Pengadilan Prancis Perintahkan Twitter Ungkap Upaya Atasi Ujaran Kebencian

Twitter dinilai tidak cukup berusaha untuk menekan konten kebencian.

Reuters
Twitter
Rep: Fergi Nadira Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS - Pengadilan banding Paris memutuskan untuk memerintahkan Twitter mengungkapkan rincian tentang upaya mengatasi ujaran kebencian online di Prancis, Kamis (20/1) waktu setempat. Keputusan tersebut memberikan kemenangan bagi kelompok advokasi yang menilai Twitter tidak cukup berusaha untuk menekan konten kebencian.

Putusan tersebut menguatkan keputusan pengadilan yang lebih rendah pada tahun lalu. Putusan pengadilan sebelumnya memerintahkan Twitter untuk memberikan perincian tentang jumlah, kebangsaan, lokasi dan bahasa lisan orang-orang yang dipekerjakannya untuk memoderasi konten pada platform versi Prancis.

Keputusan pengadilan yang lebih rendah juga mengharuskan Twitter untuk mengungkapkan dokumen kontrak, administratif, komersial, dan teknis apa pun yang akan membantu menentukan sumber daya keuangan dan manusia yang telah dikerahkan untuk memerangi ujaran kebencian online di Prancis. Pengadilan banding mengatakan, pihaknya mengkonfirmasi, secara penuh, putusan pertama.

Pihaknya mengatakan Twitter harus membayar ganti rugi 1.700 dolar AS kepada masing-masing dari enam penggugat. Seorang juru bicara Twitter mengatakan, prioritas utama perusahaan adalah untuk memastikan keselamatan orang-orang yang menggunakan platformnya. Twitter menambahkan bahwa kelompok itu sedang meninjau keputusan pengadilan.

Putusan ini juga memberikan amunisi kepada juru kampanye di negara lain di Eropa yang menginginkan kendali lebih ketat Twitter. Hal ini guna mencegah konten rasis dan diskriminatif fi Twitter dan platform media sosial lainnya.

Para penggugat juga sangat gembira. Enam kelompok lobi yang menggugat Twitter telah menyatakan bahwa hanya sebagian kecil dari pesan kebencian yang dihapus dari platform 48 jam setelah mereka diberi sinyal.

"Saya bosan dengan pemerintahan ini di mana segala sesuatu diperbolehkan dan di mana 'dilarang untuk dilarang'," kata Marc Knobel, presiden J'Accuse! (I Accuse), salah satu kelompok, mengacu pada slogan terkenal yang tersebar di tembok Paris selama protes tahun 1968.

"Kita harus menghentikan delusi ini: tidak semuanya harus diizinkan di masyarakat kita," ujarnya menambahkan.

Baca Juga


Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler