Taliban Atur Gaya Berpakaian Picu Protes Wanita Afghanistan

Taliban mengeluarkan panduan gaya berpakaian wanita Afghanistan.

AP/Petros Giannakouris
Wanita berbaris untuk menerima uang tunai di titik distribusi uang yang diselenggarakan oleh Program Pangan Dunia, di Kabul, Afghanistan, Sabtu, 20 November 2021.
Rep: Zahrotul Oktaviani Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Banyak wanita Afghanistan di ibu kota Kabul memprotes kampanye poster yang diluncurkan Taliban. Poster tersebut mendorong wanita untuk mengenakan burqa atau jilbab.


Kementerian Afghanistan untuk Promosi Kebajikan dan Pencegahan Perilaku Buruk menempel poster di kafe dan toko Kabul awal bulan ini untuk mendorong wanita pemakaian burqa, kerudung seluruh tubuh yang juga menutupi wajah. Namun, mereka tidak mengeluarkan arahan resmi.

“Menurut hukum Syariah, seorang wanita Muslim harus menggunakan jilbab,” tulis poster-poster itu, bersama dengan gambar dua wanita berpakaian burqa biru dan hitam. Kata "hijab" menyertai setiap gambar, seolah-olah untuk memperjelas seperti apa seharusnya wanita berpakaian.

Banyak wanita Muslim di seluruh dunia memilih untuk mengenakan jilbab dalam berbagai gaya, sebagai ekspresi iman dan bagian dari identitas budaya mereka. Wanita Afghanistan secara tradisional mengenakan burqa, yang kebanyakan dijual dalam warna biru, putih dan abu-abu, tetapi jubah hitam kurang umum di seluruh negeri.

Taliban, yang kembali berkuasa pada Agustus, telah mengklarifikasi tidak mewajibkan aturan berpakaian. Tetapi, mereka bersikeras wanita harus menutupi tubuh mereka seperti yang dipersyaratkan oleh agama Islam. Selama tugas terakhir mereka berkuasa antara 1996 dan 2001, pemakaian burqa diberlakukan secara ketat.

 

 

Saat ini, jalan-jalan di pusat kota Kabul dipenuhi wanita yang mengenakan berbagai gaya kerudung. Beberapa mengenakan burqa yang menutupi wajah mereka, sementara yang lain mengenakan jilbab dan berbagai busana campuran tradisional dan barat.

Banyak wanita Afghanistan tidak memahami apa yang diributkan, karena jilbab sudah menjadi bagian dari pakaian sehari-hari banyak wanita Afghanistan. Sementara yang lain mengutuknya sebagai pelanggaran terhadap kebebasan mereka.

"Sebagai wanita Afghanistan, kami tahu hak dan kewajiban agama kami. Seharusnya menjadi pilihan wanita untuk mengenakan apa yang dia inginkan,” kata seorang aktivis hak-hak perempuan dan mantan wakil menteri tenaga kerja dan urusan sosial, Jamila Afghani.

Dilansir di Al-Jazeera, Kamis (27/1), bagi warga Afghanistan, kampanye terkait pakaian tersebut juga menunjukkan obsesi Taliban terhadap hal-hal yang tidak penting, di tengah krisis ekonomi yang semakin dalam dan membuat banyak keluarga tidak mampu memberi makan anak-anak mereka.

“Mereka seharusnya sibuk mengerjakan hal-hal yang lebih penting daripada pakaian wanita. Kebanyakan wanita sudah memakai cadar tradisional [selendang atau jilbab], jadi mengapa ini dinaikkan?” lanjutnya.

 

 

Wakil Juru Bicara Kementerian Promosi Kebajikan dan Pencegahan Muhammad Akif Muhajir mengatakan kampanye ini dilakukan mengingat jilbab atau burqa adalah “perintah Qurani”, serta wanita Muslim harus memakainya.

“Jika Syariah memerintahkan mereka [wanita] untuk melakukan sesuatu, mereka harus melakukannya. Jilbab atau burqa bisa berasal dari apa pun yang digunakan seorang wanita untuk menutupi tubuhnya,” kata dia.

Meskipun tidak ada kebijakan untuk memaksakan pemakaian burqa, atau hukuman bagi wanita yang tidak mematuhi nasihat tersebut, ada laporan sporadis tentang tentara Taliban yang mencoba untuk menegakkannya. 

Dosen mata kuliah keadilan transisi di American University di Afghanistan, Obaidullah Baheer, menyebut hal-hal semacam ini cenderung menjadi masalah, karena tidak adanya pedoman dan pelatihan yang jelas bagi para pejuang (tentara).

“Ketika mereka (pejuang Taliban) diberi kesan (oleh para pemimpin mereka) bertanggung jawab untuk menjaga moral masyarakat, mereka pasti akan menyalahgunakan wewenang mereka,” ucapnya.

Beberapa wanita Afghanistan membantah klaim Taliban yang menyebut menutupi tubuh, terutama wajah, mutlak diperlukan bagi wanita. Seorang aktivis hak-hak perempuan yang berbasis di Kabul, Arifa Fatimi, menyebut caranya dalam berpakaian tidak bertentangan dengan agamanya.

 

 

Di sisi lain, seorang ibu dari tiga anak, Sonia Ahmadyar, mengatakan ia sepenuhnya menentang penegakan aturan berpakaian tertentu pada wanita. Sebagai wanita, ia tidak boleh dipaksa memakai sesuatu yang tidak diinginkan.

Menurut Afghani, rekomendasi burqa Taliban bukanlah apa yang diminta Islam dari wanita. “Jika mereka [Taliban] berbicara tentang Syariah, Islam tidak menentukan pakaian untuk wanita. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah Taliban bahkan memahami Syariah?” lanjut dia.

Bagi perempuan Afghanistan, krisis ekonomi yang melanda negara itu diperparah dengan pembatasan lebih lanjut oleh Taliban terhadap pekerjaan, pendidikan dan bahkan pergerakan mereka.

Sebagai protes terhadap pembatasan ini, termasuk penggunaan burqa, beberapa wanita Afghanistan berkumpul untuk berdemonstrasi di depan Kementerian Urusan Wanita minggu lalu.

Video di media sosial menunjukkan sekelompok kecil wanita mencela berbagai pembatasan, bahkan beberapa merobek burqa putih yang dipakai seorang wanita dan menendangnya ke tanah. Mereka mengatakan aturan itu berasal dari "budaya Pakistan dan Arab yang terbelakang".

 

 

Mengomentari insiden ini, seorang akademisi di University of Melbourne dan penulis The Political Psychology of the Veil, Sahar Ghumkhor, mengatakan hal yang harus diingat setiap orang adalah cadar/burqa selalu dipakai di Afghanistan, jauh sebelum Taliban ada.

“Protes tersebut seolah membuat pengenaannya (burqa) dengan menjadi ‘asing’, menghapus realitas wanita yang memakainya, terutama di bagian pedesaan Afghanistan,” ujar dia.

Dia menambahkan, kebanyakan wanita yang melakukan protes itu mengenakan pakaian barat. Ia pun mengatakan, jika masalahnya adalah keasingan dari sebuah pakaian, lalu mengapa perlawanannya bersifat selektif.

Warga Afghanistan WILFP setuju akan pernyataan tersebut. Burka telah menjadi bagian dari budaya Afghanistan untuk waktu yang lama, terutama di desa-desa dan daerah terpencil, bahkan di kota-kota di antara wanita yang lebih tua.

Ghumkhor mencatat pemakaian cadar maupun tidak merupakan bentuk reduksi lensa dan melampaui kondisi sosial, politik dan ekonomi yang kompleks sedang dibaca.

 

Terkait protes pengenaan cadar, ia menyebut kehadirannya yang berlebihan dalam imajinasi feminis Afghanistan perlu diinterogasi, terutama pada saat negara sedang 'kelaparan'.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler