Mangrove Bakal Jadi 'Showcase' G20
Di Indonesia kini destinasi wisata mangrove tengah menjadi bagian dari promosi wisata dari daerah-daerah yang memiliki pantai atau laut.
Kaki Bukit – Hutan mangrove Indonesia pada 2022 akan menjadi primadona dunia dan keren. Presiden Joko Widodo akan mengajak pemimpin negara-negara anggota G20 melihat langsung hutan mangrove di Bali pada saat mereka menghadiri KTT G20 yang akan berlangsung di pulau dewata tersebut.
Pemerintah Indonesia bakal menjadikan Mangrove Conservation Forest Bali sebagai show case kepada para Leaders di G20. Kunjungan para pemimpin G20 akan menjadi bukti komitmen Indonesia dalam isu perubahan iklim.
Menurut Presiden Joko Widodo, di tempat hutan mangrove dan persemaian mangrove tersebut akan menunjukkan bahwa Indonesia memiliki komitmen yang kuat dalam rangka perubahan iklim. Keberadaan hutan mangrove tersebut bisa menjadi bukti komitmen Indonesia ingin merestorasi dan merehabilitasi hutan mangrove dan hutan gambut.
Mengutip keterangan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bahwa program pengembangan dan rehabilitasi mangrove menjadi salah satu program unggulan Presiden Joko Widodo, ditargetkan seluas 600.000 hektare lahan mangrove bisa direhabilitasi hingga 2024.
Hutan mangrove di Indonesia bukan hanya ada di pulau Bali. Hutan mangrove tersebar luas pada beberapa daerah di Indonesia. Pada beberapa daerah kondisi hutan mangrove tersebut berada dalam kondisi mengenaskan. Ekosistem hutan mangrove yang bersifat khas, keberadaannya mampu menahan abrasi pantai kondisinya sudah punah akibat beralih fungsi menjadi kawasan tambak atau dirusak oleh pertambangan ilegal.
Seperti di pulau Bangka, sejak tambang timah ilegal marak, hutan mangrove sebagian mulai menghilang. Tak urung kerusakan hutan mangrove bakau tersebut memicu kemarahan warga sekitar yang membakar perlengkapan tambang para penambang timah ilegal tersebut.
Hutan bakau di Babel tergerus dan kondisinya mengkhawatirkan karena menjadi sasaran penambang timah ilegal yang percaya area hutan bakau tersebut ditengarai menyimpan deposit timah yang tak sedikit, sama banyaknya dengan yang di darat dan di laut.
Selain tambang timah ilegal, ancaman kerusakan hutan bakau yang tampak di depan mata atau sudah terjadi adalah maraknya pembukaan tambak udang, baik tambak skala kecil maupun besar. Sudah ada yang mendengungkan, pasca berakhirnya kejayaan timah di pulau Bangka akan menghasilkan udang skala ekspor.
Hutan bakau atau hutan mangrove mengutip Wikipedia adalah hutan yang tumbuh di air payau, dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Ekosistem hutan mangrove bersifat khas, keberadaannya mampu menahan abrasi pantai.
Secara umum hutan mangrove berfungsi sebagai penstabil iklim, pelindung pulau dari potensi bencana alam seperti interupsi air laut, badai, tsunami dan angin kencang. Selain fungsi fisik dan ekologis, hutan bakau juga memiliki manfaat ekonomi yang cukup tinggi.
Mengutip MGH Kordi dalam buku “Jurus Jitu Pengelolaan Tambak untuk Perikanan Ekonomis,” (2012) menyebutkan bahwa kawasan ekosistem mangrove memiliki tiga fungsi utama yaitu (1) Fungsi fisis meliputi pencegah abrasi, perlindungan terhadap angin, pencegah instrusi garam dan penghasil energi serta hara.
(2) Fungsi biologis meliputi sebagai daerah tempat bertelur dan sebagai asuhan biota, tempat bersarang burung dan habitat alami biota lainnya. (3) Fungsi ekonomis meliputi sebagai sumber bahan bakar kayu dan arang, perikanan, pertanian, makanan, minuman, bahan baku kertas, keperluan rumah tangga, tekstil, serat sintesis, penyamakan kulit dan obat-obatan.
Dari hasil penelitian lainnya, sebagai fungsi ekonomis menemukan fakta, bahwa pembuatan 1 ha tambak ikan atau udang pada hutan mangrove alam akan menghasilkan ikan/udang sebanyak 287 kg/tahun, namun dengan hilangnya setiap 1 ha hutan mangrove akan mengakibatkan kerugian 480 kg ikan dan udang di lepas pantai per tahunnya. Berkurangnya hutan mangrove sudah pasti menurunkan produktivitas perikanan tangkapan.
Rusaknya hutan mangrove berdampak pada munculnya berbagai persoalan dari masalah lingkungan, ekonomi dan sosial. Hilang dan lepasnya cadangan karbon, ekosistem perairan yang terganggu sampai musnah jenis flora dan fauna tertentu, juga persoalan ekonomi bagi masyarakat sekitar yang memberdayakannya hidupnya dari hutan mangrove.
Pemerintah bukan tidak memperhatikan masalah yang terjadi di hutan mangrove. Pemerintah melalui Badan Restorasi Gambut dan Mangrove [BRGM] akan meretorasi mangrove seluas 600.000 hektar yang ada di Provinsi Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Papua, serta Papua Barat.
Khusus di Provinsi Babel pada 2021 BRGM akan merestorasi mangrove seluas 16.319 hektar. Sekitar 3.069 hektar di kawasan konservasi dan seluas 13.250 hektar di luar kawasan konservasi.
Namun sebelum program BRGM tersebut terlaksana, lambat laun ternyata kesadaran masyarakat muncul. Bahwa hutan mangrove memiliki potensi lain yang juga bisa memberi nilai tambah ekonomi kepada warga sekitar. Di beberapa kawasan pantai di pulau Bangka termasuk di Kabupaten Bangka kini bermunculan kawasan wisata hutan mangrove atau oleh masyarakat disebut hutan bakau.
Jika selama ini dalam benak wisatawan yang berkunjung ke pulau Bangka identik dengan pantainya yang indah atau kulong bekas penambangan timah. Maka ini ada pilihan lain hadirnya destinasi wisata taman wisata alam hutan mangrove yang ada di beberapa wilayah kawasan pantai di Kabupaten Bangka.
Ekowisata
Jika berkunjung ke pulau Bangka, maka dalam ingatan melintas tentang timah. Memang di pulau ini ada pertambangan timah terbesar di Indonesia. Kebesaran timah tersebut kini perlahan-lahan mulai surut, produksi timah dari PT Timah satu-satunya BUMN yang mengeksploitasi tidak lagi sebesar dulu.
Selain timah, pulau Bangka identik dengan pariwisata. Pulau ini memiliki banyak pantai yang indah dan elok yang keberadaannya mengelilingi pulau seluas 11.694 km2. Pariwisata di Bangka identik dengan 3 S yaitu sea (laut), sand (pantai), sun atau sinar matahari. Kini bertambah satu dengan tersedianya destinasi wisata hutan mangrove atau taman wisata alam hutan mangrove.
Taman wisata hutan mangorve adalah bagian ekowisata atau ekoturisme sebagai kegiatan pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam, aspek pemberdayaan sosial budaya ekonomi masyarakat lokal serta aspek pembelajaran dan pendidikan.
Di Indonesia kini destinasi wisata mangrove tengah menjadi bagian dari promosi wisata dari daerah-daerah yang memiliki pantai atau laut. Salah satunya adalah Taman Wisata Alam (TWA) Angke Kapuk yang terletak di Jakarta Utara. TWA Angke Kapuk merupakan milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang memberikan hak kelola kepada PT. Murindra Karya Lestari melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam DKI Jakarta, PT Murindra Karya Lestari dengan hak sewa selama 30 tahun, mulai dari tahun 1997 sampai tahun 2027.
Taman Wisata Alam Angke Kapuk sebelumnya adalah kawasan hutan mangrove rusak akibat aktivitas tambak liar. Pada Tahun 2009 dimulai kembali pembangunannya dan diresmikan pada tahun 2010. TWA ini dalam pengelolaannya menjadi destinasi wisata alam yang memiliki fokus pada konservasi mangrove dan pengembangan ekowisata. Di dalamnya ada aktivitas seperti bird watching, menyusuri hutan, outbond, tempat acara/ seminar, spot foto serta ada tempat menginap di dalam kawasan.
Taman Wisata Alam Angke Kapuk telah dikelola secara profesional dan komersil. Untuk masuk wisatawan harus merogoh kocek Rp30.000 sampai Rp35.000 untuk orang dewasa, anak-anak Rp20.000 sampai Rp25.000/ orang. Untuk wisatawan asing tarifnya lebih mahal berkisar Rp150.000 – Rp170.000/ orang.
Juga ada wisata air dengan Speed Boat tarifnya Rp350.000 untuk enam orang /perahu atau Rp450.000 untuk 8 orang/perahu. Jika anda ingin berfoto di dalam TWA juga harus bayar. Untuk foto pribadi menggunakan kamera ponsel, Ipad atau drone dalam kawasan tidak dikenakan biaya tambahan. Tapi untuk wisatawan yang membawa kamera poket/GoPro/ Polaroid harus membayar Rp150.000/ kamera dan kamera DSLR Rp300.000/ kamera.
Selain itu masih banyak sumber pendapatan lain dari pengelolaan TWA Angke Kapuk seperti untuk acara pernikahan dengan penawaran Vila Rizhophora, Honeymoon Cottage, gedung resepsi dan perlengkapan perhelatan lainnya untuk perkawinan.
Di pulau Bangka ada banyak destinasi wisata hutan mangrove yang tersebar di Kabupaten Bangka, Kabupaten Bangka Tengah dan Kabupaten Bangka Barat. Kawasan hutan mangrove di Kabupaten Bangka salah satunya berada Kelurahan Air Jukung yang terletak di Kecamatan Belinyu. Kawasan hutan mangrove yang bernama di Sungai Bunting Lestasi (SBL) memang sudah mulai dikembangkan dan mempunyai potensi hutan mangrove yang sangat luas untuk menjadi kawasan ekowisata mangrove. Di dalam hutan mangrove tersebut banyak tumbuh berbagai jenis pohon mangrove.
Kawasan lain yang juga berpotensi menjadi destinasi wisata hutan mangrove adalah hutan mangrove di Desa Penagan Kecamatan Mendo Barat. Hutan mangrove Desa Penagan berada di Pantai Tanjung Raya. Destinasi wisata hutan mangrove tersebut bisa menjadi satu paket perjalanan wisata dipadukan dengan destinasi wisata Prasasti Kota Kapur yang juga terletak di Mendo Barat. Prasasti Kota Kapur ini sangat terkenal di kalangan sejarahwan dan wisatawan pencinta sejarah. Prasasti ini dikenal sebagai salah satu bukti adanya Kerajaan Sriwijaya pada masa lalu.
Kawasan hutan mangrove juga ada di Pantai Mang Kalok salah satu kawasan pesisir eks tambang timah. Pantai Mang Kalok di Kecamatan Sungailiat memiliki tingkat keanekaragaman mangrove yang cukup tinggi memiliki banyak organisme air yang menjadikan kawasan ini feeding ground, spawning ground dan nursery ground.
Di pulau Bangka yang sudah sangat dikenal adalah kawasan wisata hutan Mangrove yang di Kurau, Kabupaten Bangka Tengah. Ada dua destinasi wisata mangrove di sini, yaitu hutan mangrove Kurau Timur dan hutan mangrove Kurau Barat atau Munjang. Kawasan wisata hutan mangrove Munjang memiliki luas 213 hektare.
Sudah sepatutnya jika ada kepedulian masyarakat terhadap hutan mangrove harus mendapat dukungan Pemerintah Kabupaten Bangka dengan membantu menyusun rencana pengembangan potensi ekonomi mangrove. Menurut Ary Prihardhyanto dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, “Selama ini kita masih mempertahankan eksistensi mangrove secara fisik, belum mempertahankan keberadaannya melalui pemanfaatan berkelanjutan.”
Menurutnya, pemanfaatan ekonomi terkait mangrove, bukan hanya pariwisata. Hutan mangrove bisa menjadi lokasi peternakan lebah yang dapat dipanen madunya, propolis dan lilin sarangnya. Atau menjadi tempat budidaya kepiting mangrove.
Dalam sebuah buku berjudul “Konservasi Mangrove dan Kesejahteraan Masyarakat (Mangrove Conservation and Society Welfare)” dengan studi kasus di Provinsi Babel yang ditulis Robert Siburian dan John Haba menyebutkan potensi ekonomi kepiting mangrove dapat dikembangkan karena memiliki harga yang tinggi pasaran lokal dengan estimasi Rp30.000 - Rp60.000/kg. Pengembangan kepiting mangrove dapat meningkatnkan 42,4 persen pendapatan masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung.
Ary Prihardhyanto menyatakan bahwa leluhur bangsa Indonesia sudah memanfaatkan mangrove atau bakau sebagai bagian dari kehidupannya. Sebagai sumber pangan, bahan kapal, bahan bangunan, obat-obatan, serta pewarna alami.
Dalam menjaga keselamatan hutan mangrove dan membangkitkan pariwisata lokal berbasis ekowisata hutan mangrove maka Pemerintah Kabupaten Bangka harus menempatkan masyarakat subyek yang harus dilibatkan dan jangan sampai membuat mereka tergantung pada program dalam menyelamatkan hutan mangrove dan perlu dibina komunikasi dua arah dalam menyelamatkan dan menjaga hutan mangrove sebagai bagian dari membangkitkan pariwisata khususnya ekowisata hutan mangrove di Kabupaten Bangka.
Untuk menjaga hutan mangrove dari kerusakan dan menggerakan ekonomi masyakarat setempat dengan memanfaatkan ekosistem mangrove Pemerintah Kabupaten Bangka tak perlu ragu karena adanya payung hukum Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 73 Tahun 2012 tentang Pedoman Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Kehadiran Perpres tersebut adalah kebijakan untuk peningkatan kapasitas Pemerintah Daerah dalam melaksanakan kewenangan dan kewajiban pengelolaan ekosistem mangrove sesuai dengan kondisi dan aspirasi lokal.
Salam Kaki Bukit.