Lagi Banjiri Pasar

Peternak memohon agar hanya daerah defisit yang disuplai daging kerbau impor

Rony Munarman/Antara
Petugas menyusun daging kerbau beku impor dari India ke dalam alat pendingin, (ilustrasi). Peternak berharap pemerintah tak lagi membanjiri pasar dengan daging kerbau beku impor dari India. (Ilustrasi).
Rep: Dedy Darmawan Nasution Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) mengaku khawatir impor daging kerbau beku India akan membanjiri pasar dalam negeri tahun ini. Pasalnya, itu bakal merugikan peternak lokal di tengah optimisme untuk memulihkan usaha sapi potong pada 2022.

Tercatat, realisasi impor daging kerbau beku pada 2016 sebesar 39,5 ribu ton dan meningkat menjadi 45,1 ribu ton di tahun 2017. Memasuki 2018 realiasi impor naik signifikan menjadi 79,6 ribu dan bertambah pada 2019 menjadi 93,9 ribu ton. Adapun untuk 2022, pemerintah belum menyampaikan kuota penetapan impor daging kerbau.

"Kami khawatir disaat peternakan mulai bangkit, dihantam banjirnya daging kerbau beku. Ini benar-benar harus diantisipasi dan diawasi dari awal," kata Ketua Umum PPSKI, Nanang Subendro, dalam webinar yang digelar Pataka, Kamis (13/1/2022).

Nanang menuturkan, antisipasi itu dapat dilakukan dengan melakukan pemetaan secara tepat dalam pemasukan impor daging kerbau India. PPSKI memohon pemerintah agar hanya daerah yang mengalami defisit yang disuplai dengan impor kerbau beku tersebut.

Ia mencontohkan seperti tahun 2016 lalu yang menjadi tahun pertama importasi dibuka. Saat itu impor dilakukan melalui Perum Bulog dan distribusinya dikhususkan hanya untuk wilayah Jabodetabek.

Namun, dalam prosesnya, terdapat kebocoran distribusi ke wilayah lain dan disinyalir masuk ke daerah sentra produksi daging sapi lokal. "Kalau ini terjadi ke daerah produsen yang menjadi tumpuan harapan peternak, ini akan menghancurkan animo peternak untuk menjalankan usahanya," kata Nanang.

Dirinya juga menyinggung situasi neraca daging nasional yang masih tetap defisit. Ia mengakui terdapat peningkatan populasi sapi dalam negeri. Tercatat, tahun 2021 populasi mencapai 18 juta ekor naik dari tahun 2020 sebesar 17,4 juta ekor. Namun, kenaikan populasi itu belum mampu menurunkan defisit sapi secara signifikan dari tahun ke tahun.

Menurut Nanang, semestinya defisit daging sapi yang terjadi memberikan peluang usaha di sektor peternakan. Namun, nyatanya cukup minim minat untuk berbisnis di usaha sapi potong. "Animo masyarakat dan peternak muda kurang begitu bagus di saat ada peluang untuk menangkap kekosongan itu," katanya.

Ia menilai, penyebab rendahnya minat itu lantaran tingkat kesejahteraan yang kurang menjanjikan. Sekalipun pemerintah terus mengejar swasembada daging sapi lewat berbgaai program, diyakini tidak akan tercapai jika peternak tidak sejahtera.

"Maka bagi kami dibalik dulu, sejahterakan pelaku usaha, bisa hidupi rumah tangganya, maka otomatis banyak yang akan terjun dan populasi akan terus bertambah, kata dia.


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler