Vonis Nihil Terdakwa ASABRI Heru Hidayat, Sebuah Kemenangan Bagi Koruptor?
Vonis nihil Heru Hidayat seakan tidak menyentuh dampak bahaya korupsi.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Antara
Majelis hakim menjatuhkan vonis nihil bagi Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat yang terbukti melakukan korupsi pengelolaan dana PT Asuransi Angkatan Bersenjatan Republik Indonesia (ASABRI) serta tindak pidana pencucian uang. Heru padahal tak hanya terlilit kasus ASABRI, tapi juga sudah divonis dalam perkara korupsi Jiwasraya.
Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) Azmi Syahputra menilai vonis nihil bagi terdakwa kasus korupsi Heru Hidayat sebagai bentuk kegagalan dalam membuat terobosan hukum. Azmi memandang vonis nihil terhadap Heru sebagai fakta empirik penegakan hukum yang tidak berkualitas.
Ia menuding hakim keliru dalam menerapkan hukum karena mestinya perbuatan Heru menjadi alasan pemberatan hukuman. Maklum saja, Heru terlibat dalam megakorupsi PT ASABRI dan Jiwasraya. Dalam kasus Jiwasraya, Heru dihukum penjara seumur hidup.
"Hakim tidak berusaha keras melakukan terobosan hukum, padahal pertimbangan hakim telah memuat fakta hukum, keadaan dan alat pembuktian yang terungkap di persidangan bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa terbukti yang semestinya menjadi keadaan yang memberatkan hukuman. Tapi, yang ada malah kok amar putusan pemidanaannya yang nihil," kata Azmi kepada Republika, Rabu (19/1/2022).
Azmi menganggap majelis hakim membatasi jangkauan hukum dan menyempitkan pemaknaan hukum. Sehingga vonis Heru tidak menyentuh dampak bahaya korupsi. Padahal menurutnya korupsi yang dilakukan Heru masuk kategori pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi sebagai tindak pidana khusus yang berbeda penerapannya dengan pidana umum.
"Apalagi mengingat keadaan korupsi di Indonesia sudah menjadi keadaan yang darurat, harus diberantas sehingga semestinya dalam keadaan yang darurat memperbolehkan hakim apa yang tadinya tidak diperkenankan oleh hukum, dalam hal ini menyimpangi Pasal 67 KUHP guna menegakkan hukum itu sendiri dan rasa keadilan," ujar Azmi.
Dalam vonis nihil terhadap Heru, majelis hakim mengutip Pasal 67 KUHP yang mengatur 'seseorang yang sudah dijatuhi hukuman penjara seumur hidup tidak boleh dijatuhkan pidana lain lagi kecuali pencabutan hak-hak tertentu'. "Termasuk dalam hukum pidana akan melihat unsur kesalahan berdasarkan kasus per kasus (animus and se one just ducit). Jadi, di sini semestinya ada ruang dan dasar hukum bagi hakim untuk melakukan terobosan hukum," kata Azmi.
Oleh karena itu, Azmi menyayangkan vonis nihil terhadap Heru yang sebenarnya dinyatakan bersalah. Vonis ini seakan membuat kesalahan Heru tak diganjar dengan hukuman badan apa pun selain uang pengganti Rp 12,643 triliun yang sesuai tuntutan jaksa.
"Sanksi penjatuhan pidana pada pelaku jadi hampa, padahal perbuatan terdakwa dinyatakan majelis hakim terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi maupun tindak pidana pencucian uang namun dihukum nihil? Ini jelas penyimpangan," ujar Azmi.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) Despan Heryansyah menyarankan agar hukuman Heru Hidayat diperberat dengan pencabutan berbagai haknya sebagai warga sipil. Pusham UII mengganggap korupsi adalah kejahatan luar biasa sekaligus melanggar HAM. Despan menyebut Heru dalam kasus korupsi Jiwasraya telah melanggar hak masyarakat untuk mendapatkan asuransi yang layak dan memadai sehingga telah melanggar HAM. Kerugian negara dalam kasus ASABRI pun fantastis mencapai Rp 22,7 triliun.
"Oleh karena itu, pelaku layak mendapatkan hukuman yang berat dalam rangka melindungi hak masyarakat tersebut," kata Despan kepada Republika.
Despan memang menyatakan tak sepakat dengan hukuman mati terhadap Heru karena melanggar hak dasar dan martabat kemanusiaan pelaku. Namun, ia menyinggung agar berbagai hak Heru dicabut. Ia juga meminta agar denda atau ganti rugi yang mesti dibayar Heru harus lebih tinggi daripada yang saat ini diketuk palu.
"Hakim bisa saja memperberat hukuman misalnya dengan mencabut hak-hak yang lain atau memperbesar pidana denda atau ganti rugi keuangan negara. Mengingat nominal korupsinya mencapai Rp 22 triliun, seharusnya lebih banyak ganti rugi dalam vonis hakim," ujar Despan.
Lebih lanjut, Despan menyebut salah satu hak Heru yang bisa dicabut adalah hak politik. Menurutnya, usul hukuman pencabutan hak-hak sipil Heru ini mesti dipertegas agar benar-benar tak digunakan Heru di kemudian hari bila mendapat pengurangan masa hukuman.
"Bisa saja hak memegang jabatan tertentu, juga hak memilih dan dipilih. Sebetulnya yang bersangkutan sudah dipidana seumur hidup maka secara otomatis hak-hak tersebut juga akan hilang. Namun, dalam proses menjalani hukuman, bisa saja terjadi pengurangan masa pidana di lembaga pemasyarakatan, sehingga perlu juga ditegaskan hak-hak yang dicabut tersebut," ucap Despan.
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu Arief Poyuono menyayangkan majelis hakim yang menjatuhkan vonis nihil terhadap Heru Hidayat. Ia menyarankan majelis hakim yang menyidangkan Heru diperiksa oleh Komisi Yudisial (KY).
Arief menganggap sidang terhadap Heru di kasus ASABRI hanya panggung hukum sandiwara. Sebab dengan kerugian negara yang begitu besar di kasus ASABRI, Heru malah melenggang bebas dari jeratan hukuman badan.
"Putusan ini sulit diterima oleh akal sehat. Bagaimana tidak, koruptor Heru Hidayat dalam perkara pertama Jiwasraya yang telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 12,6 triliun diputus penjara seumur hidup. Namun, perkara yang kedua dalam kasus ASABRI dengan nilai kerugian negara yang jauh lebih besar, yakni Rp 22,8 triliun justru diputus nihil," kata Arief di Jakarta, Rabu (19/1).
"Logika sederhananya, jika perkara pertama telah diputus seumur hidup, seharusnya untuk perkara kedua yang nilai korupsinya jauh lebih besar, harusnya diputus lebih berat lagi, yakni hukuman mati," ujar Arief.
Arief menekankan hukuman mati sebenarnya sah saja di Indonesia. Apalagi kasus yang melibatkan Heru ini merupakan skandal korupsi terbesar yang pernah terungkap. Menurutnya, vonis nihil menjadi kemenangan bagi koruptor.
"Mana ada putusan korupsi yang secara sah terbukti di persidangan diputus nol tahun alias nihil. Putusan ini adalah putusan kemenangan bagi koruptor Heru Hidayat dan kekalahan amanat reformasi untuk melakukan pemberantasan korupsi. Sungguh tidak dapat diterima masuk akal melihat putusan yang nyeleneh ini," ujar Arief.
Selain itu, Arief menilai vonis nihil terhadap Heru mengabaikan rasa keadilan di masyarakat. Ia mengatakan, para hakim yang menyidangkan kasus Heru pantas diperiksa oleh KY.
Komisi Yudisial (KY) meminta semua pihak untuk menghormati vonis majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta yang menjatuhkan vonis nihil. "Menghormati dalam arti, apabila dirasa tidak puas dengan substansi dari putusan tersebut, maka jalur yang tersedia adalah upaya hukum," kata Juru Bicara KY Miko Susanto Ginting, Rabu (19/1/2022).
Menurut Miko, Kejaksaan Agung dalam perkara tersebut mewakili publik untuk melakukan atau tidak melakukan upaya hukum. Begitu juga terdakwa dan penasihat hukumnya dijamin untuk mengajukan upaya hukum.
"Intinya, jalur untuk 'mengkontes' substansi putusan adalah melalui upaya hukum," kata Miko. Dari sisi vonis, katanya, memang ada perdebatan hukum terkait apakah seseorang yang sebelumnya telah dijatuhi pidana seumur hidup harus tetap dicantumkan vonis yang sama (dalam hal ini seumur hidup) atau tidak alias nihil.
Di satu sisi, ujar dia, KUHAP menyatakan suatu putusan harus memuat pemidanaan jika terdakwa dinyatakan bersalah. Di sisi lain, jika dicantumkan akan ada dua pemidanaan seumur hidup dari dua putusan berbeda.
"Saya kira ini area para pakar dan pengamat hukum pidana untuk memberikan pendapat," ujarnya.
Area KY terbuka apabila ada dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim dalam memeriksa dan memutus perkara tersebut. Selain itu, KY akan mempelajari lebih lanjut putusan yang dimaksud beserta hal-hal lain yang muncul dalam pemeriksaan di persidangan.
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memaparkan empat alasan Heru tak diganjar hukuman mati. Alasan pertama, menurut hakim, adalah JPU telah melanggar azas penuntutan karena menuntut di luar pasal yang didakwakan. Kedua, penuntut umum tidak membuktikan kondisi-kondisi tertentu penggunaan dana yang dilakukan terdakwa saat melakukan tindak pidana korupsi.
