NU Didorong Mobilisasi Grassroot Menuju Net Zero Emissions

NU dinilai punya modal sosial besar untuk mobilisasi gerakan grassroot

network /Boyanesia
.
Rep: Boyanesia Red: Partner
Logo NU Amerika-Kanada

BOYANESIA -- Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU AS-Kanada) menggelar diskusi tentang perubahan iklim (climate change) dan membahas Conference of the Parties (COP26) pada Sabtu (22/1). Dalam diskusi ini, NU didorong memobilisasi gerakan akar rumput untuk menuju net zero emissions atau nol bersih emisi.


“NU punya modal sosial besar untuk mobilisasi grassroots activism untuk advokasi kebijakan publik dan juga berpartisipasi secara individu dan kelompok dalam konteks mendorong net zero emissions," ujar Doktor Ekologi Politik dari Rutgers University US, Abidah Setyowati.

Belakang ini memang semakin populer istilah net zero emissions. Meskipun sudah muncul sejak 2008 lalu, istilah ini demakin mendapat sorotan karena Konferensi Tingkat Tinggi Iklim di Paris pada 2015 mewajibkan negara industri dan maju mencapai nol-bersih emisi pada 2050.

Sementara, COP26 merupakan konferensi perubahan iklim untuk penetapan target pengurangan emisi atau dekarbonisasi. Sebanyak 100 kepala negara berkumpul pada Oktober 2021 di Glasgow, Skotlandia untuk menentukan langkahnya dalam menyusun target dekarbonisasi.

Dalam diskusi terdebut, Abidah menjelaskan tentang adanya skala dan kecepatan dalam transisi menuju target pengurangan emisi. Namun, kecenderungan menuju skala besar dan kecepatan teknologi ini menyisakan pertanyaan, siapakah yang diuntungkan dari proses itu dan siapakah yang ditinggalkan?

Disinilah, mengutip pernyataan Ehresman dan Okoreke, Abidah meletakkan keadilan sebagai kunci diskusi menuju transisi dekarbonisasi. Senada dengan itu, Dewan Nasional WALHI, Bambang Catur menyoroti sejauh mana kalkuasi risiko untuk kawasan penyuplai bahan energi terbarukan, seperti halnya pulau di Maluku maupun Papua yang menyiapkan bahan untuk kepentingan energi bersih.

Lalu dua pertanyaan yang diajukan, “Apakah akan memindahkan bencana baru di pulau tersebut? Dan Bagaimana posisi kawasan-kawasan itu dalam climate change?”

Abidah menjelaskan bahwa memang ada kontradiksi, antara ekspansi ekonomi versus pengurangan emisi, yang ini tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga terjadi di banyak negara lain. Menurut dia, situasi di Indonesia juga sedang berlangsung, antara ambisi tingkatkan lapangan pekerjaan yang itu difasilitasi melalui UU Cipta Tenaga Kerja diimbangi dengan pengurangan emisi secara besar-besaran.

"Dalam menyikapi risiko dari energi terbarukan, perlu pendekatan terhadap pembangunan rendah karbon agar tidak malah menambah masalah ekologis untuk kawasan penyuplai bahan baku energi terbarukan itu, seperti nikel untuk bahan baku listrik," kata Abidah.

Terkait pendanaan climate change, Abidah menyoroti potensi ketidakadilan dalam pembiayaan. Menurut dia, ada beberapa bentuk pendanaan yang dialokasikan untuk mitigasi dan adaptasi, bisa berupa loan (pinjaman), grant (hibah), investasi, public maupun private investment.

Masalahnya, lanjut dia, semakin banyak manifetasi pembiayaan climate change dalam bentuk hutang luar negeri yang menjadikan negara-negara khususnya miskin semakin terjebak dalam jeratan hutang. Disinilah letak ketidakadilan dalam rezim climate change berlangsung. Karena itu, Abidah menyarankan adanya advokasi untuk mengawal negara-negara miskin dan lemah diatas.

Abidah menuturkan, negara berkembang dan negara berpendapatan rendah telah menderita akibat perubahan iklim, meskipun mereka bukanlah penyebabnya. Mereka juga tidak menikmati manfaat dari adanya ekspansi industri yang dilakukan oleh negara-negara kaya.

"Pada Perjanjian Paris, negara kaya telah berkomitmen untuk menyumbangkan 100 Miliar Dolar Amerika Serikat. Namun, target ini sampai sekarang pun tidak tercapai dan itupun terhitung masih kurang untuk pembiayaan," jelas Abidah.

Merespons lebih lanjut tentang isu perubahan iklim, Abidah menambahkan, yang bisa dilakukan agar tercapai net zero emissions adalah melalui tindakan pemerintah, aksi bisnis serta aktivisme akar rumput dan partisipasi warga negara.

Diskusi via daring bertajuk PodcastNU ini dihadiri peserta dari AS, Kanada, Belanda, UK dan Indonesia. Dalam pengantarnya, Ketua PCINU AS-K, Muhammad Izzul Haq menyambut baik diskusi yang membahas tentang isu lingkungan hidup sebagai bagian dari bagian dari kerja mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

"Ini seiring dengan memantabkan peran NU menuju Abad Kedua dalam isu ekologi," ucap dia.

Di penghujung acara, kandidat doktor di McGill University, Nadhir Salahudin mengingatkan akan pentingnya meletakkan isu COP dalam ketidakadilan. Melalui forum diskusi yang dihadiri akademisi ini, Nadhir menyarankan perlunya dituliskan agenda apa saja yang perlu diinisiasi bersama ke depan agar semua komponen bisa turut mengawal, tidak hanya di tingkat Indonesia tapi di tingkat global.

"Sebuah agenda bersama diperlukan untuk memastikan agar komitmen ini bisa dikawal," ujar Nadhir.

Pewarta: Muhyiddin Yamin

sumber : https://boyanesia.republika.co.id/posts/33063/nu-didorong-mobilisasi-grassroot-menuju-net-zero-emissions
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler