Sejarah Datangnya Islam di Belanda dan Migran Maroko
Beberapa dekade silam imigran Maroko datang ke Belanda sebagai pekerja kasar,
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam
Secara ideologi, Belanda dikenal sebagai negara liberal, dengan penduduk yang umumnya menganut agama Kristen. Gambaran ini tidaklah salah, namun harus diingat bahwa situasinya berubah dari masa ke masa.
Menurut satu catatan, pada pertengahan abad ke-19 hanya ada tiga (denominasi) agama yang dipeluk warga Belanda, yakni Protestan, Calvinis, dan Katolik. Di awal tahun 2000-an, terjadi pergeseran. Di samping ketiga denominasi di atas yang masih dianut orang Belanda, ada 40 persen orang Belanda yang mengaku tidak berafiliasi dengan agama apapun dan 5 persen dari total penduduk Belanda yang beragama Islam.
Salah satu kelompok masyarakat Muslim dengan populasi yang cukup banyak di Belanda adalah orang Maroko dari Afrika bagian utara. Pada beberapa dekade silam mereka datang ke Belanda hanya sebagai pekerja kasar, namun kini nuansa Islam dan budaya Maroko mereka turut mewarnai Negeri Belanda.
Kehadiran Islam yang dibawa oleh orang Maroko di Belanda tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah yang ada. Pada paruh kedua dekade 1940-an Belanda masih merupakan negeri yang hancur-lebur akibat Perang Dunia Kedua.
Tapi, pada tahun 1960-an dan 1970-an Negeri Belanda terjadi perubahan besar. Belanda mengalami perkembangan ekonomi yang sangat baik, termasuk dengan berdirinya berbagai pabrik yang membutuhkan banyak pekerja lepas atau istilah di zaman dulu, “pekerja tamu” dari luar negeri.
Pada tahun 1969 pemerintah Belanda dan Maroko menandatangani perjanjian imigrasi. Maka, sesudah itu muncullah gelombang imigrasi besar warga asal Maroko (dan juga Turki) ke Belanda.
Mereka, yang umumnya beragama Islam dan berasal dari desa berpenduduk padat, dikontrak selama beberapa tahun untuk bekerja di berbagai bidang pekerjaan yang membutuhkan tenaga fisik, termasuk di pabrik-pabrik. Tak heran bila generasi pertama migran yang datang adalah laki-laki.
Walaupun masa kerja mereka sudah habis, sebagian dari mereka memilih untuk tetap tinggal di Belanda. Mereka mengajak serta istri dan anak mereka untuk tinggal di Belanda.
Dewasa ini, para pengamat menyebut bahwa ada tiga generasi orang Maroko di Belanda. Generasi pertama, yang kini sudah berusia lanjut, adalah migran generasi pertama, yang datang ke Belanda tahun 1970-an dan 1980-an.
Generasi kedua adalah anak-anak mereka yang mereka bawa ke Belanda pada usia masih kecil atapun anak-anak yang lahir di Belanda. Anak-anak ini kini sudah dewasa dan punya keluarga sendiri.
Adapun generasi ketiga adalah anak-anak yang lahir dari generasi kedua ini. Kini ada sekitar 2,3 persen orang Maroko di Belanda dari total jumlah penduduk Belanda yang sebanyak 17 juta jiwa.
Generasi pertama migran Maroko di Belanda memiliki latar belakang pendidikan yang rendah. Namun mereka adalah Muslim yang taat dan secara kultural masih menganut nilai-nilai tradisional Maroko. Mereka juga mendidik anak-anak mereka—generasi kedua migran Maroko—dengan ajaran Islam.
Artinya, pewarisan nilai-nilai agama berlangsung dari satu generasi ke generasi lainnya. Namun, mengingat generasi baru ini lahir dan besar di Belanda dan secara ekonomi lebih baik daripada generasi orang tua mereka, mereka cenderung beragama dengan lebih individual.
Walaupun Maroko dan Belanda terpisah sejauh sekitar 3.000 km, namun pengaruh Islam dari Maroko masih tetap terasa di antara warganya di Belanda. Awalnya adalah terjadinya kesulitan di tengah warga Maroko di Belanda untuk menetapkan waktu berpuasa di Belanda pada bulan Ramadhan.
Para pemimpin sejumlah organisasi Maroko di Belanda mendirikan the Union of Moroccan Muslim Organizations Netherlands (UMMON) pada tahun 1977. Sekitar satu dekade kemudian lembaga ini semakin menunjukkan pengaruhnya, dengan sebagian besar pengelola masjid Maroko di Belanda ada di bawahnya.
Pemerintah Maroko turut berpartisipasi dalam mempromosikan Islam yang khas Maroko di Belanda. Salah satunya adalah dengan mengirimkan imam-imam yang berpandangan moderat ke Belanda dan beberapa negara lainnya di Benua Eropa dan Amerika. Tujuan yang hendak dicapai dengan usaha ini adalah mencegah agar kaum Muslim Maroko di Dunia Barat terhindar dari paparan radikalisme dan esktremisme sekaligus tetap mempertahankan akar budaya Maroko mereka.
Para imam ini umumnya menganut mazhab Maliki, sama seperti yang dianut oleh Kerajaan Maroko. Akan tetapi, ada pula warga Maroko di Belanda yang tidak terlalu berorientasi ke kampung halaman. Mereka membayangkan Islam yang lebih universal dan melampaui batas-batas kebangsaan atau negara.
Kaum Muslim Maroko di Belanda aktif di berbagai lapangan sosial-keagamaan. Mereka mendirikan sekolah untuk anak-anak, salah satunya adalah sekolah Tariq Ibn Ziyad di Eindhoven, salah satu kota terbesar di Belanda. Mereka juga membangun sejumlah masjid di Belanda dan melengkapinya dengan berbagai fasilitas untuk jamaah. Per tahun 1992, sudah ada sekitar seratus masjid Maroko di berbagai wilayah Belanda.
Ada juga warga Muslim Maroko yang punya inisiatif pribadi untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial di Belanda, yang secara tidak langsung berarti memperkenalkan nilai dan tradisi Islam di Negeri Kincir Angin itu. Ketika bulan Ramadhan tiba mereka secara bersama-sama akan menyiapkan berbagai makanan tradisional Maroko untuk menu berbuka puasa.
Terdapat pula keluarga Muslim Maroko yang menyediakan makanan untuk para gelandangan yang ada di sebuah tempat yang menyediakan bantuan untuk kalangan tak punya, Pauluskerk, di Rotterdam. Mereka juga tidak lupa dengan kampung halamannya di Maroko dengan memberinya berbagai bantuan ketika mereka pulang ke desa asal mereka.
Akan tetapi, dewasa ini, di tengah kegiatan keislaman yang masih terus aktif di masjid-masjid yang dikelola warga Maroko di Belanda, mereka juga khawatir dengan meningkatnya Islamofobia di Amerika dan Eropa, termasuk di Belanda. Pemicunya beragam, mulai dari serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat, munculnya radikalisme serta, yang paling terasa di Belanda, efek dari pembunuhan terhadap sutradara Belanda Theo van Gogh yang dilakukan oleh seorang pemuda Maroko tahun 2004. Tantangan lain adalah stereotipe yang masih eksis di antara orang Belanda kepada orang Maroko, termasuk soal kriminalitas dan pembatasan aktivitas kaum wanita yang sering diasosiasikan dengan orang Maroko.
Sumber: Majalah SM Edisi 18 Tahun 2019