Pil Covid-19 Gagal Diluncurkan karena Lonjakan Kasus Omicron

Pil Covid-19 yang tersedia terbatas hanya digunakan bagi pasien parah.

www.freepik.com
Pil Covid-19 yang tersedia terbatas hanya digunakan bagi pasien parah.
Red: Nora Azizah

REPUBLIKA.CO.ID, 

Oleh: Meiliza Laveda

Amerika Serikat (AS) kekurangan pasokan dua pil antivirus yang seharusnya menjadi senjata melawan Covid-19. Saat ini, produksi pil masih terus dilakukan dan membutuhkan waktu antara lima hingga delapan bulan.

Sementara itu, pasokan obat diperkirakan akan meningkat dalam beberapa bulan menandatang. Para dokter menuntut peluncuran pil bukan karena adanya ledakan kasus Omicron melainkan dua obat antibodi sebelumnya tidak bekerja dengan baik.

“Ini seharusnya menjadi saat yang sangat menggembirakan karena kita sekarang memiliki pil antivirus yang sangat efektif. Sebaliknya, sekarang menjadi momen yang sulit dan kacau di tengah pandemi,” kata Apoteker dan Administrator di University of Pittsburgh Medical Center, Erin McCreary.

Sekarang, pil dan obat Covid-19 tengah dijatah dengan baik dan disediakan hanya untuk pasien berisiko tinggi. Ahli Virologi di Univeristy of North Carolina Dr. Myron Cohen mengatakan Januari akan menjadi bulan yang mengerikan dengan sejuta kasus Covid-19 per hari.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) mengizinkan dua pil Pfizer dan Merck pada akhir bulan lalu berdasarkan penelitian yang menunjukkan khasiat pil dapat mengurangi risiko penyakit parah dan kematian ketika diberikan setelah gejala muncul. Selain itu, pil tersebut menjadi perawatan Covid-19 pertama karena bisa dikonsumsi di rumah sehingga dapat mengurangi beban rumah sakit.

Pil Pfizer dan Paxlovid dianggap jauh lebih unggul dibandingkan pil Merck. Namun, karena pembuatannya membutuhkan enam hingga delapan bulan, perusahaan mengatakan hanya dapat memasok sekitar 250 ribu program pengobatan pada akhir bulan ini. AS telah memesan cukup Paxlovid untuk merawat 20 juta orang, tetapi 10 juta pesanan pertama tidak akan dikirimkan hingga Juni.

Koordinator Covid-19 Gedung Putih, Jeff Zients, mengatakan, pemerintah bekerja sama dengan Pfizer untuk membantu mempercepat pengembangan pil selama beberapa bulan. Para pejabat akan terus bekerja dengan perusahaan untuk mencari cara meningkatkan produksi.

"Di sisi lain, pil Merck, molnupiravir, diproduksi dalam jumlah lebih awal. Sayangnya, berdasarkan pengujian akhir, obat tersebut kurang efektif dibandingkan pil Pfizer," katanya.

Selain itu, pil Merck juga berisiko pada potensi cacat lahir jika dikonsumsi oleh wanita hami. Akibatnya, ini dianggap sebagai opsi terakhir di bawah pedoman federal.

Merck mengatakan telah mengirimkan 900 ribu program obat dan berada di jalur yang tepat untuk mengirimkan kepada tiga juta orang yang dipesan oleh AS pada akhir bulan. Sejak bulan lalu, pemerintah telah mengirim cukup banyak pil Pfizer ke negara bagian untuk mengobati 164 ribu orang dan mengalokasikannya berdasarkan populasi. Pendekatan itu mendapat kecaman dari beberapa negara bagian dengan beban kasus yang lebih berat.

Negara mendistribusikan pil secara berbeda

Baca Juga


Dilansir Fox News, Sabtu (15/1), di Michigan, semua pengiriman awal datang ke 10 apotek di daerah yang paling parah terkena dampak. Pennsylvania, Maryland, Texas, dan banyak negara bagian lain telah mendistribusikan pil secara lebih luas sehingga setidaknya satu apotek di setiap kabupaten memiliki obat tersebut.

Terlepas dari pedoman peresepan yang ketat, beberapa pasien dapat memperoleh pil melalui keberuntungan dan ketekunan. Pejabat federal membatasi pengiriman obat menjadi sekitar 50 ribu dosis per pekan. Pekan ini, pemerintah mengumumkan akan membeli 600 ribu dosis lebih banyak, lebih dari 400 ribu yang dibeli di bulan November.

Di sistem rumah sakit UPMC di Pennsylvania, staf dapat merawat kurang dari 1.000 pasien per pekan. Dokter dan perawat di seluruh AS telah memutuskan siapa yang harus mendapatkan obat langka berdasarkan gejala pasien, risiko medis yang mendasarinya, tempat tinggal, dan faktor lain.

Pada Ahad Minggu, hampir 128 ribu orang Amerika berada di rumah sakit dengan Covid-19. Jumlah itu melampaui pada 125 ribu pada Januari lalu. Sementara itu, lebih sedikit pasien Covid-19 yang membutuhkan perawatan intensif.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler