Perjanjian Ekstradisi Akhiri Polemik Area Militer Antara Singapura dan Indonesia
Kesepakatan dicapai menyusul proses negosiasi panjang selama hampir dua dekade.
Serangkaian kesepakatan di bidang hukum, pertahanan dan diplomasi yang diratifikasi Indonesia dan Singapura pada Selasa (25/1), dianggap sebagai titik balik dalam hubungan antara kedua negeri jiran.
"Hal ini sudah menjadi agenda bilateral kami sejak beberapa dekade, sudah berulangkali hal ini kami bahas dan diskusikan sebelumnya,” kata Perdana Menteri Lee Hsien Loong, yang ikut menyaksikan proses ratifikasi bersama Presiden Joko Widodo di Pulau Bintan.
Perjanjian ekstradisi dengan Singapura sejak lama dianggap sebagai batu sandungan dalam upaya Indonesia memerangi korupsi lintas negara dan memburu terdakwa koruptor yang lari ke luar negeri.
Kesepakatan serupa sudah dibuat dengan hampir semua negara Asia Tenggara lain. Tapi Singapura tetap dipandang sebagai surga bagi buron korupsi asal Indonesia yang ingin berlindung dari kejaran kepolisian.
Perjanjian ekstradisi yang baru memungkinkan Indonesia memburu terdakwa koruptor dengan masa retroaktif yang lebih lama, ”diperpanjang dari semula 15 tahun menjadi 18 tahun sesuai dengan Pasal 78 KUHP," kata Jokowi dalam jumpa pers bersama PM Lee seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Negeri Singa itu sudah menyepakati rancangan perjanjian ekstradisi yang diajukan Indonesia pada April 2007 lalu. Namun tawaran tersebut bertautan dengan syarat mengizinkan militer Singapura menggunakan sebagian kecil wilayah Indonesia untuk melakukan latihan tempur. Hal ini memicu perdebatan di Dewan Perwakilan Rakyat, terutama mengacu pada masa berlaku perizinan.
Pertukaran otoritas di langit Kepulauan Riau
Perjanjian pertahanan yang baru diyakini sudah memuat tuntutan dasar pemerintah dan sebabnya diyakini akan lolos melalui DPR. Di dalamnya, Singapura mengamankan hak menggelar latihan tempur di perairan Indonesia untuk menangkal ancaman dari Laut Cina Selatan.
Nantinya, Singapura diizinkan melakukan latihan perang bersama negara lain di wilayah bernama area Bravo di barat daya Kepulauan Natuna. Izin diberikan hanya sebanyak empat kali dalam setahun.
Sebagai gantinya, Singapura setuju membatasi haknya mengakses kawasan udara di Kepualan Riau, antara lain dengan menyerahkan zona pengawasan udara bagi penerbangan komersil di sebagian wilayah Riau dan Kalimantan kembali ke Indonesia.
Tanpa status yang diberikan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) sejak 1946 itu, Wilayah Informasi Penerbangan (FIR) Singapura menyusut menjadi sebatas 90 mil laut dari wilayah udara Indonesia.
"Jika sudah diterapkan, kesepakatan FIR yang baru akan memenuhi kebutuhan penerbangan di kedua negara,” kata Perdana Menteri Lee.
"Di masa depan, harapannya adalah bahwa kerjasama di dalam penegakkan hukum, keselamatan penerbangan, pertahanan dan keamanan oleh kedua negara bisa terus dipererat berdasarkan prinsip keuntungan bersama,” kata Presiden Joko Widodo.
rzn/hp (ap,afp)