Kesepakatan RI-Singapura, Pengamat: Pemerintah Perlu Siapkan Tindak Lanjut
Pengamat menilai Singapura lebih berkepentingan di kesepakatan ini
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia dan Singapura menyepakati sejumlah kesepakatan dalam bidang hukum dan pertahanan. Pengamat militer dari Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE), Anton Aliabbas mengatakan, pemerintah Indonesia perlu segera menyiapkan tindak lanjut yang terperinci terkait kesepakatan-kesepakatan yang sudah tercapai itu.
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong menandatangani serangkaian kesepakatan di bidang hukum, pertahanan, dan diplomasi pada Selasa (25/1). Kesepakatan itu meliputi penyesuaian pelayanan ruang udara atau Flight lnformation Region (FIR), perjanjian ekstradisi atau Extradition Treaty (ET), dan pernyataan bersama Menteri Pertahanan kedua negara tentang komitmen untuk memberlakukan kerja sama pertahanan (DCA).
Anton menyebut, penandatanganan ulang DCA ini merupakan hasil proses negosiasi yang cukup alot antara pemerintah kedua negara. "Jika melihat konfigurasi Komisi I DPR saat ini, kemungkinan besar proses ratifikasi dapat berjalan lebih lancar daripada proses 2007 lalu. Terlebih, sejauh ini belum ada penolakan publik yang muncul termasuk dari kalangan purnawirawan TNI," kata Anton saat dihubungi, Kamis (27/1).
Menurut dia, dijadikannya DCA, FIR dan ET dalam satu paket, maka sebenarnya tidak ada yang berubah dari strategi yang dijalankan Singapura. Dengan demikian, jelas Anton, apabila DCA kembali gagal diratifikasi, maka paket perjanjian tersebut akan batal secara keseluruhan.
"Apalagi, jika merujuk pada kepentingan nasional, maka akan sangat terlihat bahwa Singapura yang lebih membutuhkan paket perjanjian tersebut bisa diratifikasi kedua negara ketimbang Indonesia. Padahal, ET dan DCA sebenarnya tidak memiliki keterkaitan ataupun dimensi yang sama," ungkapnya.
Oleh karena itu, Anton menilai, sudah semestinya pemerintah segera menyiapkan tindak lanjut lebih rinci terkait DCA. Menurut dia, pemerintah hendaknya memastikan tidak ada perbedaan tafsir bahwa area latihan militer yang disepakati adalah Area Alpha 1 dan Alpha 2, tidak termasuk Bravo. Dalam hal ini, pengaturan tindak lanjut implementing agreement (IA) DCA menjadi krusial untuk menutup celah adanya multiinterpretasi dari perjanjian bilateral, termasuk juga penggunaan wilayah Singapura untuk latihan militer.
Dalam hal tersebut, Anton melanjutkan, pertemuan Indonesia Singapore Joint Operations and Exercises Committee (ISJOEC) yang dijadwalkan dua kali dalam setahun dapat dimaksimalkan untuk membahas potensi perbedaan interpretasi DCA. Pertemuan ini juga hendaknya bisa mengatur tentang rencana latihan militer Singapura yang ingin mengajak mitra di luar Indonesia seperti Amerika Serikat.
"Kita tentu tidak menginginkan ketegangan di kawasan semakin tereskalasi dengan adanya latihan militer bersama dengan Amerika Serikat dalam intensitas yang cukup sering," ujarnya.
Di sisi lain, Antong menuturkan, pengaturan serta pembatasan penggunaan bahan peledak, bom laut, rudal dan senjata beramunisi besar dalam latihan militer Singapura juga dibutuhkan. Hal ini guna menghindari dampak kerusakan lingkungan di wilayah Indonesia yang muncul akibat adanya latihan militer dengan intensitas yang sering.
Sementara itu, Anton menambahkan, pemerintah juga harus segera menyiapkan tindak lanjut lebih rinci terkait IA ET. Mengingat pelaksanaan ET memiliki kompleksitas tersendiri.
"Belum lagi, tidak ada jaminan penuh dari Singapura bahwa para buronan berikut kekayaan yang dibawa kabur akan dapat kita peroleh usai Indonesia ratifikasi ET. Kita tentu tidak ingin ET hanya lebih bersifat simbolik daripada substansial," tutur Anton.