Alasan ketiga, berdasarkan fakta, Heru Hidayat dinilai melakukan tindak pidana korupsi saat situasi negara aman. Keempat, terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara pengulangan.
Majelis hakim juga memerintahkan perampasan harta milik Heru. "Dari fakta hukum di persidangan, telah terbukti benar terdakwa Heru Hidayat memperoleh keuntungan yang tidak sah dari pengelolaan dan pengendalian PT Asabri (Persero) sejumlah Rp 12,64 triliun oleh karenanya terhadap terdakwa bisa dikenai pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sejumlah tersebut," kata Ketua Majelis Hakim Ignatius Eko Purwanto, Selasa (18/1/2022).
Dalam perkara tersebut Heru Hidayat dijatuhi pidana penjara nihil dan kewajiban membayar uang pengganti senilai Rp 12,643 triliun. Sejumlah barang yang oleh hakim diwajibkan untuk dirampas untuk negara karena berasal dari tindak pidana korupsi sehingga harus dirampas untuk negara yaitu:
1. 1 unit apartemen No 85 seluas 180 meter persegi di Pakubuwono View, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
2. 1 bidang tanah dan bangunan seluas 75 meter persegi di Jalan Tentara Pelajar, Kebayoran Lama, Jakarta atas nama PT Nusa Puri Niraba.
3. 1 bidang tanah seluas 16.813 meter persegi di Desa Kepincut, Kabupaten Belitung, Provinsi Bangka Belitung atas nama PT Seribu Pulau Tropika.
4. 1 unit mobil merek Lexus tipe RX200T F-Sport 4x4 AT tahun pembuatan 2017 warna hitam.
5. 1 unit mobil Ferrari tipe Berlinetta, beserta dokumen yang telah diserahkan ke Asabri oleh Heru Hidayat.
6. Barang bukti berupa saham yang ada kaitannya dengan Heru Hidayat maupun pihak lain yang yang diperoleh pada waktu dan setelah tindak pidana dilakukan.
7. 7 bidang tanah milik Tan Drama di Desa Mentigi, Provinsi Bangka Belitung.
8. 2 bidang tanah atas nama PT Seribu Pulau Tropika seluas 243 meter persegi.
Namunm majelis hakim memerintahkan sejumlah harta yang terkait dengan Heru Hidayat yaitu 18 kapal, empat perseroan terbatas serta tanah dan bangunan dikembalikan kepada Heru Hidayat. Alasannya karena dinilai bukan berasal dari tindak pidana.
Dalam perkara ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung mengajukan tuntutan hukuman mati terhadap Heru Hidayat, namun majelis hakim yang terdiri dari Ignatius Eko Purwanto, Saifuddin Zuhri, Rosmina, Ali Muhtarom dan Mulyono Dwi Purwanto menolak permintaan tersebut. Terdapat sejumlah alasan hakim menolak menjatuhkan hukuman mati yaitu pertama, hakim menilai JPU menuntut di luar pasal yang didakwakan karena dakwaan hanyalah pasal 2 ayat 1 UU Pemberantasan Tipikor dan pasal 3 UU 8 tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sedangkan mengenai ancaman hukuman mati ada di pasal 2 ayat 2 UU Pemberantasan Tipikor.Alasan kedua, JPU dinilai tidak dapat membuktikan kondisi-kondisi tertentu penggunaan dana yang dilakukan terdakwa saat melakukan tindak pidana korupsi. Majelis menilai tindakan korupsi Heru Hidayat terhadap PT Asabri dilakukan pada 2012-2018 tidak terjadi saat bencana alam nasional, pengulangan tindak pidana korupsi dan saat negara mengalami krisis ekonomi dan moneter.
Alasan ketiga, menurut majelis hakim, Heru Hidayat tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara pengulangan. Heru Hidayat memang sudah dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dalam kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya pada 26 Oktober 2020 dan dikuatkan dengan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap.
Namun perbuatan korupsi Heru Hidayat pada PT Asabri tidak dapat dikategorikan sebagai pengulangan namun lebih tepat tindak pidana berbarengan dengan tindakan korupsi Heru di PT Jiwasraya. Terhadap vonis tersebut Kejaksaan Agung menyatakan akan melakukan banding.
"Terhadap putusan majelis hakim tersebut, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus telah memerintahkan penuntut umum untuk segera melakukan upaya perlawanan banding karena putusan majelis hakim tidak berpihak dan telah mengingkari rasa keadilan masyarakat yang telah ditimbulkan oleh terdakwa dengan kerugian negara yang begitu besar sekitar Rp 39,5 triliun yaitu kerugian PT Asuransi Jiwasraya sebesar Rp 16,7 triliun dan kerugian PT Asabri sebesar Rp 22,78 triliun," kata Kapuspenkum Kejagung Leonard Eben Ezer.