Kekambuhan, Musuh Utama Penyintas Kanker Ovarium

Penyintas kanker ovarium harus kontrol tiga bulan sekali untuk deteksi kekambuhan.

Antara/Reno Esnir
Alat pendiagnosa kanker PET CT Scan. Penyintas kanker ovarium perlu menjalani sejumlah tes dan pencitraan, seperti CT-scan, MRI, dan lainnya untuk mengonfirmasi adanya kekambuhan atau tidak.
Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Himpunan Onkologi dan Ginekologi Indonesia (HOGI) Dr dr Brahmana Askandar SpOG(K)-Onk mengatakan, kekambuhan menjadi musuh utama pasien kanker ovarium. Kekambuhan juga mendatangkan tantangan usai masa pengobatan.

Baca Juga


"Musuh utama kanker ovarium adalah kekambuhan, karena sebagian besar terdeteksi bukan dalam stadium dini," kata dr Brahmana dalam sebuah diskusi media secara daring, Kamis (13/1/2022).

Dr Brahmana mengatakan, pada mereka yang terkena kanker pada stadium lanjut, tingkat kekambuhannya mencapai 80 persen meskipun sudah menjalani pengobatan. Penanganan kekambuhan nantinya berbeda antarpasien. Ada yang perlu menjalani kemoterapi, pembedahan terlebih dulu sebelum kemoterapi, atau bahkan terapi target.

"Kalau kambuh, penanganannya sangat variatif per orang. Ada yang dikemoterapi, ada yang dioperasi dulu baru kemoterapi, ada pula yang menjalani target terapi. Ditentukan dokter bersama tim," ujar dokter yang menjadi konsultan ginekologi onkologi di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga itu.

Oleh karena itu, menurut dr Brahmana, pasien kanker ovarium yang sudah selesai menjalani pengobatan perlu dipantau secara terus- menerus. Setidaknya, mereka perlu kontrol teratur ke dokter tiga bulan sekali untuk mendeteksi ada tidaknya keluhan, benjolan baru, dan lainnnya.

"Perlu dipantau terus-menerus, tidak bisa setelah operasi dan kemoterapi maka selesai," tutur dokter yang praktik di RS Dr Seotomo dan RS UNAIR Surabaya itu.

Saat melakukan kontrol ke dokter, penyintas kanker ovarium bisa menjalani sejumlah tes dan pencitraan, seperti CT-scan, MRI, dan lainnya untuk mengonfirmasi adanya kekambuhan atau tidak. Kanker ovarium dikatakan sebagai salah satu sillent killer karena tidak memiliki gejala khas yang dirasakan pasien pada stadium dini.

Kanker dapat berasal dari ovarium kanan atau kiri atau keduanya. Ovarium berukuran kecil, sekitar 2 cm. Akan tetapi, bila terjadi tumor atau kanker, maka ukurannya bisa menjadi 50 cm dan terkadang walau ukuran tidak besar tetapi menyebar ke organ lain, seperti paru-paru.

Dr Brahmana mengatakan, kanker ovarium terbagi mulai stadium 1 hingga empat. Hanya saja, sebagian besar kasus baru terdiagnosis pada stadium lanjut, yakni 3 dan 4. Hal ini karena perubahan dari normal menjadi kanker tidak melalui tahapan sejelas pada kanker serviks.

"Pemeriksaan canggih apapun itu hanya menyatakan saat ini normal, tetapi terdeteksi dini misalnya benjolan jarang terjadi. Hal ini karena orang-orang tidak mengalami keluhan apapun. Haidnya normal, indung telur masih bisa berproduksi," kata dia.

Pasien umumnya baru datang saat perutnya sudah membesar, kembung, sesak karena ada cairan di paru-paru, dan mengalami gangguan buang air besar. Penderita kanker ovarium juga dapat merasakan nyeri perut bawah atau panggul, gangguan buang air kecil, dan nafsu makan berkurang.

"Paling tidak, empat gejala ini kita harus edukasi ke masyarakat, segera kontrol ke dokter kandungan atau umum dulu boleh," kata dr Brahmana.

Selain gejala yang bisa diwaspadai, terdapat sejumlah faktor risiko munculnya kanker ovarium. Termasuk di antaranya ialah pertambahan usia, angka kelahiran rendah atau orang tidak pernah hamil, riwayat kanker ovarium pada keluarga, gaya hidup buruk seperti kurang olahraga berujung obesitas, riwayat endometriosis, yakni terbentuknya jaringan darah haid di luar rahim dan mutasi genetik.

"Diagnosis pasti kanker dilakukan setelah pengambilan jaringan ovarium dan diperiksa oleh dokter spesialis patologi," jelas dr Brahmana.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler